Rabu, 29 Januari 2014

ANTIPUISI



Antipuisi

Oleh Marhalim Zaini

            MENYEBUT istilah “antipuisi,” maka perbincangannya akan berada “di antara” (atau tarik-menarik antara) makna ideologis dan sekaligus non-ideologis. Antipuisi—sebagaimana juga ingatan kita tentang sebutan antisosial, antipolitik, antiteater, dll—segera akan merujuk kepada, dan tak terpisahkan dari, sejarah pemikiran sosial kontemporer, khususnya wacana seni. Nama-nama macam Deleuze, Guattari, Lyotard, dan Baudrillard, pun sebelumnya ada Nietzsche, berada dalam lokus ini.
            Makna ideologis yang saya maksud adalah ketika puisi, misalnya, hari ini, seperti sedang “kehilangan” dimensi makna, tak ada kedalaman, tak sedang merepresentasikan realitas sosial, lenyapnya ilusi dan imajinasi. Puisi, kian profan, dangkal, hanya terkesan jadi fashion. Sekilas, jangan-jangan inilah “ideologi puisi” kita hari ini, ideologi turunan dari zaman,  yang dibawa oleh kekuatan ideologi “ekstasi” (meminjam Pilliang, seturut Baudrillard), atau “ideologi antipuisi.” Makna “ekstasi” di situ, adalah ketika semua realitas lenyap, dan menyeret seni ke dalam sebuah ruang “transparansi”: tak ada malu, tak ada moral, tak ada ideologi.
Saya bercuriga, ketiadaan ideologi atau non-ideologi di situ, jangan-jangan adalah “ideologi” itu sendiri. Istilah “antiteater” misalnya, yang bermakna; tak ada aktor, tak ada panggung, tak ada naskah, bisa saja ditarik ke wilayah ideologis. Bahwa dengan begitu, teater sedang melepaskan dirinya dari “narasi-narasi besar” yang selama ini melingkupinya. Teater, justru, sedang berupaya mendekatkan diri pada penontonnya, melepaskan batas-batas dominasi, yang sekaligus hendak (kembali) masuk ke denyut jantung masyarakat yang melahirkannya. Tak ada aktor, adalah ketiadaan individu subyektif. Tak ada panggung, adalah ketiadaan ruang privat. Tak ada naskah, adalah membangkitkan dinamika improvisasi sosial.
Dan antipuisi, boleh jadi juga adalah upaya melepaskan diri dari “narasi-narasi besar” yang ada dalam perjalanan sejarah sastra kita. Jika hendak menjadi “ideologi” ia harus berani dan konsisten membangun “narasi-narasi kecil” sendiri. Sebagaimana Lyotard, pengakuan kita terhadap apa yang disebut “narasi besar” (dalam sejarah sastra Indonesia plus berbagai Angkatan Sastra di dalamnya), “akan menciptakan ketidakadilan kultural dan sosial,” karena “ia membatasi imajinasi, hak berinovasi, hak untuk membuat sejarah sendiri.” 
Namun, membangun “narasi-narasi kecil” dalam sejarah perpuisian Indonesia, hemat saya, tidak juga sepenuhnya dapat sejalan dengan bagaimana sebuah zaman membangun dirinya. Sementara, selama ini, memang demikianlah sejarah sastra ditulis, sebagaimana sejarah sosial dalam setiap priodeisasinya. Padahal, kita meyakini, bahwa penulisan sejarah selalu berada dalam rel utama, dalam narasi-narasi besar semata, dan kerap melupakan yang “marjinal.” Maka, banyak yang tercecer. Banyak yang tak tertulis, dibanding yang tercatat. Puisi, mestinya, mengambil peran dan posisi itu.
Posisi dimana, dapat “menyuarakan” yang samar itu. Dapat “mencatat” yang tersisih dari kitab-kitab sejarah sosial. Puisi (juga karya sastra yang lain), pada gilirannya, dapat memberikan alternatif wacana, pembanding yang inspiratif. Namun, jika istilah yang saya sebut “antipuisi” itu masuk ke wilayah yang non-ideologis semata, jadi “pengekor” zaman saja, maka puisi tidak hanya akan terseret, tapi terlindas, oleh narasi-narasi besar zaman, yang kita tahu, ideologinya demikian tak dapat kita bendung.
Meskipun, saya selalu yakin, puisi punya “nyawa kedua.” Puisi, telah sejak lama membuktikan dirinya, bahwa ia memiliki daya tahan hidup yang luar biasa, dari zaman ke zaman. Terlepas dari bagaimana ia diperlakukan, puisi dapat memberi tanda pada zaman, bahwa ia adalah zaman itu sendiri. Dengan begitu, puisi adalah antipuisi itu sendiri.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar