pulau kikis di
bengkalis,
tak habis-habis
menangis
Oleh Marhalim Zaini
:hujan lebaran,
sebuah kota tak
berpintu
yang lumpuh
sebelah tubuh
tapi yang luluh
seluruh subuh
takbir
itu, wahai
yang
bergetar itu
di
tiang-tiang
langit
tidurmu
bagai
tak berjarak
tapi tak
berjejak
ketika
dari jauh
suara-suara
tahlil
suara-suara
surau
yang
terpiuh
mengucap-ucap
nama-nama
hari
yang
tumbang
di
tanjung
sebuah
kampung
yang
terapung,
tapi
ingatan, tuan
adalah
hujan jantan
tiba-tiba
tumbuh
dari liang
hutan
lengang
kenangan
itu anak-anak
dari tanah kelahiran
datang lagi,
datang lagi,
padahal ia
tak pernah pergi
tak
sedetik pun
alif jadi nun
bertukar angin
pada musim
selatan utara
tapi di timur juga
matahari menyala
atau dikau
kita yang asing
merepih di sini
di sebuah taman
di bangku batu
di sebuah kota
tak berpintu
ketika itu
hujan lebaran
satu satu gugur
dari dalam jiwamu
jiwaku jua yang pilu
melukis garis-garis
pulau yang kikis
dan jalan jalan
tak habis habis
menangis
di
bengkalis
di bengkalis
pergi lagi,
pergi lagi
padahal ia
tak pernah kembali
bahkan
untuk puisi
yang
nyinyir
bersemak
di mulutmu
terserak
di kakiku
aku tak
sanggup lagi
mengulur
salam
sebagai
maaf atas kata
atas
dosa pada dunia
kelak
hujan lebaran
datang bersampan
dari
ceruk waktu
masa
lalu dan rindu
mengabarkan
kekalahan
atau
kemenangan
yang
hanyut
di anak
sungai
menuju
rumahmu
menuju
rumahku
takbir ini, aduhai
melambai-lambai
tak sampai-sampai
padahal
telah berarak
pawai-pawai
malam
di
jantung kita
di tiap
pijar cahaya
lampu-lampu
kota
di tiap
percik nyala
kembang
api cinta
tapi
masih juga bencah
sejarah
yang salah
di tiap
langkah
menuju
rumahmu
menuju
surgamu
dan
tengoklah
lumpuh
ini
di kiri
tubuh sepi
di kiri
tubuh mati
aku tak sanggup
lagi
mengulur mimpi
mengubur api
yang menangis itu
takbir itu, jalan jalan itu,
tak habis-habis kikis
di bengkalis
wahai, wahai,
yang lumpuh
sebelah tubuh
tapi yang luluh
seluruh subuh.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar