Sweeney dan Munsyi
Oleh Marhalim Zaini
“Riau memiliki ‘komoditas
langka’ yang diperlukan pihak Belanda: bahasa. Mereka percaya bahwa Riaulah
tempat untuk memperoleh informasi tentang bahasa Melayu dalam bentuknya yang
paling asli dan murni.”
Saya ingin mengutip kalimat Van der Puten itu, dalam
konteks hendak mengawali tulisan pendek ini ihwal penegasan tentang posisi penting Riau dalam pemerintahan kolonial Belanda pada
abad ke-19. Kala itu, bahasa Melayu menjadi medium yang paling efektif untuk
menyebar-luaskan pemikiran-pemikiran Barat. Pembenarannya, hemat saya, apa yang ditunjukkan (salah satunya) oleh Amin
Sweeney dalam buku-bukunya tentang Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (1796-1854).
Amin Sweeney adalah seorang Irlandia yang jatuh hati pada tanah
Malaya (sebelum berubah jadi Malaysia), sejak ia singgah pada tahun 1958. Sastra
Melayu bagi Sweeney sesungguhnya bukan barang baru. Di tahun 1975, karya putra Abdullah
bin Abdul Kadir Munsyi bernama Ibrahim, sudah ia terjemahkan berjudul Voyages of Ibrahim Munsyi. Dan tersebab
cintanya yang dalam, ia pun memilih untuk pensiun dini dan selama lima tahun menyelam di
kedalaman karya-karya Abdullah Munsyi.
Tapi kenapa Abdullah Munsyi? Bagi orang-orang Melayu di Indonesia, agaknya
akan memandang nama Abdullah Munsyi secara sepintas lalu saja. Karena memang Munsyi bukan ‘orang asli’
Indonesia—ia lahir di
bandar Melaka yang kemudian pindah ke Singapura. Tapi, tentu tidak demikian
halnya dengan orang Melayu Riau (apalagi para sastrawannya). Selain karena
secara historis (kerajaan Riau-Johor) seperti rasanya tak terpisahkan secara
emosional, juga tersebab kedekatan geografis, dan rumpun kultural. Apalagi
kemudian, di telinga kita sempat terngiang-ngiang julukan ‘bapak pembaharu
sastra Melayu” bagi Munsyi. Kata Teew, “…kita malah dapat melihat seorang
pelopor kesusastraan modern pada diri seorang penulis seperti Abdul Kadir Munsyi.”
Akan tetapi, Sweeney, sebenarnya justru
mempertanyakan kembali ‘mitos’ dari sebuah julukan yang kerap memberi asumsi
‘berlebihan’ itu. Sweeney bilang, sesungguhnya bukanlah orang Melayu yang memberi julukan tersebut,
akan tetapi adalah C. Skinner (1959), sehingga memang kemudian layak
dipersoalkan. Apalagi, ketika sebuah fakta yang menyertainya, justru memaparkan
tentang sikap-sikap Abdullah sendiri yang pro-Eropa. Sweeney kemudian, dalam
sebuah wawancara di sebuah media di Jakarta, bahkan menyebut begini, “Saya dapat
melihat bahwa Abdullah adalah sosok yang licik. Dalam hampir seluruh karyanya
Abdullah memang terkenal dengan kemampuannya untuk memuaskan para majikannya
sekaligus menunjukkan keburukan-keburukan penguasa Eropa,” (Ruang Baca, Koran Tempo, Agustus 2005).
Agaknya, dalam kasus ini, kita bisa juga menelusuri kebenarannya
langsung dalam karya-karya Abdullah. Misalnya dengan sengaja Abdullah memuji
Thomas Stamford Raffles, tapi dengan sengaja pula menunjukkan
keburukan-keburukan Raffles dalam sejumlah episode tentang keburukan para
bangsa Eropa yang datang ke Semenanjung Melayu. Padahal, di tahun 1823,
Abdullah bersama dengan Raffles telah menerjemahkan dan menyusun Undang-undang
Singapura, dan sempat juga menjadi juru tulis Raffles (yang menjadi sumber
periuk-nasinya).
Ini sebuah percanggahan yang
demikian paradoks, yang rasanya tak mungkin bisa diselaraskan. Akan tetapi, Sweeney sepertinya telah
mengambil sikapnya sendiri, bahwa meskipun “Abdullah sering dituding kurang
memiliki sifat patriotisme serta bersikap tidak taat setia terhadap orang
Melayu disebabkan pemujaan berlebihan terhadap Inggris, namun tuduhan demikian
ternyata anakronistis.” Sebab tentu saja kita tahu, bahwa di zamannya Abdullah,
sebuah norma tentang kesetiaan seseorang tertuju kepada rajanya. Sementara raja
yang berkuasa saat itu adalah raja Inggris, maka Abdullah pun sangat setia
kepada raja Inggris.
Tapi kita juga mesti ingat, bahwa Abdullah, dalam sejumlah
karya-karyanya, dengan gaya yang kolokial, juga kerap menyindir para sultan dan
penguasa Melayu. Misalnya kita kutip kalimat-kalimat berikut: “Maka sekalian orang yang duduk dalam negeri
itu senantiasa dengan ketakutan akan aniaya dan loba raja-raja dan orang
besar-besar. Maka adalah fikiran mereka itu, apa guananya rajin kita itu? Maka
jikalau kita mendapat sedikit wang atau makanan, nescaya dilobakan dan dirampas
oleh orang besar itu. Maka sebab itulah tinggal mereka itu dalam miskin dan
malas sepanjang umurnya” (Kisah
Pelayaran Abdullah ke Kelantan).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar