Oleh Marhalim Zaini (kolom Senggang, Riau Pos, 23 Feb 2014)
KETIKA saya (bersama Komunitas Paragraf)
turut mendukung dan menggerakkan iven Malam Puisi Pekanbaru (14 Februari 2014) dengan
membaca puisi bersama anak-anak muda di sebuah cafe, di kepala saya berputar-putar sebuah pertanyaan: apa yang
sedang dicari oleh anak-anak muda ini ketika mereka memilih kegiatan malam
liburnya dengan mendengar dan membaca puisi di cafe? Saya menduga, boleh jadi, mereka sedang mencari kesenangan.
Di
usia-usia muda seperti mereka—setingkat pelajar, pun mahasiswa—kesenangan yang
identik dengan “kegembiraan” itu, sepertinya sudah (seolah) menjadi bagian
integral dari dunia mereka. Anak-anak muda yang (masih) fresh ini, adalah anak-anak muda yang sedang berproses menemukan
eksistensi mereka dalam kegembiraan-kegembiraan, dalam kesenangan-kesenangan.
Bukankah memang begitulah hendaknya, bahwa mereka harus melakukan aktivitas
positif meraka dengan penuh rasa senang, penuh suka-cita. Namun,
kesenangan/kegembiraan macam apakah yang mereka dapatkan dari “mendengar” dan “membaca”
puisi, di cafe?
Samakah
kesenangannya dengan berbagai jenis kesenangan yang juga disuguhkan oleh dunia
modern hari ini untuk para anak-anak muda ini, semisal menyanyi bersama-sama di
ruang karaoke, atau nongkrong juga shoping
di mal, atau bermain game di warnet?
Tentu, berbeda. Perbedaannya bisa jadi tidak semata soal ruang aktivitas dan
jenis kesenangannya, tetapi juga soal motivasi kenapa memilih kesenangan dari
aktivitas tertentu. Saya, dalam konteks ini, tentu tidak sedang mendikotomi
secara serampangan bahwa kesenangan yang satu, lebih baik dari kesenangan
lainnya. Sebab, pada dasarnya tiap person, memiliki “selera” yang berbeda untuk
menentukan pilihannya sendiri. Meskipun, penting diingat, bahwa dunia produksi
massa hari ini, tengah terus menerus menciptakan apa yang disebut oleh Guy
Debord dalam buku The Society of
Spectacle sebagai “masyarakat tontonan”: masyarakat yang (secara tidak
disadari) telah diseragamkan seleranya dalam satu perangkap keinginan (desire) yang sama, oleh image tontonan yang dikomodifikasi.
Maka,
mari melihat lebih spesifik misalnya, kegiatan “mendengar” dan “membaca” puisi,
di cafe, yang dilakukan oleh
anak-anak muda (Pekanbaru) ini, sebagai salah satu upaya alternatif menciptakan
ruang-ruang kesenangan (desire) baru
bagi anak muda—tentu tidak berarti saya sedang mengatakan bahwa ini adalah cara
paling baru untuk aktivitas orang “berpuisi” di tanah air, apalagi di luar
negeri. Selain itu, di tengah banyak penyair risau, sejak lama, puisi-puisinya
tidak diminati pembaca, apalagi oleh kalangan anak muda, maka kegiatan serupa
ini adalah salah satu solusi bagaimana membangun minat terhadap dunia puisi.
Hemat
saya, secara lebih luas, boleh juga kemudian kita melihat fenomena ini sebagai
upaya mengangkat kembali wacana kelisanan dan keberaksaraan dalam masyarakat
industri hari ini. Kata “mendengar” (aural)
yang biasanya disandingkan dengan kata “melisankan” (orality), kini dalam konteks peristiwa “pembacaan puisi” dapat
ditukar-sandingkan dengan kata “membaca” (terkait dengan dunia literacy). Jadi literacy-aural, bukan lagi oral-aural.
Artinya, dunia keberaksaraan itu, dunia “membaca-mendengar” itu, boleh jadi
masuk dalam salah satu fase dari tiga tahapan peradaban masyarakat yang pernah
dikonsepsikan dalam teori Walter J. Ong sebagai: kelisanan primer,
keberaksaraan, dan kelisanan kedua (orality
secondary).
Artinya
juga, melalui peristiwa “pembacaan puisi di cafe”
setidaknya dapat “memaksa” para calon pembacanya untuk terlebih dahulu
melakukan “pembacaan” teks puisi yang akan dibacakan. Dengan begitu, ada proses
transformasi hasil pembacaan teks (puisi) sebagai sebuah proses “pemahaman” pada
tahap awal, yang kemudian diikuti oleh pembacaan teks (puisi) tersebut pada
tahap berikutnya: yakni pemanggungan. Lalu, sebagai sebuah peristiwa
komunikasi, massage yang disampaikan
melalui teks-teks puisi itu, diterima oleh receiver
(para pendengar). Nah, proses “mendengar” di sini, adalah proses kelisanan itu.
Para pendengar di cafe—seperti halnya
juga saya kira para pendengar di sebuah peristiwa pembacaan puisi di mana
pun—bukanlah pendengar yang terlampau “serius.”
Sebab
puisi, ketika ia dibacakan, kadang terdengar seperti dengung yang merayap di
dinding-dinding, kadang bagai desing yang melesat, kadang meraung di sekitar
ruang, kadang bagai dendang yang membuat sesekali ujung kaki turut bergerak
ritmis, kadang seperti gelitik ringan yang membuat tersenyum, kadang ia seperti
sunyi yang lembab, berkeringat di dinding gelas kopi es Amerika, malah kadang
ia tak seperti bunyi, tapi terlihat gerak gairah visualnya dalam ekspresi para
pembaca di atas panggung.
Dan,
begitulah, puisi di cafe. Betapapun, cafe, hanyalah sebuah nama dari sebuah
ruang, yang dibangun dari cara berfikir kita atas waktu senggang, atas fashion, atas kesenangan-kesenangan
dunia modern, yang sesungguhnya, tak jauh-jauh dunia puisi. Dunia yang kerap
ambigu....***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar