Kamis, 02 Oktober 2014



Penyair dan Puisinya

Oleh Marhalim Zaini
                        
                         Apakah kita masih percaya pada keniscayaan kata?
                         Pada hanya sebuah kata?

                         Baris terakhir puisi Rida K Liamsi yang saya kutip di atas berjudul “Surat kepada GM.”  Dalam puisi itu, dua kali, Rida bertanya, ihwal “apakah kita masih percaya pada keniscayaan kata?” Andai yang bertanya semcam itu bukan seorang penyair, dan bukan dalam sebuah puisi, agaknya kita boleh maklum. Tapi, karena Rida adalah seorang penyair, yang (tentu) berangkat menulis puisi dari rasa kepercayaan penuh pada “keniscayaan” kata-kata, maka pertanyaan itu boleh jadi bagai pisau bermata dua. Ketika kata-kata sebagai senjata penyair telah diragukan ketajamannya, maka dengan apa lagi panyair membangun “ruang menyelenggarakan sunyi,” (meminjam Abdul Hadi W.M).
                         Hemat saya, ketegangan (jika bisa disebut begitu) antara penyair dan puisinya (kata-kata) adalah soal klasik, yang seolah terus membuntuti dunia kreatif kepenyairan kita. Sehingga, ketegangan itu sendiri adalah dinamika, yang tidak hanya harus ada dalam proses penciptaan (dunia dalam), tapi juga selalu ada ketika puisi selesai diciptakan—yang persentuhannya dengan dunia luar, dunia pembaca. Dunia dalam, adalah ruang tempat penyair dan kata-kata berjibaku, memilih-memilah-menemukan. Dunia luar, adalah ruang tempat penyair dan puisi saling bersalaman, mengucapkan selamat jalan pada garis nasibnya masing-masing. Di dunia luar inilah, penyair dan puisi, kerap saling mempertanyakan eksistensinya masing-masing, terutama dalam dunia pembaca.
                         Namun, bukan perkara mudah, memisah-misahkan keduanya: penyair dan puisi—meski Roland Bhartes sudah menegaskannya dalam The Death of the Author (1977). Betapapun keniscayaan kata telah demikian diragukan oleh Rida, misalnya, pun pernah oleh Chairil Anwar; “pena dan penyair, keduanya mati berpalingan.” Toh nyatanya, ke mana pun puisi pergi, nama penyair terus disebut-sebut. Ekstrimnya, bahkan, orang kerap bertanya, puisinya bicara tentang moral, kok penyairnya tak bermoral?
                         Dan dengan begitu—ini yang agaknya dikuatirkan Bhartes—pintu korespondensi teks menjadi tertutup. Puisi, akan berhenti mereproduksi teks-teks lain, yang memiliki jejaring signifikansinya dalam resepsi pembaca (sebagaimana dalam konsepsi intertekstualitas). Jika Afrizal Malna pernah menyebut bahwa membaca puisi itu adalah juga kerja “memobilisasi teks,” maka mobilitasnya pun akan tersendat oleh adanya “hubungan paternalistik” antara penyair dan puisinya ini.
                         Ketika orang kerap menghubung-kaitkan langsung, dari apa yang terbaca dalam teks puisi, adalah mutlak representasi “pengalaman” si penyairnya, maka puisi menjadi “anak-anak gamang” yang tak mandiri. Anak-anak yang tak mampu “membesarkan” dirinya sendiri dalam proses permaknaan di ruang publik. Padahal, dalam proses penciptaan, apa yang disebut sebagai “pengalaman” itu, telah berkembang (bahkan bermetamorfosis) menjadi kata. Kata, menjadi diksi, menjadi baris, menjadi bait, menjadi bangunan puisi—yang kadang, penyairnya sendiri pun kaget dengan kehadirannya. Puisi, kadang, dalam perkembangannya, sama sekali “tak mirip” secara “genetis” dengan penyairnya. Puisi, adalah kelahiran tak terduga dari rahim kata-kata.    
                         Akan tetapi, anehnya, penyair tak bisa tidak untuk terus melahirkan puisi. Puisi yang, bahkan tak ia percayai lagi keniscayaan kata-kata di dalamnya. Puisi, yang bagai kekasih yang teramat setia ketika proses pergumulan, dan menjadi seolah menjauh, seolah berkhianat, ketika usai percintaan. Penyair tak bisa lari dari puisi, tapi puisi tidak. Sampai-sampai Acep Zamzam Noor pernah “bertanya” kepada Tuhan dalam puisi berjudul “Mengapa Selalu Kutulis Sajak,” yang kutipannya berbunyi, “Apabila kerinduan tiba-tiba menyerbuku, mengapa harus sajak, Tuhanku, mengapa harus ia yang mampu kupersembahkan kepada-Mu.”***     

Minggu, 24 Agustus 2014

Puisi



pulau kikis di bengkalis,
tak habis-habis menangis

Oleh Marhalim Zaini


:hujan lebaran,
sebuah kota tak berpintu

yang lumpuh
sebelah tubuh
tapi yang luluh
seluruh subuh
            takbir itu, wahai
            yang bergetar itu
            di tiang-tiang
            langit tidurmu
            bagai tak berjarak
            tapi tak berjejak
            ketika dari jauh
            suara-suara tahlil
            suara-suara surau
            yang terpiuh
            mengucap-ucap
            nama-nama hari
            yang tumbang
            di tanjung
            sebuah kampung
            yang terapung,
            tapi ingatan, tuan
            adalah hujan jantan
            tiba-tiba tumbuh
            dari liang hutan
            lengang kenangan
                        itu anak-anak
dari tanah kelahiran
datang lagi,
datang lagi,
padahal ia
tak pernah pergi
            tak sedetik pun
alif jadi nun
bertukar angin
pada musim
selatan utara
tapi di timur juga
matahari menyala
atau dikau
kita yang asing
merepih di sini
di sebuah taman
di bangku batu
di sebuah kota
tak berpintu
ketika itu
hujan lebaran
satu satu gugur
dari dalam jiwamu
jiwaku jua yang pilu
melukis garis-garis
pulau yang kikis
dan jalan jalan
tak habis habis
menangis
            di bengkalis
            di bengkalis
pergi lagi,
pergi lagi
padahal ia
tak pernah kembali
            bahkan untuk puisi
            yang nyinyir
            bersemak di mulutmu
            terserak di kakiku
            aku tak sanggup lagi
            mengulur salam
            sebagai maaf atas kata
            atas dosa pada dunia
            kelak hujan lebaran
            datang bersampan
            dari ceruk waktu
            masa lalu dan rindu
            mengabarkan kekalahan
            atau kemenangan
            yang hanyut
            di anak sungai
            menuju rumahmu
            menuju rumahku
takbir ini, aduhai
melambai-lambai
tak sampai-sampai
            padahal telah berarak
            pawai-pawai malam
            di jantung kita
            di tiap pijar cahaya
            lampu-lampu kota
            di tiap percik nyala
            kembang api cinta
            tapi masih juga bencah
            sejarah yang salah
            di tiap langkah
            menuju rumahmu
            menuju surgamu
            dan tengoklah
            lumpuh ini
            di kiri tubuh sepi
            di kiri tubuh mati
            aku tak sanggup lagi
mengulur mimpi
mengubur api
yang menangis itu
takbir itu, jalan jalan itu,
tak habis-habis kikis
di bengkalis
wahai, wahai,
yang lumpuh
sebelah tubuh
tapi yang luluh
seluruh subuh.***



