Hari Puisi,
Ramadan, Gaza
Oleh Marhalim
Zaini
“Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terdengar di telingaku...” (Taufiq Ismail)
Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terdengar di telingaku...” (Taufiq Ismail)
Sesungguhnya, puisi adalah milik semua
orang. Karena puisi, ada di dalam diri semua orang. Ia tinggal di dalam sebuah
ruang bernama “empati” (empathy).
Entah di sebelah mana, entah di bagian mana dalam tubuh fisik manusia, empati
seolah menjadi titik pusaran dari berbagai ruang abstrak yang lain seperti tenggang-rasa,
iba, afeksi, afinitas, syafakat (belas-kasih), dan sejenisnya. Oxford Dictionaries menyebut empati itu
“the ability to
understand and share the feelings of another.” Maka, dengan begitu, empati
lebih kompleks dibanding “simpati” (sympathy)
yang sekedar “feelings of pity and
sorrow for someone else’s misfortune.”
Frasa “the ability to understand” di situ,
adalah energinya. Energi yang, kemudian dapat menggerakan seseorang untuk
berbagi. Maka proses kerja empati tidak setakat berhenti pada “feelings of pity”
akan tetapi sudah pada “tindakan” (share
the feelings of another). Dan demikianlah kiranya puisi bekerja, dalam
prosesnya melahirkan “bahasa verbal” sebagai sebentuk “tindakan yang menggerakkan”
itu. Teks-teks puisi, yang dapat kita baca secara harfiah adalah “tindakan”
yang lahir dari kemampuan seseorang dalam memahami dirinya dan orang lain
(manusia dan lingkungannya). Maka, siapapun, bisa memiliki puisi, sebagaimana
ia (manusia) pun memiliki empati.
Hemat saya, ada tiga momentum, yang terjadi di
bulan ini, di tahun ini, yang seolah sedang saling berkelindan mempertautkan
dirinya masing-masing dalam satu ruang bernama empati itu. Tiga momen itu,
seolah saling membangkitkan, saling menggerakkan. Hari Puisi Indonesia (26
Juli), yang jatuh di bulan Ramadan, adalah tak semata peringatan atas kelahiran
dan kebangkitan puisi Indeonsia, akan tetapi juga peringatan atas sisi
kemanusian yang universal. Sebagai entitas yang di dalamnya terkandung weltanschauung (pandangan atas dunia),
puisi mau tak mau harus ditempatkan sebagai “nyawa” sastra. Pun, dengan begitu,
adalah juga “nyawa” bagi pergerakan dinamika sosial kehidupan manusia.
Maka
momen Hari Puisi di bulan Ramadan, seolah semakin mengingatkan kita ihwal rumah
puisi itu, ihwal empati itu. Ramadan, dengan sendirinya, proses menahan “lapar”
dalam konteks yang lebih luas, adalah proses memberi energi bagi bangkitnya
empati. Melalui “lapar” kita sedang digiring untuk kembali bertanya, sejauhmana
“the ability of undestand” diri kita
sendiri dan orang lain. Sebab, memahami diri sendiri adalah juga memahami orang
lain, begitupun sebaliknya. Tubuh sosial itu adalah tubuh kita.
Gaza,
Palestina, adalah juga momentum yang (kerap) membangkitkan empati kita itu.
Konflik yang tak berkesudahan, terus berulang, adalah pertanyaan-pertanyaan
besar tentang apa kabar kemanusiaan kita hari ini? Adakah yang dapat
menghalalkan nyawa seseorang yang tak berdosa, sehingga kita seolah berhenti
menjadi manusia, dan bertindak laksana Tuhan? Perang, memang, adalah sisi buruk
kemanusiaan kita, yang kerap bangkit bagai mimpi buruk. Perang, apa pun
alasannya, adalah ketidakmampuan kita untuk memahami orang lain sebagai diri
kita sendiri.
Maka,
tiga momentum itu, hari ini, akan membangkitkan empati siapapun. Sebab, puisi,
Ramadan, dan Gaza, adalah miliki semua orang. Semua orang, yang masih belum
berhenti menjadi manusia, dan tak berhasrat menjadi Tuhan. Manusia yang masih
aktif bertanya, dari mana dan mau ke manakah saya?** *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar