Imaji, Mabuk,
Allah
Oleh Marhalim
Zaini
“Walau
penyair besar
Takkan
sampai sebatas Allah...”
(Walau, Sutardji Calzoum Bachri)
Dalam tulisan saya sebelumnya,
berjudul “Tangga Naik”, cinta kepada Tuhan yang meluap-luap, memberi gambaran
bahwa demikianlah misi etis yang utama dalam puisi-puisi sufisme-Arab.
Puisi-puisi cinta platonik, yang tanpa “birahi”, cinta yang tak bisa tidak
sepenuhnya hanya untuk Allah—yang di Turki disebut kesusastraan ‘asyiq (pencinta). Maka, mau tidak mau, unsur
ekstrinsik-ideologisnya—sebagai misi etis itu—tampak lebih mengemuka dibanding
unsur intrinsik-wadaknya. Meskipun tentu di lain pihak, kita pun kemudian,
dapat mendiskusikan lebih jauh ihwal apakah “bahasa” yang membentuk sebuah ideologi,
atau sebaliknya.
Hal ini menjadi menarik, misalnya jika kita
sepakat dengan bagaimana dunia spiritualitas Islam membagi tingkat pemikiran
manusia menjadi tiga: rasional-logis,
spiritual-rohaniah, dan imajinasi. Bahasa, adalah kategori rasional
dengan segala perangkat tata-bahasanya (grammar).
Sementara, ada yang bilang—termasuk Al-Ghazali—segala yang bersifat spiritual
tak bisa diungkapkan secara rasional (oleh bahasa). Padahal, kita tahu, di dalam
tubuh puisi, keduanya-lah (bahasa/bentuk sebagai yang rasional dan makna/isi
sebagai yang spiritual) yang menjadi penyangga hidupnya.
Maka imajinasi, di sini, bisa berperan strategis. Imajinasi, yang berada
di antara keduanya (rasionalitas dan spiritualitas) seolah bertugas
mempertautkannya. Jika dalam khazanah filsafat Islam—seturut Baqir (2003)—daya imajinasi
adalah bagian dari indra manusia yang memiliki akses kepada alam imajinal
(imajiner), maka ia menjadi “perangkat” yang paling penting bagi
penyair/seniman dalam proses mencipta. Namun, karena sifatnya yang cenderung
“liar”, tak berbatas pada ruang dan waktu, maka imajinasi harus dikontrol.
Pengontrolnya adalah—kembali kepada dua unsur yang dipertautkannya—rasionalitas
dan spiritualitas.
Inilah yang kemudian—sekali lagi,
dalam konteks spiritualitas Islam—yang membedakan antara “ilham” dengan
“waham.” Ilham, adalah sumber yang benar datang dari malaikat. Sementara waham,
sumber khayalan yang tak otentik yang terbentuk oleh penyelewengan berpikir.
Saya kira, pembedaan ini, akan segera mengonfirmasi pada kita bahwa tidak semua
proses transendensi ketika seorang penyair menulis puisi adalah “benar” sebuah
ilham. Boleh jadi, racauan si penyair itu, ketika tanpa kendali rasional dan
spiritualitas, ia kehilangan akses terhadap realitas otentik
pengalaman-pengalaman keagamaannya sendiri.
Salah satu situasi transedental itu,
dapat kita rujuk misalnya pada kata “mabuk”—terutama sebagai simbolisme. Saya
jadi teringat sebuah buku puisi yang ditulis oleh seorang sahabat, penyair di
Yogyakarta, Kuswaidi Syafi’i, bertajuk Tarian
Mabuk Allah. Atau seorang lagi, Mathori A Elwa, berjudul Yang Maha Syahwat. Kedua penyair ini,
jelas, sedang meliarkan imajinasi kita (termasuk si penyairnya sendiri) untuk
keluar dari batasan-batasan simbolik yang rasional-empirik, dan berusaha “naik”
(fly) ke tangga-tangga langit
spiritualitas-rohani.
Maka,
diksi “mabuk” atau juga yang sering kita baca dalam banyak puisi sufistik
adalah kata “anggur” (piala), menjadi ungkapan puitik yang tidak sederhana. Artinya,
kata “anggur” dan “mabuk” seolah telah menjadi dua kata dalam makna yang
integral. Anggurlah yang membuat orang mabuk. Anggur, pun seolah telah jadi
“minuman rohani” bagi para penyair sufi, untuk mencapai “mabuk” pada Allah.
Tentu, soalnya kemudian, tak mudah memilah antara “mabuk simbolik” dengan “mabuk
realistik.” Sama tidak mudahnya, membedakan mana yang ilham, mana yang waham. Pun,
sama tidak mudahnya membedakan antara “yang liar” dan “yang sesat.”***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar