Antipuisi
Oleh Marhalim
Zaini
MENYEBUT istilah “antipuisi,” maka
perbincangannya akan berada “di antara” (atau tarik-menarik antara) makna
ideologis dan sekaligus non-ideologis. Antipuisi—sebagaimana juga ingatan kita
tentang sebutan antisosial, antipolitik, antiteater, dll—segera akan merujuk
kepada, dan tak terpisahkan dari, sejarah pemikiran sosial kontemporer,
khususnya wacana seni. Nama-nama macam Deleuze, Guattari, Lyotard, dan
Baudrillard, pun sebelumnya ada Nietzsche, berada dalam lokus ini.
Makna ideologis yang saya maksud adalah
ketika puisi, misalnya, hari ini, seperti sedang “kehilangan” dimensi makna,
tak ada kedalaman, tak sedang merepresentasikan realitas sosial, lenyapnya
ilusi dan imajinasi. Puisi, kian profan, dangkal, hanya terkesan jadi fashion. Sekilas, jangan-jangan inilah
“ideologi puisi” kita hari ini, ideologi turunan dari zaman, yang dibawa oleh kekuatan ideologi “ekstasi”
(meminjam Pilliang, seturut Baudrillard), atau “ideologi antipuisi.” Makna
“ekstasi” di situ, adalah ketika semua realitas lenyap, dan menyeret seni ke
dalam sebuah ruang “transparansi”: tak ada malu, tak ada moral, tak ada
ideologi.
Saya
bercuriga, ketiadaan ideologi atau non-ideologi di situ, jangan-jangan adalah
“ideologi” itu sendiri. Istilah “antiteater” misalnya, yang bermakna; tak ada
aktor, tak ada panggung, tak ada naskah, bisa saja ditarik ke wilayah
ideologis. Bahwa dengan begitu, teater sedang melepaskan dirinya dari
“narasi-narasi besar” yang selama ini melingkupinya. Teater, justru, sedang
berupaya mendekatkan diri pada penontonnya, melepaskan batas-batas dominasi,
yang sekaligus hendak (kembali) masuk ke denyut jantung masyarakat yang
melahirkannya. Tak ada aktor, adalah ketiadaan individu subyektif. Tak ada
panggung, adalah ketiadaan ruang privat. Tak ada naskah, adalah membangkitkan
dinamika improvisasi sosial.
Dan
antipuisi, boleh jadi juga adalah upaya melepaskan diri dari “narasi-narasi
besar” yang ada dalam perjalanan sejarah sastra kita. Jika hendak menjadi
“ideologi” ia harus berani dan konsisten membangun “narasi-narasi kecil”
sendiri. Sebagaimana Lyotard, pengakuan kita terhadap apa yang disebut “narasi
besar” (dalam sejarah sastra Indonesia plus berbagai Angkatan Sastra di
dalamnya), “akan menciptakan ketidakadilan kultural dan sosial,” karena “ia
membatasi imajinasi, hak berinovasi, hak untuk membuat sejarah sendiri.”
Namun,
membangun “narasi-narasi kecil” dalam sejarah perpuisian Indonesia, hemat saya,
tidak juga sepenuhnya dapat sejalan dengan bagaimana sebuah zaman membangun
dirinya. Sementara, selama ini, memang demikianlah sejarah sastra ditulis,
sebagaimana sejarah sosial dalam setiap priodeisasinya. Padahal, kita meyakini,
bahwa penulisan sejarah selalu berada dalam rel utama, dalam narasi-narasi
besar semata, dan kerap melupakan yang “marjinal.” Maka, banyak yang tercecer.
Banyak yang tak tertulis, dibanding yang tercatat. Puisi, mestinya, mengambil
peran dan posisi itu.
Posisi
dimana, dapat “menyuarakan” yang samar itu. Dapat “mencatat” yang tersisih dari
kitab-kitab sejarah sosial. Puisi (juga karya sastra yang lain), pada
gilirannya, dapat memberikan alternatif wacana, pembanding yang inspiratif.
Namun, jika istilah yang saya sebut “antipuisi” itu masuk ke wilayah yang
non-ideologis semata, jadi “pengekor” zaman saja, maka puisi tidak hanya akan
terseret, tapi terlindas, oleh narasi-narasi besar zaman, yang kita tahu,
ideologinya demikian tak dapat kita bendung.
Meskipun,
saya selalu yakin, puisi punya “nyawa kedua.” Puisi, telah sejak lama
membuktikan dirinya, bahwa ia memiliki daya tahan hidup yang luar biasa, dari
zaman ke zaman. Terlepas dari bagaimana ia diperlakukan, puisi dapat memberi
tanda pada zaman, bahwa ia adalah zaman itu sendiri. Dengan begitu, puisi
adalah antipuisi itu sendiri.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar