Riau Pos
dan Generasi Baru Penyair Riau
Oleh Marhalim
Zaini
Di
awal tahun 2008, saya pernah menulis esai cukup panjang di media ini, berjudul “Ihwal
Regenerasi Sastra Riau.” Esai ini, kemudian direspon oleh seorang sastrawan
dari Sumatera Barat, Zelfeni Wimra, dengan judul, “Setelah Regenerasi Sastra,
Apa Lagi?” Karena saya anggap perlu merespon balik esai itu, lalu saya menulis
lagi dengan judul yang agak provokatif, “Ayo, Lupakan Saja Indonesia!” Fokus
dari tulisan saya itu sebetulnya lebih bersifat catatan dokumentatif ihwal
bagaimana dinamika pergerakan sastra Riau (modern) sejak awal kelahirannya.
Namun, menjadi agak meluas ke wilayah “ideologi sastra” setelah direspon
Zelfeni.
Esai
serupa itu (bersifat dokumentatif), pun kerap saya tulis sebelumnya, di koran
ini juga, berjudul “Catatan Sastra Riau 2005,“ “Catatan Sastra Riau 2007,” dan
“Catatan Sastra Riau 2008.” Ketiga esai cukup panjang tersebut, berisi
bagaimana dinamika perkembangan sastra Riau selama setahun. Terutama dengan
mencermati kemunculan karya-karya sastra yang ditulis oleh penulis Riau di
media massa, lokal maupun nasional. Selain dapat menjadi data dokumentasi
sastra Riau, kerja-kerja sunyi dan intensif semacam ini, dapat turut mengisi
ruang-ruang kosong kerja kesusastraan kita; yang tak semata kerja mencipta,
tapi juga membaca, mendokumentasikannya, mendistribusikannya, serta
mengkajinya.
Riau Pos, saya kira, tanpa disadari (dan
harus diakui), sampai hari ini, adalah media yang tidak kecil jasanya bagi
perkembangan kesusastraan (di) Riau. Menjadi bertambah penting perannya, karena
tak banyak (untuk tidak mengatakan tidak ada) media lain yang sebesar perhatian
Riau Pos dalam memberi ruang pada
sastra. Pun, menjadi penting dan fenomenal kemudian, ketika di banyak media
cetak (koran) di Indonesia cenderung tak memberi tempat leluasa bagi puisi,
tapi Riau Pos justru menyediakan satu
halaman penuh untuk puisi. Dan, hemat saya, tak pula dapat diabaikan bagaimana
kemudian ruang “puisi” ini, turut melahirkan generasi baru penyair Riau.
Dalam
pengamatan saya, generasi baru itu, adalah para penulis (berusia) muda, yang
masih tengah berada dalam gairah penciptaan. Puisi-puisi yang mereka ciptakan,
meski dengan “kekuatan” yang beragam, dengan intensitas produktivitas yang
naik-turun, bolehlah kita menaruh harapan bahwa masa depan kepenyairan (Riau)
berwajah gemilang. Nama-nama seperti May Moon Nasution, Cikie Wahab, Riki
Utomi, Ahmad Ijazi H, Anju Zasdar, Muhammad Asqalani Eneste, Jumadi Zanu Rois,
Fatih El Mumtaz, Cahaya Buah Hati, Jasman Bandul, Alvi Puspita, dan Boy Riza
Utama (yang puisinya saya muat minggu ini), adalah para penyair yang kerap
mengisi halaman puisi di Riau Pos, adalah
juga para penyair masa depan kita.
Tentu,
terus akan diuji oleh waktu, apakah mereka tetap konsisten berkarya, dan
terus-menerus menggapai capaian-capaian estetika dalam puisi-puisi mereka. Terus-menerus
gelisah, sampai mereka menemukan “diri” mereka sendiri, menemukan bahasa
“soliloqui” mereka sendiri dalam puisi. Atau, mereka akan berhenti di tengah
jalan. Berhenti mencari, dan stagnan, oleh godaan-godaan lain di dalam diri
mereka. Berhenti, karena mengira bahwa sekali-dua muncul namanya di media
massa, adalah legitimasi yang tak mudah terhapus dalam memori publik. Berhenti,
karena merasa telah menjadi “penyair.” Berhenti, karena memang tujuannya
menulis puisi, hanya iseng, tidak hendak menjadi “penyair.” Atau, berhenti karena
memang (sejak lama), puisi “tak mampu” memberi “makan” bagi para penyairnya.
Bagi Riau, yang memiliki sejarah tradisi
kepenulisan (puisi) yang panjang, tentu menjadi penting bicara ihwal
regenerasi. Tak berhenti, dan putus, pada nama-nama lama saja, pada priode
waktu tertentu saja. Tak bernostalgia semata pada kehebatan masa lampau. Sebab,
zaman ke zaman, yang terus berevolusi ini, menghendaki “puisi-puisi yang baru.”
Puisi-puisi yang lahir dari rahim zamannya sendiri. Puisi-puisi yang tak kalah
hebat dengan puisi-puisi para pendahulunya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar