Kamis, 26 Juni 2014



Sweeney dan Munsyi

Oleh Marhalim Zaini

Riau memiliki ‘komoditas langka’ yang diperlukan pihak Belanda: bahasa. Mereka percaya bahwa Riaulah tempat untuk memperoleh informasi tentang bahasa Melayu dalam bentuknya yang paling asli dan murni.”

Saya ingin mengutip kalimat Van der Puten itu, dalam konteks hendak mengawali tulisan pendek ini ihwal penegasan tentang posisi penting Riau dalam pemerintahan kolonial Belanda pada abad ke-19. Kala itu, bahasa Melayu menjadi medium yang paling efektif untuk menyebar-luaskan pemikiran-pemikiran Barat. Pembenarannya, hemat saya, apa yang ditunjukkan (salah satunya) oleh Amin Sweeney dalam buku-bukunya tentang Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (1796-1854).
Amin Sweeney adalah seorang Irlandia yang jatuh hati pada tanah Malaya (sebelum berubah jadi Malaysia), sejak ia singgah pada tahun 1958. Sastra Melayu bagi Sweeney sesungguhnya bukan barang baru. Di tahun 1975, karya putra Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi bernama Ibrahim, sudah ia terjemahkan berjudul Voyages of Ibrahim Munsyi. Dan tersebab cintanya yang dalam, ia pun memilih untuk pensiun dini dan selama lima tahun menyelam di kedalaman karya-karya Abdullah Munsyi.
Tapi kenapa Abdullah Munsyi? Bagi orang-orang Melayu di Indonesia, agaknya akan memandang nama Abdullah Munsyi secara sepintas lalu saja. Karena memang Munsyi bukan ‘orang asli’ Indonesiaia lahir di bandar Melaka yang kemudian pindah ke Singapura. Tapi, tentu tidak demikian halnya dengan orang Melayu Riau (apalagi para sastrawannya). Selain karena secara historis (kerajaan Riau-Johor) seperti rasanya tak terpisahkan secara emosional, juga tersebab kedekatan geografis, dan rumpun kultural. Apalagi kemudian, di telinga kita sempat terngiang-ngiang julukan ‘bapak pembaharu sastra Melayu” bagi Munsyi. Kata Teew, “…kita malah dapat melihat seorang pelopor kesusastraan modern pada diri seorang penulis seperti Abdul Kadir Munsyi.
            Akan tetapi, Sweeney, sebenarnya justru mempertanyakan kembali ‘mitos’ dari sebuah julukan yang kerap memberi asumsi ‘berlebihan’ itu. Sweeney bilang, sesungguhnya bukanlah orang Melayu yang memberi julukan tersebut, akan tetapi adalah C. Skinner (1959), sehingga memang kemudian layak dipersoalkan. Apalagi, ketika sebuah fakta yang menyertainya, justru memaparkan tentang sikap-sikap Abdullah sendiri yang pro-Eropa. Sweeney kemudian, dalam sebuah wawancara di sebuah media di Jakarta, bahkan menyebut begini, “Saya dapat melihat bahwa Abdullah adalah sosok yang licik. Dalam hampir seluruh karyanya Abdullah memang terkenal dengan kemampuannya untuk memuaskan para majikannya sekaligus menunjukkan keburukan-keburukan penguasa Eropa,” (Ruang Baca, Koran Tempo, Agustus 2005).
Agaknya, dalam kasus ini, kita bisa juga menelusuri kebenarannya langsung dalam karya-karya Abdullah. Misalnya dengan sengaja Abdullah memuji Thomas Stamford Raffles, tapi dengan sengaja pula menunjukkan keburukan-keburukan Raffles dalam sejumlah episode tentang keburukan para bangsa Eropa yang datang ke Semenanjung Melayu. Padahal, di tahun 1823, Abdullah bersama dengan Raffles telah menerjemahkan dan menyusun Undang-undang Singapura, dan sempat juga menjadi juru tulis Raffles (yang menjadi sumber periuk-nasinya).
            Ini sebuah percanggahan yang demikian paradoks, yang rasanya tak mungkin bisa diselaraskan. Akan tetapi, Sweeney sepertinya telah mengambil sikapnya sendiri, bahwa meskipun “Abdullah sering dituding kurang memiliki sifat patriotisme serta bersikap tidak taat setia terhadap orang Melayu disebabkan pemujaan berlebihan terhadap Inggris, namun tuduhan demikian ternyata anakronistis.” Sebab tentu saja kita tahu, bahwa di zamannya Abdullah, sebuah norma tentang kesetiaan seseorang tertuju kepada rajanya. Sementara raja yang berkuasa saat itu adalah raja Inggris, maka Abdullah pun sangat setia kepada raja Inggris.
Tapi kita juga mesti ingat, bahwa Abdullah, dalam sejumlah karya-karyanya, dengan gaya yang kolokial, juga kerap menyindir para sultan dan penguasa Melayu. Misalnya kita kutip kalimat-kalimat berikut: “Maka sekalian orang yang duduk dalam negeri itu senantiasa dengan ketakutan akan aniaya dan loba raja-raja dan orang besar-besar. Maka adalah fikiran mereka itu, apa guananya rajin kita itu? Maka jikalau kita mendapat sedikit wang atau makanan, nescaya dilobakan dan dirampas oleh orang besar itu. Maka sebab itulah tinggal mereka itu dalam miskin dan malas sepanjang umurnya” (Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan).***
             

Jumat, 06 Juni 2014

Riau Pos, 01 Juni 2014



Riau Pos dan Generasi Baru Penyair Riau

Oleh Marhalim Zaini

                   Di awal tahun 2008, saya pernah menulis esai cukup panjang di media ini, berjudul “Ihwal Regenerasi Sastra Riau.” Esai ini, kemudian direspon oleh seorang sastrawan dari Sumatera Barat, Zelfeni Wimra, dengan judul, “Setelah Regenerasi Sastra, Apa Lagi?” Karena saya anggap perlu merespon balik esai itu, lalu saya menulis lagi dengan judul yang agak provokatif, “Ayo, Lupakan Saja Indonesia!” Fokus dari tulisan saya itu sebetulnya lebih bersifat catatan dokumentatif ihwal bagaimana dinamika pergerakan sastra Riau (modern) sejak awal kelahirannya. Namun, menjadi agak meluas ke wilayah “ideologi sastra” setelah direspon Zelfeni.
                   Esai serupa itu (bersifat dokumentatif), pun kerap saya tulis sebelumnya, di koran ini juga, berjudul “Catatan Sastra Riau 2005,“ “Catatan Sastra Riau 2007,” dan “Catatan Sastra Riau 2008.” Ketiga esai cukup panjang tersebut, berisi bagaimana dinamika perkembangan sastra Riau selama setahun. Terutama dengan mencermati kemunculan karya-karya sastra yang ditulis oleh penulis Riau di media massa, lokal maupun nasional. Selain dapat menjadi data dokumentasi sastra Riau, kerja-kerja sunyi dan intensif semacam ini, dapat turut mengisi ruang-ruang kosong kerja kesusastraan kita; yang tak semata kerja mencipta, tapi juga membaca, mendokumentasikannya, mendistribusikannya, serta mengkajinya.
                   Riau Pos, saya kira, tanpa disadari (dan harus diakui), sampai hari ini, adalah media yang tidak kecil jasanya bagi perkembangan kesusastraan (di) Riau. Menjadi bertambah penting perannya, karena tak banyak (untuk tidak mengatakan tidak ada) media lain yang sebesar perhatian Riau Pos dalam memberi ruang pada sastra. Pun, menjadi penting dan fenomenal kemudian, ketika di banyak media cetak (koran) di Indonesia cenderung tak memberi tempat leluasa bagi puisi, tapi Riau Pos justru menyediakan satu halaman penuh untuk puisi. Dan, hemat saya, tak pula dapat diabaikan bagaimana kemudian ruang “puisi” ini, turut melahirkan generasi baru penyair Riau.
                   Dalam pengamatan saya, generasi baru itu, adalah para penulis (berusia) muda, yang masih tengah berada dalam gairah penciptaan. Puisi-puisi yang mereka ciptakan, meski dengan “kekuatan” yang beragam, dengan intensitas produktivitas yang naik-turun, bolehlah kita menaruh harapan bahwa masa depan kepenyairan (Riau) berwajah gemilang. Nama-nama seperti May Moon Nasution, Cikie Wahab, Riki Utomi, Ahmad Ijazi H, Anju Zasdar, Muhammad Asqalani Eneste, Jumadi Zanu Rois, Fatih El Mumtaz, Cahaya Buah Hati, Jasman Bandul, Alvi Puspita, dan Boy Riza Utama (yang puisinya saya muat minggu ini), adalah para penyair yang kerap mengisi halaman puisi di Riau Pos, adalah juga para penyair masa depan kita.
                   Tentu, terus akan diuji oleh waktu, apakah mereka tetap konsisten berkarya, dan terus-menerus menggapai capaian-capaian estetika dalam puisi-puisi mereka. Terus-menerus gelisah, sampai mereka menemukan “diri” mereka sendiri, menemukan bahasa “soliloqui” mereka sendiri dalam puisi. Atau, mereka akan berhenti di tengah jalan. Berhenti mencari, dan stagnan, oleh godaan-godaan lain di dalam diri mereka. Berhenti, karena mengira bahwa sekali-dua muncul namanya di media massa, adalah legitimasi yang tak mudah terhapus dalam memori publik. Berhenti, karena merasa telah menjadi “penyair.” Berhenti, karena memang tujuannya menulis puisi, hanya iseng, tidak hendak menjadi “penyair.” Atau, berhenti karena memang (sejak lama), puisi “tak mampu” memberi “makan” bagi para penyairnya.
                    Bagi Riau, yang memiliki sejarah tradisi kepenulisan (puisi) yang panjang, tentu menjadi penting bicara ihwal regenerasi. Tak berhenti, dan putus, pada nama-nama lama saja, pada priode waktu tertentu saja. Tak bernostalgia semata pada kehebatan masa lampau. Sebab, zaman ke zaman, yang terus berevolusi ini, menghendaki “puisi-puisi yang baru.” Puisi-puisi yang lahir dari rahim zamannya sendiri. Puisi-puisi yang tak kalah hebat dengan puisi-puisi para pendahulunya.***