Sabtu, 26 April 2014

Indopos (27 April) dan Riau Pos (28 April 2014)



Márquez, Kartini, Buku, Chairil

Oleh Marhalim Zaini
           
            APRIL, agaknya bolehlah kita sebut sebagai bulan literasi. Setidaknya, empat momentum ini menandainya: Gabriel García Márquez wafat (17 April), Hari Kartini (21 April), Hari Buku Sedunia (23 April), dan Hari Chairil Anwar (28 April). Sederet peristiwa itu, adalah penanda, ihwal detak jantung dunia literasi kita. Dunia keberaksaraan kita. Keberaksaraan, yang tak semata bicara soal dunia cetak (print literacy) yang ditengarai sebagai penanda dunia modern, akan tetapi juga soal aksara sebagai—apa yang disebut Sweeney —stylized form. Dan, “bentuk yang istimewa” itu, adalah puisi, adalah sastra. Maka, bicara dunia keberaksaraan (literacy), tak bisa lepas dari dunia sastra. 
Gabo (panggilan Márquez), peraih Nobel Kesusastraan (1982) itu wafat, adalah peristiwa alamiah, untuk usianya yang telah 87 tahun. Kita boleh bersedih, terlebih bukan oleh kehilangan. Sebab, karyanya telah abadi, berikut namanya, yang telah “melembaga” dalam kesusastraan dunia abad 20. Ia akan terus hidup, seperti terus hidupnya dalam ingatan kita novel Seratus Tahun Kesunyian (One Hundred Years of Solitude).
Tapi, kenapa ia “abadi” dan terus hidup? Saya kira, tidak semata karena, novelnya itu telah terjual lebih dari 30 juta buku di seluruh dunia, dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa dunia—sebagaimana kerap kita dengar novel/buku best seller di negeri kita ini. Tetapi, terlebih, karena ia telah menulis “dengan baik” ihwal “dunianya sendiri.” Ia telah berhasil menjadi “juru bicara” kampung halamannya sendiri dengan pesona realisme magis-nya, ihwal pergolakan sosial Amerika Latin: perang saudara, kediktatoran, pemogokan buruh, pembantaian, pengungsian, di sebuah desa bernama Macondo.
Lalu, Kartini. Melalui apakah kita kenal ia sebagai perempuan pejuang emansipasi? Ya, lewat tulisan. Karena ia menulis, maka ia pejuang. Ia berjuang dengan tulisan. Meski awalnya, boleh jadi ia tak berniat menjadi seorang pejuang, tetapi pikiran-pikiran subversifnya yang ia tulis ihwal “dunianya sendiri” (dunia perempuan) yang dilingkupi kolonialisme dan feodalisme, membawa ia masuk ke dalam sebuah weltanschaung (pandangan dunia) untuk memperjuangkan sesuatu. Maka benarlah, dalam konteks yang lebih luas, jika Putu Wijaya pernah menyebut, “penulis itu adalah pejuang.” Dan melalui Kartini, kita dapat bukti, bahwa sebuah teks tulisan, menyembunyikan (nilai) perjuangan itu: “di dalam hatiku, jiwaku harus digali, dibongkar, dan apabila dari situ menyembur darah seperti sebuah air pancur, barulah tulisan itu mengandung nilai.”
World Book Day, berdasarkan pertimbangan apakah UNESCO menetapkannya? Kenapa 23 April? Ya, itu agaknya tanggal keramat. Angka simbolik untuk melawan lupa. Bahwa saat itu, sejumlah sastrawan besar dunia lahir, pun meninggal. Sebutlah semisal Shakespeare, Cervantes, Inca Garcilaso de la Vega, Maurice Druon, K. Laxness, Vladimir Nabokov, Josep Pla dan Manuel Meijia Vallejo. Tentu, mestinya termasuklah Chairil Anwar. Terlepas soal perbedaan sistem penanggalan apapun yang dipakai, point pentingnya adalah, UNESCO hendak menegaskan bahwa “buku” identik dengan sastrawan. Yang artinya, penetapan ini adalah juga sebuah pengakuan dan penghargaan besar terhadap sastrawan yang telah memberi kontribusi penting dalam peradaban umat manusia.
 Lalu, Chairil. Agaknya, yang menjadi kian relevan menyebut nama Chairil di hari-hari belakangan ini adalah terkait dengan ungkapannya: “Yang bukan penyair, tidak ambil bagian.” Meskipun banyak yang protes pada pernyataan Chairil (dalam sebuah wawancara dengan radio Belanda) itu, tapi hari ini, saya kira penting diangkat kembali. Kenapa begitu? Sebab, makin sulit kita membedakan mana yang benar-benar “penyair” dan yang “bukan penyair.” Mana yang “puisi” dan mana yang “slogan.” Mana yang puisi untuk “kemanusiaan” dan mana puisi untuk sekedar kepentingan politis.*** 

Sabtu, 12 April 2014

Indopos (05 April), Riau Pos (06 April)



Puisi, Slogan, Politik

Oleh Marhalim Zaini

            Benarlah Goenawan Mohamad, ketika ia menyebut bahwa abad keduapuluh adalah sebuah “abad politik.” Maka politik, hari ini pun, (terasa seolah kembali) menjadi “panglima.” Sebagai “panglima”, politik menawarkan kekuasaan—kekuasaan yang boleh jadi menjelma dalam beragam wajah: yang hegemonik (Gramsci), yang dominasi-represif (Marx), atau yang relasi wacana-strategi (Foucault). Kekuasaan, yang kemudian membuat banyak orang, diam-diam, terhasut hatinya, untuk kian berbondong-bondong masuk ke dunia politik.
            Menyandingkan politik dengan puisi, agaknya, serta merta menyeret ingatan kita pada adagium Kennedy yang masyhur, “jika politik kotor, puisi membersihkannya.” Posisi puisi di situ, memang seolah ditempatkan secara fungsional, sebagai semacam detergen, sapu, lap, dan sejenisnya. Dan politik, adalah objek yang harus dibersihkan itu. Soal bagaimana cara atau metode sebuah puisi dapat “membersihkan” kotoran (yang ada di dunia) politik, adalah soal lain. Yang pasti, kalau kita turut bersepakat dengan Kennedy, “puisi” masih (selalu) diyakini memiliki kuasa tersembunyi (hidden realms) untuk “menggerakkan.”  
            Ketika, belakangan, muncul seorang tokoh sebuah partai politik menulis puisi-puisi yang (oleh media massa) disebut “bernuansa politis”, apakah ia sedang turut meyakini itu? Boleh jadi ya, boleh jadi juga tidak. Tetapi, bahwa dunia puisi (seni secara umum), dalam perkembangannya, seperti tak dapat terpisahkan dengan kehidupan (dunia) politik, adalah fakta konkret. Di berbagai belahan dunia, dalam berbagai model pergerakannya, dalam berbagai konteks, puisi (karya seni) kerap “difungsikan” sedemikian rupa.
Mulai dari tujuan untuk “perlawanan ideologis”, atau untuk tujuan mencari kedudukan dan prestasi politis, sampai pada untuk menyelamatkan diri dari prahara politik (dengan berkarya untuk kepentingan penguasa). Dan perlu diingat juga, bahwa tidak sedikit para penguasa yang justru mendayagunakan puisi (karya seni) sebagai alat legitimasi status quo, misalnya melalui penulisan mitos-mitos heroisme.  
            Pertanyaannya kemudian, apakah puisi-puisi yang diciptakan itu, adalah “puisi sejati”? Atau, ia hanya slogan-slogan? Puisi dan slogan, pada tingkat tertentu, memang berdinding dan berbanding tipis. Kedunya, berpotensi memiliki hidden realms, karena keduanya bertolak pada pengolahan kekuatan kata-kata. Maka Agaknya, secara sederhana, kita boleh saja membedakannya pada niat si penulisnya. Jika ia berniat menulis puisi, maka puisilah itu. Jika ia berniat menulis slogan, sloganlah itu.
Namun, dalam konteks yang lain, sebuah slogan, bisa saja berubah “menjadi sajak perkasa” (istilah Feng Chih), ketika slogan itu dapat benar-benar menjadi representasi sosial, dengan pilihan diksi yang “terukur.” Sebaliknya, puisi, bisa juga berubah menjadi (sekedar) slogan yang hanya bertujuan membangkitkan solidaritas bersama untuk kekuasaan, untuk sekedar mengajak pada sebuah “pesta” pertemuan bersama. Maka, puisi (sejenis ini pun), hanya menjadi sebentuk kerja kreativitas yang reaktif belaka, eksentrik, dan dengan begitu, ia menjadi rapuh.
Jika slogan, lahir dari sebuah kepentingan untuk memaksakan sesuatu (kepada publik) agar bisa dipercaya, puisi justru cenderung “mengajak” untuk tidak mempercayai sesuatu secara mutlak, tersebab ia ambigu. Puisi, tidak pernah memaksa untuk percaya padanya. Puisi, justru membiarkan publik (pembaca) “berkeliaran” dalam imajinasi dan tafsirnya masing-masing. Jika kebersamaan yang hendak dibangun oleh slogan adalah, bersifat fisik, maka puisi—seturut Goenawan—“menghendaki pertemuan dari hati ke hati.” 
Maka, saya selalu meyakini bahwa, yang akan menguji apakah ia sebuah puisi atau sebuah slogan, adalah waktu, adalah zaman. Andai ia diciptakan sebagai “puisi reaktif”—sebagaimana slogan—untuk kepentingan sesaat, maka ia rapuh, ia akan segera lenyap, mengikuti lenyapnya sebuah priodeisasi zaman.***

Dua Juri di Balai Bahasa

Insya Allah Juri Baca Puisi SLTA se Riau, 16 April 2014, dan Juri Festival Musikalisasi Puisi, 28 April 2014. Semoga selalu sehat.....