Márquez,
Kartini, Buku, Chairil
Oleh
Marhalim Zaini
APRIL,
agaknya bolehlah kita sebut sebagai bulan literasi. Setidaknya, empat momentum
ini menandainya: Gabriel García Márquez wafat (17 April), Hari Kartini (21
April), Hari Buku Sedunia (23 April), dan Hari Chairil Anwar (28 April).
Sederet peristiwa itu, adalah penanda,
ihwal detak jantung dunia literasi kita. Dunia keberaksaraan kita. Keberaksaraan,
yang tak semata bicara soal dunia cetak (print
literacy) yang ditengarai sebagai penanda dunia modern, akan tetapi juga
soal aksara sebagai—apa yang disebut Sweeney —stylized form. Dan, “bentuk yang istimewa” itu, adalah puisi, adalah
sastra. Maka, bicara dunia keberaksaraan (literacy),
tak bisa lepas dari dunia sastra.
Gabo
(panggilan Márquez), peraih Nobel Kesusastraan (1982) itu wafat, adalah
peristiwa alamiah, untuk usianya yang telah 87 tahun. Kita boleh bersedih,
terlebih bukan oleh kehilangan. Sebab, karyanya telah abadi, berikut namanya,
yang telah “melembaga” dalam kesusastraan dunia abad 20. Ia akan terus hidup,
seperti terus hidupnya dalam ingatan kita novel Seratus Tahun Kesunyian (One Hundred Years of Solitude).
Tapi,
kenapa ia “abadi” dan terus hidup? Saya kira, tidak semata karena, novelnya itu
telah terjual lebih dari 30 juta buku di seluruh dunia, dan diterjemahkan dalam
berbagai bahasa dunia—sebagaimana kerap kita dengar novel/buku best seller di negeri kita ini. Tetapi,
terlebih, karena ia telah menulis “dengan baik” ihwal “dunianya sendiri.” Ia
telah berhasil menjadi “juru bicara” kampung halamannya sendiri dengan pesona realisme magis-nya, ihwal pergolakan
sosial Amerika Latin: perang saudara, kediktatoran, pemogokan buruh,
pembantaian, pengungsian, di sebuah desa bernama Macondo.
Lalu,
Kartini. Melalui apakah kita kenal ia sebagai perempuan pejuang emansipasi? Ya,
lewat tulisan. Karena ia menulis, maka ia pejuang. Ia berjuang dengan tulisan. Meski
awalnya, boleh jadi ia tak berniat menjadi seorang pejuang, tetapi
pikiran-pikiran subversifnya yang ia tulis ihwal “dunianya sendiri” (dunia
perempuan) yang dilingkupi kolonialisme dan feodalisme, membawa ia masuk ke
dalam sebuah weltanschaung (pandangan
dunia) untuk memperjuangkan sesuatu. Maka benarlah, dalam konteks yang lebih
luas, jika Putu Wijaya pernah menyebut, “penulis itu adalah pejuang.” Dan
melalui Kartini, kita dapat bukti, bahwa sebuah teks tulisan, menyembunyikan (nilai)
perjuangan itu: “di dalam hatiku, jiwaku harus digali, dibongkar, dan
apabila dari situ menyembur darah seperti sebuah air pancur, barulah
tulisan itu mengandung nilai.”
World Book Day, berdasarkan pertimbangan apakah
UNESCO menetapkannya? Kenapa 23 April? Ya, itu agaknya tanggal keramat. Angka
simbolik untuk melawan lupa. Bahwa saat itu, sejumlah sastrawan besar dunia lahir,
pun meninggal. Sebutlah semisal Shakespeare, Cervantes, Inca Garcilaso de la Vega,
Maurice Druon, K. Laxness, Vladimir Nabokov, Josep Pla dan Manuel Meijia
Vallejo. Tentu, mestinya termasuklah Chairil Anwar. Terlepas soal perbedaan
sistem penanggalan apapun yang dipakai, point pentingnya adalah, UNESCO hendak
menegaskan bahwa “buku” identik dengan sastrawan. Yang artinya, penetapan ini adalah
juga sebuah pengakuan dan penghargaan besar terhadap sastrawan yang telah
memberi kontribusi penting dalam peradaban umat manusia.
Lalu, Chairil. Agaknya, yang menjadi kian relevan
menyebut nama Chairil di hari-hari belakangan ini adalah terkait dengan ungkapannya:
“Yang bukan penyair, tidak ambil bagian.” Meskipun banyak yang protes pada
pernyataan Chairil (dalam sebuah wawancara dengan radio Belanda) itu, tapi hari
ini, saya kira penting diangkat kembali. Kenapa begitu? Sebab, makin sulit kita
membedakan mana yang benar-benar “penyair” dan yang “bukan penyair.” Mana yang
“puisi” dan mana yang “slogan.” Mana yang puisi untuk “kemanusiaan” dan mana
puisi untuk sekedar kepentingan politis.***