Oleh Marhalim
Zaini
Sejak
lama, banyak orang risau—termasuk para penyairnya—bahwa puisi susah sekali
“diterima” oleh publik luas. Nasib puisi, “dianggap” kerap marjinal, secara
popularitas, bahkan jika dibandingkan dengan sesama genre sastra sekalipun;
cerpen atau novel misalnya. Orang,
terkadang, berharap puisi dapat diterima seperti diterimanya mi instan oleh
semua lidah lintas usia. Espektasi terlampau besar semacam itu, dengan cara pandang
(teramat) umum, kadang, membuat kita kian hari kian tak percaya lagi pada
kekuatan kata-kata dalam puisi. Puisi-puisi yang terlahir kemudian pun, selalu
(dan berupaya keras) untuk “didekat-dekatkan” dengan publik. Seolah, berupaya
untuk membuat puisi tak berjarak dengan publik.
Maka,
penyair, selalu was-was. Selalu kuatir, jangan-jangan puisinya kelak tidak bisa
diterima oleh publik. Tidak bisa dimuat di media massa. Tidak layak masuk buku
kumpulan puisi bersama. Tidak menang lomba. Dianggap “puisi gelap” oleh para
kritikus. Banyak sekali kekuatiran muncul, bahkan sebelum puisi benar-benar
dituliskan oleh si penyairnya. Kekuatiran yang juga kemudian, menurut saya,
menjadi salah satu penyebab lahirnya berbagai gagasan untuk memberi “nama”
setelah kata “puisi” semisal: “puisi
kontekstual” atau belakangan “puisi esai.”
Puisi,
pada posisi semacam ini, seolah mengalami distorsi eksistensi diri. Ia, puisi,
kemudian seolah jadi makhluk tak percaya diri, karena memang banyak orang yang
tidak mempercayainya. Banyak orang meragukan, jika si puisi berjalan sendiri di
tengah orang ramai, akan tersesat, akan terhimpit, tersenggol, bahkan terjatuh,
dan terinjak-injak oleh yang disebut sebagai “publik” itu, oleh yang kerap
dipanggil “kontekstual” itu. Maka, banyak orang berpikir—sekali lagi, bahkan
oleh si penyairnya sendiri—puisi harus ditemani, tak boleh berjalan sendiri di
rimba raya realitas. Tidak aman bagi puisi, bahkan di zaman yang tak bisa lagi
disebut sebagai “zaman buruk bagi puisi,” (meminjam Brecht). Puisi, tak boleh jomblo, bro...
Lalu,
puisi-puisi yang gamang pun lahir, karena ditulis dengan tangan yang gemetaran,
dengan jiwa yang ragu-ragu, dan pikiran-pikiran yang goyang. Puisi-puisi kini seolah harus ekstra hati-hati untuk memakai
lisensi “kebebasan” menulis kata-kata. Kata-kata yang tak boleh seenaknya
nyelonong. Tak boleh pula dengan diksi-diksi yang “berat”—yang dikuatirkan tak
“dikenal” atau tidak terdeteksi oleh signal antena publik
luas.
Maka,
puisi-puisi lahir dari keterasingan penyair dengan puisi-puisinya sendiri, yang
boleh jadi, sehabis menulis puisi, ia merasa harus berkenalan dengan puisinya
sendiri. Siapakah kamu? Dari mana kamu lahir? Kok kamu tidak mirip aku, tapi malah mirip tetangga? Atau, di lain
waktu, si penyairnya malah berkali-kali harus marah-marah karena puisi-puisinya
yang lahir kembar semua.
Saya,
selalu cemburu dengan Tardji, zaman dulu, yang bisa sebebas itu menulis puisi.
Di zaman, yang justru boleh dikata tunggang-langgang orang mengais hidup,
membangun struktur sosial-ekonomi. Di zaman ketika puisi didakwa sebagai
makhluk “brengsek” oleh sebuah “pengadilan puisi.” Toh, sampai sekarang tetap bernama “puisi” dan tetap “dibicarakan”
orang sebagai puisi yang “berhasil” membangun eksistensi kata-kata.
Selain
pada Tardji, saya selalu cemburu pada orang-orang suku “terasing”, orang-orang
di ceruk-ceruk kampung, di pedalaman, orang-orang yang kerap dianggap tak
“beradab” oleh peradaban “publik.” Saya cemburu, karena mereka masih percaya
dengan kekuatan “kata-kata” dalam mantera, misalnya. Mantera yang tak gampang
dicerna oleh telinga publik, tapi memiliki kekuatan magis yang luar biasa,
kekuatan untuk menggerakkan. Ya, kekuatan untuk mewujudkan sosok manusia
sebagai makhluk yang tak sekedar memiliki tubuh (wadag), tetapi juga emosi. Sebab, kata-kata dipercaya memiliki
kuasa tersembunyi (hidden realms). Orang Petalangan di Riau menyebut, “kato jadi daging tulang.” Daging dan tulang yang menyokong
“tubuh makna,” menegakkan batang tubuh “ideologis.” Jadi, mari menulis puisi dengan jujur, enjoy, bebas, tanpa ketakutan, dan beri
kepercayaan besar pada kekuatan kata-kata.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar