Membangun Kota
Puisi
Oleh Marhalim
Zaini
Mari kita membayangkan,
seandainya puisi-puisi para penyair Indonesia tertulis di tembok-tembok kota,
di taman-taman, di kantor, di halte, di stasiun, di bandara, di kereta, di
angkot, di rumah sakit, di simpang jalan, di pasar, di mal, di tempat-tempat
rekreasi, dan sebagainya. Maka, saya yakin, tidak hanya membuat puisi jadi lebih
dekat dengan publik, tapi dapat membuat hidup jadi lebih fresh. Orang lebih mudah tersenyum. Pikiran dan perasaan jadi lebih
sejuk. Sebab, orang lebih bisa melihat sebuah kota sebagai tempat hidup
manusia. Bukan semata kota, sebagai ruang kusut penuh baliho iklan dan gambar
para caleg. Sehingga kota—yang dalam bahasa
puisi Afrizal Malna—tidak menjadi “...telor
busuk, setiap hari meleleh dari mulutmu.”
Bayangan sebuah “kota puisi”
semacam itu, sesungguhnya sudah terjadi. Tapi tidak di sini. Di kota-kota besar
di luar negeri, seperti Leiden, London, Paris, dan New York. Malah, mestinya,
kita (orang Indonesia) malu, ketika puisi “Aku” Chairil Anwar, puisi
Ranggawarsito dan cuplikan teks I La Galigo, tertulis di tembok kota di Leiden.
Rasanya, kadang, kok negara bekas
penjajah kita itu, lebih “beradab” dibanding negeri koloninya. Maka, ratusan puisi-puisi
penyair dunia pun macam Rilke, Shakespreare, Borges, dan sejumlah nama lain,
tertulis di tembok kota mereka melalui sebuah proyek yang mereka sebut sebagai Muurgedicthen (The Wall Poems).
Agaknya, di Indonesia,
jangankan berharap ada puisi-puisi di berbagai ruang publik kota seperti yang
saya deretkan di atas, bahkan di ruang-ruang yang dekat dengan dunia puisi pun
tiada. Kalaupun ada, masih setengah hati. Misalnya, di kampus-kampus bahasa dan
sastra, kampus seni, kantor dinas pariwisata, kantor dinas pendidikan, kantor
dewan kesenian, balai adat, museum, taman budaya, dan sebagainya. Puisi,
seperti terus-menerus beku di dalam lipatan-lipatan halaman buku di rak-rak,
yang kerap berdebu, tak terbaca. Meski, kita (para penyair) agaknya harus tetap
bersyukur, di media publik macam koran, majalah, dan sejenisnya, cetak maupun online, puisi masih terus hadir—tentu,
dengan berbagai problematikanya sendiri.
Lalu kenapa kota? Karena kota
adalah (meminjam Piliang) “dunia yang dilipat.” Sebuah dunia, yang seperti
selembar kertas, terus-menerus dilipat-lipat sampai melampaui batas-batas
struktur kertas itu sendiri. Maka, kota adalah ruang kompleksitas, yang riuh,
yang sengkarut, yang tak mudah mengurainya, yang terus dipaksa dilipat.
Manusia-manusia yang cenderung (ingin) hidup di kota, dengan begitu, adalah
bagian penting dari lipatan kompleksitas itu. Manusia kota, konon adalah
manusia modern, yang seolah tumbuh menuju berkeberaturan, akan tetapi justru,
sebetulnya menujua ketidakberaturan, menuju chaos.
Dunia yang dilipat semacam itu,
butuh puisi. Puisilah yang akan mengurai batas-batas struktur lipatan itu.
Puisi, akan membaca lebih dekat tentang manusia, tentang kompleksitas hidup
yang dihadapi manusia melalui kearifan dan pemurnian-pemurnian nilai-nilai. Puisi,
untuk kota, adalah ruang sunyi. Puisi adalah ruang kontemplasi kota. Maka, jika
ia terabaikan, peradaban kota akan semata dimaknai sebagai mesin
produksi-industrialistik. Meski, saya tidak tengah mengatakan bahwa
desa—sebagai prinsip diferensiasi kota-desa—hari ini, adalah ruang yang paling
representatif untuk hidup puisi, sebab ia telah pun jadi tanah-tanah yang
terbiar.
Maka, sebagai fungsi simbolis,
sebuah kota adalah juga sebuah puisi. Jika ada sebutan kota apel, kota kembang,
kota seribu kubah, kota junjungan, kota buaya, kota hujan, kota pendidikan,
kota sejarah, dan lain sebagainya, kenapa tidak sebuah kota menyebut dirinya
sebagai “kota puisi.” Sebuah kota, yang tengah berupaya membangun kekuatan
tubuhnya dari dalam dirinya. Membangun dari basis pemahaman atas nilai-nilai
murni dari manusia-manusianya. Sehingga kota, tidak tumbuh menuju pada
kematiannya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar