Minggu, 23 Februari 2014

Esai Budaya, Riau Pos, 23 Februari 2014



Gawat Darurat Anjung Seni Idrus Tintin
Oleh Marhalim Zaini

            SALAH satu gedung megah menjulang yang termasyhur di kota Pekanbaru, adalah Anjung Seni Idrus Tintin. Termasyhur, terlebih karena, tampak secara fisik, memang mencuri fokus: megah menjulang di lokasi strategis, dalam komplek Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandarserai—yang belakangan mesti dipertanyakan apakah benar di sini art center itu?). Maka, banyak orang menjadikannya sebagai ikon fisik. Mulai dari berfoto-foto di situ sebagai latar (fisik), sampai jadi ilustrasi berbagai brosur pariwisata dan budaya Melayu Riau. Dan, orang-orang Riau pun—termasuk senimannya—tentu saja merasa bangga, punya sebuah gedung kesenian yang megah menjulang (secara fisik) itu. Sebab, susah kita temukan di daerah lain, luar Riau, yang punya gedung kesenian semegah itu.
            Sebagai sebuah ikon (fisik) kebudayaan Melayu, gedung Anjung Seni Idrus Tintin (berikutnya disingkat ASIT), setakat ini, (seolah) memang telah berhasil menjadi salah satu representasi simbolis dari sebuah semangat kolektif untuk membangun pemahaman bersama ihwal kebudayaan Melayu yang “besar” itu, sebagai the great tradition itu. Arsitektural ala Melayu yang melekat pada gedung ASIT, tengah memproduksi sekaligus mengkonstruksi, terus-menerus, makna historis, yang seolah stabil itu kepada publik—setidaknya demikian kaum strukturalisme-esensialis memandang. Maka, dengan begitu, kemegahan dan kebesaran itu seolah dapat terus-menerus secara stabil melekat pada sebuah gedung bernama ASIT itu. Selama fisik gedung itu masih tampak tegak berdiri oleh mata telanjang—dari frame yang selalu fotografis, dari perspektif zoom-out—maka orang pun seolah dituntun untuk percaya bahwa kemegahan “identitas kultural” itu masih tetap kokoh. Setakat berhenti pada gedung ASIT sebagai penanda dari sebuah petanda (sebagaimana Saussure) dari kebesaran kebudayaan Melayu, memanglah seolah-olah kerja kita sudah selesai.
            Tersebab menganggapnya telah selesai itulah, maka gedung ASIT itu sejak berdiri sampai sekarang seolah “terbiar.” Terbiar, karena, tampak gagah-megah di luar, di dalam masih centang-perenang. Saya, menandai pemakaian secara non-resmi gedung ini, sejak kami (bersama kawan-kawan seniman Riau) mementaskan pertunjukan kolosal bertajuk Opera Melayu Tun Teja, 29-31 Agustus 2007. Dengan agak “memaksa” memang, karena tak sabar, pada saat itu kami memilih gedung ASIT yang belum memiliki pendingin ruangan, beberapa lantai panggung bahkan belum terpasang dengan sempurna, bangku penonton, lighting, dan beberapa peralatan teknis lainnya yang belum sepenuhnya siap pakai. Tentu, hal ini membuat biaya pertunjukan justru cukup banyak terserap oleh keperluan teknis non-artistik. Kami berharap, sesungguhnya, pementasan kami itu dapat setidaknya memberi motivasi (atau desakan) tersendiri bagi pemerintah provinsi Riau untuk menggesa penyempurnaan pembangunan gedung tersebut. Alhasil, rupanya, sampai kini, setelah lebih kurang 6-7 tahun setelah itu, gedung ASIT masih belum “sempurna.” Masalah-masalah teknis yang kami alami dulu, masih juga dialami oleh para seniman yang menggelar pertunjukan. Ketiadaaan atau ketidakjelasan badan pengelola gedung ini, membuat salah satu kendala terbesar kenapa gedung ini menjadi seolah (semakin) terbiar.
            Akan tetapi, semangat seniman yang tinggi, tak menyurutkan niat mereka untuk tetap menggelar pertunjukan di situ. Selama bertahun-tahun itu, tiap kali akan pentas, mereka menyewa AC, menyewa genset, membayar petugas kebersihan, membayar petugas lighting, dan lain-lain. Sudah pasti, biaya justru kian membengkak. Semua orang di dunia ini tahu, bahwa tak ada kelompok-kelompok kesenian yang betul-betul dapat “menghidupi” dirinya sendiri tanpa “asupan” dari pihak-pihak lain.Tak usahlah berharap pada tiket. Teater Koma saja, yang punya penonton tetap, dengan harga tiket ratusan ribu rupiah, masih perlu support sponsorship dari mana-mana. Kenyataannya, uang tiket, tak pernah bisa menutupi biaya produksi sebuah pementasan teater.
            Kenyataan yang centang-perenang ini, membuat kita dapat berkesimpulan bahwa kita baru bisa membangun fisik, memoles yang tampak di luaran sebagai citraan-citraan belaka, tapi masih abai membangun spiritualitasnya, abai pada pengelolaan manajerialnya, abai pada bagaimana membangun “kemegahan isi”-nya. Maka, dalam konteks ini, kita semua jadi sepakat dengan kaum  strukturalisme yang selalu yakin bahwa antara bentuk dan isi, luaran dan dalaman, harus ada keseimbangan. Kalau tidak, maka ia rumpang, ia pincang. Saya kira, ketidakseimbangan semacam itu pula kiranya, yang kini, sedang tampak dalam pola-pola pembangunan kita. Cara berpikir para pengelola negeri ini, yang cenderung pragmatis, membuat mereka lebih mengutamakan kemasan dan citraaan, dibanding isi. Kegemaran kita sepertinya selalu menciptakan rayuan-rayuan, (yang menurut Baudrillard, 1990) beroperasi melalui pengosongan tanda-tanda dari pesan dan makna, sehingga yang tersisa adalah semata penampakan. Wajah merayu gedung ASIT yang megah dan menjulang itu adalah make-up, adalah artifisial, yang kosong makna. Jadi, tujuannya jelas, bukan pesan atau makna itu benar yang hendak disampaikan oleh kemegahan gedung ASIT, akan tetapi keterpesonaannya. Maka hasilnya, orang lebih senang berfoto-foto di luaran, tapi enggan menonton pertunjukan yang disajikan di dalamnya.

Pentingnya Badan Pengelola
            Kunci utama dari persoalan ini, adalah tidak adanya badan pengelola gedung ASIT, sehingga pengabaian demi pengabaian terus berlarut. Pengabaian yang tidak semata pada tak kunjung sempurnanya kelengakapan gedung, juga tampak pada perawatannya. Di sana-sini gedung mulai nampak kerusakan-kerusakan. Tentu, belum lagi soal-soal “sosial” yang lebih luas, yang sejak awal berdirinya sampai kini, di sekitar gedung yang semak samun kerap terjadi kriminalitas, pun prilaku mesum. Ditambah pula, tepat di sebelah gedung konon akan dibangun mal, yang kini tampak terbengkalai pengerjaannya—entah  apa pula hubungannya keberadaan mal ini kelak dengan art center itu. Saya kira, kalau tau akan jadi begini gedung pertunjukan ini di kemudian hari, tentu almarhum Idrus Tintin tak rela namanya ditabalkan untuk gedung ini.
            Maka, kini, apapun alasannya yang membuat badan pengelola tak kunjung dibentuk, adalah menjadi tidak penting. Sebab, selain hal ini hanya akan menunjukkan lemahnya kinerja pejabat pemerintah terkait, sekaligus rendahnya perhatian/pengetahuan/wawasan/visi mereka terhadap kesenian, terhadap kebudayaan. Meski sudah begitu elok visi Riau 2020 yang dicanangkan itu, tapi implementasinya terseret-seret dalam berbagai kepentingan. Agaknya kita memang pandai berencana, tapi tak pandai mengeksekusinya. Belakangan, belum lagi dikukuhkan badan pengelola, yang juga menurut kabar angin sudah mulai disusun strukturnya, sekonyong-konyong muncul Peraturan Daerah terkait restribusi gedung ASIT, dan sejumlah gedung di Pekanbaru. Inilah sebab-musabab kenapa para seniman kemudian meradang, demonstrasi. Sudahlah selama ini, gedung ASIT ini “dihidupkan” oleh para seniman yang berkarya di situ, dengan bersusah payah mencari dana sendiri, “mengemis” kesana kemari, membangun infrastruktur kesenian Riau denga jerih sendiri, kini ditambah pula harus membayar sekian juta setiap kali akan pentas. Dari sini, tampak jelas bagi kita, bahwa pemerintah tidak sedang bersungguh-sungguh sepenuh hati “mengerti” tentang pentingnya kesenian itu.
            Saya kuatir, jangan-jangan yang dianggap sebagai kerja pengelolaan gedung ASIT adalah dengan menetapkan biaya restribusi itu—tanpa secara serius melihat bagaimana kondisi sesungguhnya gedung ASIT dan bagaimana kondisi penggunanya (si senimannya). Jika benar, model berpikir pragmatis semacam ini, maka demikianlah pula kiranya cara kerja logika pasar dalam narasi besar kapitalisme sudah kian merasuk dalam ruang-ruang pengelolaan negara. Maka, saya semakin kuatir, andai konsep-konsep Marx misalnya, soal pertentangan kelas dalam proses produksi komoditi kapitalisme yang disebut sebagai fetitisme komoditi itu, sedang menunjukkan pembenarannya. Bahwa ada kontrol negara—yang dalam hal ini sekaligus mendudukkan posisinya sebagai pemilik modal—yang menciptakan jarak antara kelas (pemilik gedung) dengan kelas pekerja (seni) melalui pertukaran “ekonomi.”
            Tentu, saya tidak sedang menafikan, bahwa bolah dikata gedung-gedung kesenian di Indonesia ini memungut retribusi. Tetapi, penting dicatat, dengan angka nominal tertentu, gedung yang dipungut retribusinya itu, siap pakai. Pengguna, tidak lagi berurusan dengan sewa-menyewa. Pengelolaan gedung profesional, dengan tim work yang siap bertugas. Ini kalau memakai logika bisnis: hubungan konsumen dan produsen. Namun pertanyaannya kemudian, khusus dalam konteks gedung ASIT, bagaimanakah niat awal gedung ini didirikan? Apakah juga akan “dibisniskan”? Apakah pemerintah akan memposisikan diri sebagai produsen, dan pekerja seni adalah konsumen? Saya kira, tidak demikian, bukan? Setahu saya, niat awal “kita” (seniman, pemerintah, lembaga-lembaga kesenian, dll) adalah hendak membangun dan menggerakkan kesenian Riau secara bersama-sama, tanpa menyembunyikan konflik kelas ala Marx, melalui pertentangan-pertentangan. Karena konsepnya begitu, maka masing-masing mengambil peran dan posisi yang saling melengkapi.
            Maka, di sinilah pentingnya badan pengelola. Sebagaimana layaknya gedung kesenian di berbagai daerah di Indonesia dan (saya kira juga di luar negeri), badan pengelola tidak serta-merta diserahkan mutlak pada pemerintah melalui dinas terkait, terutama karena pada kenyataannya sebagian besar pegawainya bukan berlatar belakang seni-budaya. Akan tetapi, badan pengelola adalah kolaborasi dari berbagai elemen terkait, yang terdiri dari pengelola teknis dan non-teknis. Teknis, tentu yang berurusan dengan menejerial-administratif, peralatan/perlengkapan gedung, dan lain sebagainya. Sementara pengelona non-teknis—yang sesungguhnya kerap diabaikan—adalah para kurator seni. Peran dan tugas manajemen dan kurator seni jelas adalah mengelola agenda-agenda pertunjukan seni yang terprogram dengan baik, selama setahun. Terprogram artinya, pertunjukan-pertunjukan yang digelar di ASIT adalah hasil kurasi, yang telah disiapkan sedemikian rupa. Tidak insidental dan terkesan spontanitas. Dan alangkah baiknya, program-program itu disinergikan dengan program Dewan Kesenian Riau, agar tidak tumpah tindih.
            Satu program, yang saya kira diimpikan oleh para seniman adalah, badan pengelola boleh jadi bekerjasama dengan Dewan Kesenian Riau, atau stakeholder lainnya, menyediakan dana bantuan produksi untuk para seniman atau kelompok seniman yang akan berkarya (dalam berbagai genre seni). Pemberian dana ini bersifat kompetitif. Seniman atau kelompok seniman diberi peluang yang sama untuk mengajukan (semacam) proposal pertunjukan seni/pameran seni, berisi di antaranya konsep pertunjukan/pameran seni. Konsep ini harus diuji (dengan berbagai metode) oleh kurator seni yang telah ditunjuk. Yang lolos, mereka berhak pentas di ASIT gratis dengan segala fasilitasnya, ditambah dana produksi, dibantu publikasinya, masuk dalam buku program ASIT untuk setahun. Saya kira, program semacam ini tidak semata akan membangkitkan gairah para seniman untuk berkarya, tetapi juga dapat menyaring/menyeleksi karya-karya yang memang telah siap untuk ditonton oleh publik. Dengan begitu, gedung ASIT akan “naik kelas,” sebagai gedung seni yang berwibawa, yang menampilkan karya-karya terpilih. Apalagi kalau misalnya, para kurator juga (diwajibkan) menulis review atau ulasan, terkait karya seni yang disajikan itu, yang dipublikasan di media massa, selain juga tulisan kenapa karya itu yang “dipilih” untuk tahun itu.  
            Tentu, banyak hal yang bisa dilakukan selain gagasan kecil saya ini. Yang pasti, gedung ASIT adalah laman “berkarya” para seniman Riau. Jangan abaikan dan jangan biarkan ia tengengah-engah terus-menerus dalam kondisi gawat darurat...***
           
           

Kamis, 20 Februari 2014

Mendengar dan Membaca Puisi di Cafe



Oleh Marhalim Zaini (kolom Senggang, Riau Pos, 23 Feb 2014)

KETIKA saya (bersama Komunitas Paragraf) turut mendukung dan menggerakkan iven Malam Puisi Pekanbaru (14 Februari 2014) dengan membaca puisi bersama anak-anak muda di sebuah cafe, di kepala saya berputar-putar sebuah pertanyaan: apa yang sedang dicari oleh anak-anak muda ini ketika mereka memilih kegiatan malam liburnya dengan mendengar dan membaca puisi di cafe? Saya menduga, boleh jadi, mereka sedang mencari kesenangan.
                Di usia-usia muda seperti mereka—setingkat pelajar, pun mahasiswa—kesenangan yang identik dengan “kegembiraan” itu, sepertinya sudah (seolah) menjadi bagian integral dari dunia mereka. Anak-anak muda yang (masih) fresh ini, adalah anak-anak muda yang sedang berproses menemukan eksistensi mereka dalam kegembiraan-kegembiraan, dalam kesenangan-kesenangan. Bukankah memang begitulah hendaknya, bahwa mereka harus melakukan aktivitas positif meraka dengan penuh rasa senang, penuh suka-cita. Namun, kesenangan/kegembiraan macam apakah yang mereka dapatkan dari “mendengar” dan “membaca” puisi, di cafe?
                Samakah kesenangannya dengan berbagai jenis kesenangan yang juga disuguhkan oleh dunia modern hari ini untuk para anak-anak muda ini, semisal menyanyi bersama-sama di ruang karaoke, atau nongkrong juga shoping di mal, atau bermain game di warnet? Tentu, berbeda. Perbedaannya bisa jadi tidak semata soal ruang aktivitas dan jenis kesenangannya, tetapi juga soal motivasi kenapa memilih kesenangan dari aktivitas tertentu. Saya, dalam konteks ini, tentu tidak sedang mendikotomi secara serampangan bahwa kesenangan yang satu, lebih baik dari kesenangan lainnya. Sebab, pada dasarnya tiap person, memiliki “selera” yang berbeda untuk menentukan pilihannya sendiri. Meskipun, penting diingat, bahwa dunia produksi massa hari ini, tengah terus menerus menciptakan apa yang disebut oleh Guy Debord dalam buku The Society of Spectacle sebagai “masyarakat tontonan”: masyarakat yang (secara tidak disadari) telah diseragamkan seleranya dalam satu perangkap keinginan (desire) yang sama, oleh image tontonan yang dikomodifikasi.
                Maka, mari melihat lebih spesifik misalnya, kegiatan “mendengar” dan “membaca” puisi, di cafe, yang dilakukan oleh anak-anak muda (Pekanbaru) ini, sebagai salah satu upaya alternatif menciptakan ruang-ruang kesenangan (desire) baru bagi anak muda—tentu tidak berarti saya sedang mengatakan bahwa ini adalah cara paling baru untuk aktivitas orang “berpuisi” di tanah air, apalagi di luar negeri. Selain itu, di tengah banyak penyair risau, sejak lama, puisi-puisinya tidak diminati pembaca, apalagi oleh kalangan anak muda, maka kegiatan serupa ini adalah salah satu solusi bagaimana membangun minat terhadap dunia puisi.  
                Hemat saya, secara lebih luas, boleh juga kemudian kita melihat fenomena ini sebagai upaya mengangkat kembali wacana kelisanan dan keberaksaraan dalam masyarakat industri hari ini. Kata “mendengar” (aural) yang biasanya disandingkan dengan kata “melisankan” (orality), kini dalam konteks peristiwa “pembacaan puisi” dapat ditukar-sandingkan dengan kata “membaca” (terkait dengan dunia literacy). Jadi literacy-aural, bukan lagi oral-aural. Artinya, dunia keberaksaraan itu, dunia “membaca-mendengar” itu, boleh jadi masuk dalam salah satu fase dari tiga tahapan peradaban masyarakat yang pernah dikonsepsikan dalam teori Walter J. Ong sebagai: kelisanan primer, keberaksaraan, dan kelisanan kedua (orality secondary).
                Artinya juga, melalui peristiwa “pembacaan puisi di cafe” setidaknya dapat “memaksa” para calon pembacanya untuk terlebih dahulu melakukan “pembacaan” teks puisi yang akan dibacakan. Dengan begitu, ada proses transformasi hasil pembacaan teks (puisi) sebagai sebuah proses “pemahaman” pada tahap awal, yang kemudian diikuti oleh pembacaan teks (puisi) tersebut pada tahap berikutnya: yakni pemanggungan. Lalu, sebagai sebuah peristiwa komunikasi, massage yang disampaikan melalui teks-teks puisi itu, diterima oleh receiver (para pendengar). Nah, proses “mendengar” di sini, adalah proses kelisanan itu. Para pendengar di cafe—seperti halnya juga saya kira para pendengar di sebuah peristiwa pembacaan puisi di mana pun—bukanlah pendengar yang terlampau “serius.”
                Sebab puisi, ketika ia dibacakan, kadang terdengar seperti dengung yang merayap di dinding-dinding, kadang bagai desing yang melesat, kadang meraung di sekitar ruang, kadang bagai dendang yang membuat sesekali ujung kaki turut bergerak ritmis, kadang seperti gelitik ringan yang membuat tersenyum, kadang ia seperti sunyi yang lembab, berkeringat di dinding gelas kopi es Amerika, malah kadang ia tak seperti bunyi, tapi terlihat gerak gairah visualnya dalam ekspresi para pembaca di atas panggung.
                Dan, begitulah, puisi di cafe. Betapapun, cafe, hanyalah sebuah nama dari sebuah ruang, yang dibangun dari cara berfikir kita atas waktu senggang, atas fashion, atas kesenangan-kesenangan dunia modern, yang sesungguhnya, tak jauh-jauh dunia puisi. Dunia yang kerap ambigu....***


Sabtu, 15 Februari 2014

Kutemukan manuskrip buku puisi keduaku

Sahabat, pasca dipecahkan kaca mobil saya oleh si maling (sekitar 3 bulan lalu), mengambil ransel berisi laptop, hardisk eksternal, uang, 2 modem, 2 palsdisk, absen ngajar, absen mahasiswa, beberap buku sastra, dll, kini kutemukan sejumlah file lama. Sebuah manuskrip buku puisi saya yang kedua, LANGGAM NEGERI PUISI, saya temukan. Bahkan arsip bukunya, pun, telah lesap dipinjam oleh seseorang dan tak kembali sampai kini. Puisi-puisi dalam buku itu, seperti sebuah peta, dari perjalanan saya berpuisi, dan berpetualang di berbagai kota, pun puisi-puisi cinta. Diberi pengantar oleh Bang Taufik Ikram Jamil, diulas dalam sebuah diskusi oleh Kang Maman S Mahayana. Sila baca-baca di laman khusus dalam blog ini.....

Jumat, 14 Februari 2014

Baca Puisi di Cafe

Komunitas Paragraf Dukung Malam Puisi Pekanbaru (
Ini bulan kedua, baca puisi di cafe-cafe. Anak-anak muda bikin acara senang-senang bersama puisi. Anak-anak muda, yang gaul-gaul itu, berani baca puisi karya sendiri. Ada Pak Danar juga, Kepala Balai Bahasa Prov. Riau, yang hobi begadang....

Seniman Demo ke DPR soal Perda ASIT

Mantap, seniman demo.....
Perda yang konon dibuat Bappeda prov. Riau, berisi di antaranya biaya pemakaian gedung Anjung Seni Idrus Tintin. Seniman berang. Selama ini, seniman mau pentas di ASIT juga harus tunggang langgang cari duit untuk sewa AC, sewa genset, bayar kebersihan, dll. Tiba-tiba muncul perda, bayar lagi, 2 sampai 3 jt. Demo berhasil "menggagalkan" berlakunya Perda tersebut.

Itu baik. Dan menurut saya, tugas-tugas semacam ini mestinya dikerjakan oleh DKR, sebagai lembaga yang menerima kucuran dana dari pemerintah, yang dipercaya sebagai corong kegelisahan para seniman. Tapi, tak taulah. Seniman demo dengan nama Forum Seniman Riau, bukan dari Dewan Kesenian Riau. Muncul nama forum ini, hemat saya, karena DKR pasif, dan tak responsif........

Sekali Lagi, DKR Tak Jadi Undang Saya

Ini kali kedua, saya tak jadi diundang sebagai pembicara diskusi sastra. Ceritanya begini: awalnya saya dihubungi oleh salah satu pengurus komite sastra DKR, untuk menjadi pembicara dalam diskusi sastra yang mau bedah buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh." Awalnya, saya agak berat hati, karena menurut saya, program diskusi DKR ini mestinya tidak insidental, tapi terprogram dengan baik. Namun akhirnya, saya oke kan. Nah, habis itu, senyap. Tak ada kabar jadi atau tidak. Tak ada konfirmasi. Tiba-tiba, ada sms masuk dari Bang Rusli DKR, isinya berupa undangan diskusi buku itu, yang tanpa pembicara. Hahahaha......

Kali pertama dulu, di tahun 2013, hampir sama kasusnya. Bedah bukunya Gol A Gong, kumpulan puisi Membaca Diri. DKR juga. Ini lebih parah saya kira. Karena begitu dihubungi, saya langsung coba buat makalah kecil. Sudah jadi 2 halaman, tiba-tiba undangan yang sampai pada saya, acaranya hanya "Baca Puisi Penyair Riau Bersama Gol A Gong". Dan tak ada berbunyi acara DISKUSI-nya. Apalagi menyebut nama saya sebagai pembicara......Aneh kan?

