Penyair dan
Puisinya
Oleh Marhalim
Zaini
“Apakah kita masih percaya pada keniscayaan kata?
Pada hanya sebuah kata?”
Baris terakhir puisi
Rida K Liamsi yang saya kutip di atas berjudul “Surat kepada GM.” Dalam puisi itu, dua kali, Rida bertanya, ihwal
“apakah kita masih percaya pada keniscayaan kata?” Andai yang bertanya semcam
itu bukan seorang penyair, dan bukan dalam sebuah puisi, agaknya kita boleh
maklum. Tapi, karena Rida adalah seorang penyair, yang (tentu) berangkat
menulis puisi dari rasa kepercayaan penuh pada “keniscayaan” kata-kata, maka
pertanyaan itu boleh jadi bagai pisau bermata dua. Ketika kata-kata sebagai
senjata penyair telah diragukan ketajamannya, maka dengan apa lagi panyair
membangun “ruang menyelenggarakan sunyi,” (meminjam Abdul Hadi W.M).
Hemat saya, ketegangan
(jika bisa disebut begitu) antara penyair dan puisinya (kata-kata) adalah soal
klasik, yang seolah terus membuntuti dunia kreatif kepenyairan kita. Sehingga, ketegangan
itu sendiri adalah dinamika, yang tidak hanya harus ada dalam proses penciptaan
(dunia dalam), tapi juga selalu ada ketika puisi selesai diciptakan—yang
persentuhannya dengan dunia luar, dunia pembaca. Dunia dalam, adalah ruang
tempat penyair dan kata-kata berjibaku, memilih-memilah-menemukan. Dunia luar,
adalah ruang tempat penyair dan puisi saling bersalaman, mengucapkan selamat
jalan pada garis nasibnya masing-masing. Di dunia luar inilah, penyair dan
puisi, kerap saling mempertanyakan eksistensinya masing-masing, terutama dalam
dunia pembaca.
Namun, bukan perkara
mudah, memisah-misahkan keduanya: penyair dan puisi—meski Roland Bhartes sudah
menegaskannya dalam The Death of the
Author (1977). Betapapun keniscayaan kata telah demikian diragukan oleh
Rida, misalnya, pun pernah oleh Chairil Anwar; “pena dan penyair, keduanya mati berpalingan.” Toh nyatanya, ke mana pun puisi pergi, nama penyair terus
disebut-sebut. Ekstrimnya, bahkan, orang kerap bertanya, puisinya bicara
tentang moral, kok penyairnya tak
bermoral?
Dan dengan begitu—ini
yang agaknya dikuatirkan Bhartes—pintu korespondensi teks menjadi tertutup.
Puisi, akan berhenti mereproduksi teks-teks lain, yang memiliki jejaring
signifikansinya dalam resepsi pembaca (sebagaimana dalam konsepsi
intertekstualitas). Jika Afrizal Malna pernah menyebut bahwa membaca puisi itu
adalah juga kerja “memobilisasi teks,” maka mobilitasnya pun akan tersendat
oleh adanya “hubungan paternalistik” antara penyair dan puisinya ini.
Ketika orang kerap
menghubung-kaitkan langsung, dari apa yang terbaca dalam teks puisi, adalah
mutlak representasi “pengalaman” si penyairnya, maka puisi menjadi “anak-anak
gamang” yang tak mandiri. Anak-anak yang tak mampu “membesarkan” dirinya
sendiri dalam proses permaknaan di ruang publik. Padahal, dalam proses
penciptaan, apa yang disebut sebagai “pengalaman” itu, telah berkembang (bahkan
bermetamorfosis) menjadi kata. Kata, menjadi diksi, menjadi baris, menjadi
bait, menjadi bangunan puisi—yang kadang, penyairnya sendiri pun kaget dengan
kehadirannya. Puisi, kadang, dalam perkembangannya, sama sekali “tak mirip”
secara “genetis” dengan penyairnya. Puisi, adalah kelahiran tak terduga dari
rahim kata-kata.
Akan tetapi, anehnya, penyair
tak bisa tidak untuk terus melahirkan puisi. Puisi yang, bahkan tak ia percayai
lagi keniscayaan kata-kata di dalamnya. Puisi, yang bagai kekasih yang teramat
setia ketika proses pergumulan, dan menjadi seolah menjauh, seolah berkhianat,
ketika usai percintaan. Penyair tak bisa lari dari puisi, tapi puisi tidak.
Sampai-sampai Acep Zamzam Noor pernah “bertanya” kepada Tuhan dalam puisi
berjudul “Mengapa Selalu Kutulis Sajak,” yang kutipannya berbunyi, “Apabila kerinduan tiba-tiba menyerbuku,
mengapa harus sajak, Tuhanku, mengapa harus ia yang mampu kupersembahkan
kepada-Mu.”***