Riau Pos dan Indopos



Membangun Kota Puisi

Oleh Marhalim Zaini
                
                 Mari kita membayangkan, seandainya puisi-puisi para penyair Indonesia tertulis di tembok-tembok kota, di taman-taman, di kantor, di halte, di stasiun, di bandara, di kereta, di angkot, di rumah sakit, di simpang jalan, di pasar, di mal, di tempat-tempat rekreasi, dan sebagainya. Maka, saya yakin, tidak hanya membuat puisi jadi lebih dekat dengan publik, tapi dapat membuat hidup jadi lebih fresh. Orang lebih mudah tersenyum. Pikiran dan perasaan jadi lebih sejuk. Sebab, orang lebih bisa melihat sebuah kota sebagai tempat hidup manusia. Bukan semata kota, sebagai ruang kusut penuh baliho iklan dan gambar para caleg. Sehingga kota—yang  dalam bahasa puisi Afrizal Malna—tidak menjadi “...telor busuk, setiap hari meleleh dari mulutmu.”
                 Bayangan sebuah “kota puisi” semacam itu, sesungguhnya sudah terjadi. Tapi tidak di sini. Di kota-kota besar di luar negeri, seperti Leiden, London, Paris, dan New York. Malah, mestinya, kita (orang Indonesia) malu, ketika puisi “Aku” Chairil Anwar, puisi Ranggawarsito dan cuplikan teks I La Galigo, tertulis di tembok kota di Leiden. Rasanya, kadang, kok negara bekas penjajah kita itu, lebih “beradab” dibanding negeri koloninya. Maka, ratusan puisi-puisi penyair dunia pun macam Rilke, Shakespreare, Borges, dan sejumlah nama lain, tertulis di tembok kota mereka melalui sebuah proyek yang mereka sebut sebagai Muurgedicthen (The Wall Poems).
                 Agaknya, di Indonesia, jangankan berharap ada puisi-puisi di berbagai ruang publik kota seperti yang saya deretkan di atas, bahkan di ruang-ruang yang dekat dengan dunia puisi pun tiada. Kalaupun ada, masih setengah hati. Misalnya, di kampus-kampus bahasa dan sastra, kampus seni, kantor dinas pariwisata, kantor dinas pendidikan, kantor dewan kesenian, balai adat, museum, taman budaya, dan sebagainya. Puisi, seperti terus-menerus beku di dalam lipatan-lipatan halaman buku di rak-rak, yang kerap berdebu, tak terbaca. Meski, kita (para penyair) agaknya harus tetap bersyukur, di media publik macam koran, majalah, dan sejenisnya, cetak maupun online, puisi masih terus hadir—tentu, dengan berbagai problematikanya sendiri.
                 Lalu kenapa kota? Karena kota adalah (meminjam Piliang) “dunia yang dilipat.” Sebuah dunia, yang seperti selembar kertas, terus-menerus dilipat-lipat sampai melampaui batas-batas struktur kertas itu sendiri. Maka, kota adalah ruang kompleksitas, yang riuh, yang sengkarut, yang tak mudah mengurainya, yang terus dipaksa dilipat. Manusia-manusia yang cenderung (ingin) hidup di kota, dengan begitu, adalah bagian penting dari lipatan kompleksitas itu. Manusia kota, konon adalah manusia modern, yang seolah tumbuh menuju berkeberaturan, akan tetapi justru, sebetulnya menujua ketidakberaturan, menuju chaos.
                 Dunia yang dilipat semacam itu, butuh puisi. Puisilah yang akan mengurai batas-batas struktur lipatan itu. Puisi, akan membaca lebih dekat tentang manusia, tentang kompleksitas hidup yang dihadapi manusia melalui kearifan dan pemurnian-pemurnian nilai-nilai. Puisi, untuk kota, adalah ruang sunyi. Puisi adalah ruang kontemplasi kota. Maka, jika ia terabaikan, peradaban kota akan semata dimaknai sebagai mesin produksi-industrialistik. Meski, saya tidak tengah mengatakan bahwa desa—sebagai prinsip diferensiasi kota-desa—hari ini, adalah ruang yang paling representatif untuk hidup puisi, sebab ia telah pun jadi tanah-tanah yang terbiar.
                 Maka, sebagai fungsi simbolis, sebuah kota adalah juga sebuah puisi. Jika ada sebutan kota apel, kota kembang, kota seribu kubah, kota junjungan, kota buaya, kota hujan, kota pendidikan, kota sejarah, dan lain sebagainya, kenapa tidak sebuah kota menyebut dirinya sebagai “kota puisi.” Sebuah kota, yang tengah berupaya membangun kekuatan tubuhnya dari dalam dirinya. Membangun dari basis pemahaman atas nilai-nilai murni dari manusia-manusianya. Sehingga kota, tidak tumbuh menuju pada kematiannya.***