Saya tak tahu apa sebabnya. Karena tak ada bocoran, kenapa pembatalan dan tidak penyebutan acara diskusi itu. Yang saya pahami, nama saya agaknya, telah di-blakclist oleh bos-bos DKR, karena sejarah. Karena saya ni agak pembangkang, dulu juga sekarang. Maka, meskipun saya sudah ditabalkan sebagai SENIMAN PEMANGKU NEGERI oleh DKR sendiri, tapi saya merasa diabaikan. Dan saya sih, oke-oke saja. No problem. Asal, kegiatan-kegiatan DKR itu baik-baik saja. Persoalannya kemudian, kegiatan DKR tidak baik-baik saja. Tiga tahun jalan, tak ada kegiatan yang terprogram dengan baik, dengan visi yang jelas. Insidental, pragmatis, dan di ujung-ujung tahun semua serba dikejar, terburu-buru.....

Semoga tak ada yang ketiga kalinya......semoga DKR berubahlah.....

Minggu, 02 Februari 2014

Beberapa Bentuk Pengkhianatan yang Lucu

Menurut saya, beberapa kejadian yang pernah menimpa saya berikut ini, dapat dikategorikan sebagai pengkhianatan, sengaja atau tidak sengaja, yang sebaiknya tidak terulangi lagi pada diri saya, atau pada diri siapa pun. Pengkhianatan, bagi saya, adalah juga salah satu cara untuk tidak menghargai "keberadaan" orang lain:
1. Saya pernah diundang untuk baca puisi di luar negeri, sekitar tahun 2011. Karena uang transportasi tidak ditanggung, dan tentu saya tidak mampu memenuhinya, maka pihak penyelenggara sudah menyerahkan urusan transportasi ini pada sebuah lembaga kesenian di Riau. Saya pun memastikan diri untuk berangkat. Namun, sampai hari acara dimulai, saya tidak kunjung dikontak oleh lembaga kesenian itu. Inisiatif saya untuk kemudian mengontak, tapi tak berbalas. Lalu, saya pun menganggap, saya tak jadi berangkat. Anehnya, beberapa minggu setelahnya, saya mengetahui bahwa rupanya beberapa orang (sepertinya, mereka penyair) berangkat untuk mengikuti ivent di luar negeri itu. Dan salah satu dari mereka, adalah dari lembaga kesenian itu, yang menurut hemat saya, tidak jauh lebih berkompeten dari saya....alahmak jaaaang....

2.  Saya pernah (bahkan beberapa kali) diajak/diminta untuk turut serta dalam sebuah lembaga penelitian di Riau, oleh satu/dua orang pengelola/penggagasanya. Saya sih oke. Dan nanti akan dikontak lagi apabila sudah mulai jalan. Namun, setelah beberapa bulan, beberapa tahun bahkan, saya tak dapat kabar lagi. Inisiatif saya untuk kemudian menanyakannya, jawabannya: nanti akan kita hubungi. Lalu, saya pun lupa. Anehnya, suatu ketika, saya dapat kabar, dan dishare di facebook, bahwa lembaga itu sudah jalan, dengan sebuah proyek....alahmak jaaaang.....

3. Saya pernah diundang untuk menjadi pembicara pada sebuah seminar. Via telpon, undangan awal dikonfirmasi. Saya oke, karena tema sesuai dengan dunia yang saya geluti, puisi. selain waktu yang tak bentrok. Saya bertanya, siapa pembicara lain: maka disebutlah sejumlah nama pejabat Riau, bahkan salah satunya gubernur terpilih Riau. Meskipun dalam hati saya bertanya, mau ngomong apa orang ini? Ya, katanya soal strategi kebudayaan. Yah, okelah. Nah, anehnya, begitu hari H, sesuatu yang saya bayangkan tidak sesuai dengan bayangan itu. Pertama, rupanya bukan seminar yang dihadiri oleh banyak orang di sebuah ruang yang representatif, tapi dihadiri oleh beberapa orang (mungkin belasan) yang notabene adalah anggota dari kelompok panitia sendiri. Di sebuah ruang rapat...hahahaha.....Kedua, pembicara yang disebut dalam surat undangan itu, tak datang semua. Hanya saya, dan seorang budayawan, yang datang....Ketiga, tema diskusi yang simpang siur, entah kemano-mano....alahmak jaaaaaang.....