Rabu, 29 Januari 2014

kato jadi daging tulang



Oleh Marhalim Zaini

                Sejak lama, banyak orang risau—termasuk para penyairnya—bahwa puisi susah sekali “diterima” oleh publik luas. Nasib puisi, “dianggap” kerap marjinal, secara popularitas, bahkan jika dibandingkan dengan sesama genre sastra sekalipun; cerpen atau novel misalnya.  Orang, terkadang, berharap puisi dapat diterima seperti diterimanya mi instan oleh semua lidah lintas usia. Espektasi terlampau besar semacam itu, dengan cara pandang (teramat) umum, kadang, membuat kita kian hari kian tak percaya lagi pada kekuatan kata-kata dalam puisi. Puisi-puisi yang terlahir kemudian pun, selalu (dan berupaya keras) untuk “didekat-dekatkan” dengan publik. Seolah, berupaya untuk membuat puisi tak berjarak dengan publik.
                Maka, penyair, selalu was-was. Selalu kuatir, jangan-jangan puisinya kelak tidak bisa diterima oleh publik. Tidak bisa dimuat di media massa. Tidak layak masuk buku kumpulan puisi bersama. Tidak menang lomba. Dianggap “puisi gelap” oleh para kritikus. Banyak sekali kekuatiran muncul, bahkan sebelum puisi benar-benar dituliskan oleh si penyairnya. Kekuatiran yang juga kemudian, menurut saya, menjadi salah satu penyebab lahirnya berbagai gagasan untuk memberi “nama” setelah kata “puisi” semisal: “puisi kontekstual” atau belakangan “puisi esai.” 
                Puisi, pada posisi semacam ini, seolah mengalami distorsi eksistensi diri. Ia, puisi, kemudian seolah jadi makhluk tak percaya diri, karena memang banyak orang yang tidak mempercayainya. Banyak orang meragukan, jika si puisi berjalan sendiri di tengah orang ramai, akan tersesat, akan terhimpit, tersenggol, bahkan terjatuh, dan terinjak-injak oleh yang disebut sebagai “publik” itu, oleh yang kerap dipanggil “kontekstual” itu. Maka, banyak orang berpikir—sekali lagi, bahkan oleh si penyairnya sendiri—puisi harus ditemani, tak boleh berjalan sendiri di rimba raya realitas. Tidak aman bagi puisi, bahkan di zaman yang tak bisa lagi disebut sebagai “zaman buruk bagi puisi, (meminjam Brecht). Puisi, tak boleh jomblo, bro...
                Lalu, puisi-puisi yang gamang pun lahir, karena ditulis dengan tangan yang gemetaran, dengan jiwa yang ragu-ragu, dan pikiran-pikiran yang goyang. Puisi-puisi kini seolah harus ekstra hati-hati untuk memakai lisensi “kebebasan” menulis kata-kata. Kata-kata yang tak boleh seenaknya nyelonong. Tak boleh pula dengan diksi-diksi yang “berat”—yang dikuatirkan tak “dikenal” atau tidak terdeteksi oleh signal antena publik luas.
                Maka, puisi-puisi lahir dari keterasingan penyair dengan puisi-puisinya sendiri, yang boleh jadi, sehabis menulis puisi, ia merasa harus berkenalan dengan puisinya sendiri. Siapakah kamu? Dari mana kamu lahir? Kok kamu tidak mirip aku, tapi malah mirip tetangga? Atau, di lain waktu, si penyairnya malah berkali-kali harus marah-marah karena puisi-puisinya yang lahir kembar semua.
                Saya, selalu cemburu dengan Tardji, zaman dulu, yang bisa sebebas itu menulis puisi. Di zaman, yang justru boleh dikata tunggang-langgang orang mengais hidup, membangun struktur sosial-ekonomi. Di zaman ketika puisi didakwa sebagai makhluk “brengsek” oleh sebuah “pengadilan puisi.” Toh, sampai sekarang tetap bernama “puisi” dan tetap “dibicarakan” orang sebagai puisi yang “berhasil” membangun eksistensi kata-kata.
                Selain pada Tardji, saya selalu cemburu pada orang-orang suku “terasing”, orang-orang di ceruk-ceruk kampung, di pedalaman, orang-orang yang kerap dianggap tak “beradab” oleh peradaban “publik.” Saya cemburu, karena mereka masih percaya dengan kekuatan “kata-kata” dalam mantera, misalnya. Mantera yang tak gampang dicerna oleh telinga publik, tapi memiliki kekuatan magis yang luar biasa, kekuatan untuk menggerakkan. Ya, kekuatan untuk mewujudkan sosok manusia sebagai makhluk yang tak sekedar memiliki tubuh (wadag), tetapi juga emosi. Sebab, kata-kata dipercaya memiliki kuasa tersembunyi (hidden realms). Orang Petalangan di Riau menyebut, “kato jadi daging tulang.” Daging dan tulang yang menyokong “tubuh makna,” menegakkan batang tubuh “ideologis. Jadi, mari menulis puisi dengan jujur, enjoy, bebas, tanpa ketakutan, dan beri kepercayaan besar pada kekuatan kata-kata.***

ANTIPUISI



Antipuisi

Oleh Marhalim Zaini

            MENYEBUT istilah “antipuisi,” maka perbincangannya akan berada “di antara” (atau tarik-menarik antara) makna ideologis dan sekaligus non-ideologis. Antipuisi—sebagaimana juga ingatan kita tentang sebutan antisosial, antipolitik, antiteater, dll—segera akan merujuk kepada, dan tak terpisahkan dari, sejarah pemikiran sosial kontemporer, khususnya wacana seni. Nama-nama macam Deleuze, Guattari, Lyotard, dan Baudrillard, pun sebelumnya ada Nietzsche, berada dalam lokus ini.
            Makna ideologis yang saya maksud adalah ketika puisi, misalnya, hari ini, seperti sedang “kehilangan” dimensi makna, tak ada kedalaman, tak sedang merepresentasikan realitas sosial, lenyapnya ilusi dan imajinasi. Puisi, kian profan, dangkal, hanya terkesan jadi fashion. Sekilas, jangan-jangan inilah “ideologi puisi” kita hari ini, ideologi turunan dari zaman,  yang dibawa oleh kekuatan ideologi “ekstasi” (meminjam Pilliang, seturut Baudrillard), atau “ideologi antipuisi.” Makna “ekstasi” di situ, adalah ketika semua realitas lenyap, dan menyeret seni ke dalam sebuah ruang “transparansi”: tak ada malu, tak ada moral, tak ada ideologi.
Saya bercuriga, ketiadaan ideologi atau non-ideologi di situ, jangan-jangan adalah “ideologi” itu sendiri. Istilah “antiteater” misalnya, yang bermakna; tak ada aktor, tak ada panggung, tak ada naskah, bisa saja ditarik ke wilayah ideologis. Bahwa dengan begitu, teater sedang melepaskan dirinya dari “narasi-narasi besar” yang selama ini melingkupinya. Teater, justru, sedang berupaya mendekatkan diri pada penontonnya, melepaskan batas-batas dominasi, yang sekaligus hendak (kembali) masuk ke denyut jantung masyarakat yang melahirkannya. Tak ada aktor, adalah ketiadaan individu subyektif. Tak ada panggung, adalah ketiadaan ruang privat. Tak ada naskah, adalah membangkitkan dinamika improvisasi sosial.
Dan antipuisi, boleh jadi juga adalah upaya melepaskan diri dari “narasi-narasi besar” yang ada dalam perjalanan sejarah sastra kita. Jika hendak menjadi “ideologi” ia harus berani dan konsisten membangun “narasi-narasi kecil” sendiri. Sebagaimana Lyotard, pengakuan kita terhadap apa yang disebut “narasi besar” (dalam sejarah sastra Indonesia plus berbagai Angkatan Sastra di dalamnya), “akan menciptakan ketidakadilan kultural dan sosial,” karena “ia membatasi imajinasi, hak berinovasi, hak untuk membuat sejarah sendiri.” 
Namun, membangun “narasi-narasi kecil” dalam sejarah perpuisian Indonesia, hemat saya, tidak juga sepenuhnya dapat sejalan dengan bagaimana sebuah zaman membangun dirinya. Sementara, selama ini, memang demikianlah sejarah sastra ditulis, sebagaimana sejarah sosial dalam setiap priodeisasinya. Padahal, kita meyakini, bahwa penulisan sejarah selalu berada dalam rel utama, dalam narasi-narasi besar semata, dan kerap melupakan yang “marjinal.” Maka, banyak yang tercecer. Banyak yang tak tertulis, dibanding yang tercatat. Puisi, mestinya, mengambil peran dan posisi itu.
Posisi dimana, dapat “menyuarakan” yang samar itu. Dapat “mencatat” yang tersisih dari kitab-kitab sejarah sosial. Puisi (juga karya sastra yang lain), pada gilirannya, dapat memberikan alternatif wacana, pembanding yang inspiratif. Namun, jika istilah yang saya sebut “antipuisi” itu masuk ke wilayah yang non-ideologis semata, jadi “pengekor” zaman saja, maka puisi tidak hanya akan terseret, tapi terlindas, oleh narasi-narasi besar zaman, yang kita tahu, ideologinya demikian tak dapat kita bendung.
Meskipun, saya selalu yakin, puisi punya “nyawa kedua.” Puisi, telah sejak lama membuktikan dirinya, bahwa ia memiliki daya tahan hidup yang luar biasa, dari zaman ke zaman. Terlepas dari bagaimana ia diperlakukan, puisi dapat memberi tanda pada zaman, bahwa ia adalah zaman itu sendiri. Dengan begitu, puisi adalah antipuisi itu sendiri.***