Langgam Negeri Puisi



Marhalim Zaini  
Langgam Negeri Puisi
Kumpulan Sajak
 
 
Sungguh, dari jauh yang gelap aku mengirim gumam;
“Telah kusetubuhi seluruh negeri di tubuhmu,
tapi saying, aku tak bisa merangkainya
lebih dari bahasa puisi.”
 
 


bagi teluk pambang yang bisu, 
bandar bengkalis yang diam-diam menangis, 
dan pekanbaru, padang, yogyakarta 
kota-kota yang mengapung di laut waktu
 
 
 
 
TEBARAN PERISTIWA KETIKA SENJA
Catatan Taufik Ikram Jamil


1
                    KAWAN saya Abdul Wahab, barangkali tidak berlebihan. Dalam sekeping suratnya berberapa waktu lalu, ia mengatakan, apakah tidak sebaiknya kalau seniman mulai berpikir tentang bagaimana setiap karyanya, si kreator berhasrat menerima, sehingga penikmatnya memberi--tidak hanya terbatas pada hasrat memberi dan penikmat menjadi penerima. Seniman tidak menjadi sesuatu yang merasa dirinya--walaupun hanya di dalam karya-- sebagai pihak paling tahu serta menentukan wacana penikmat.
                    Selanjutnya, Wahab menulis, "Barangkali apa yang kukatakan itu sudah terlaksana, tetapi yang kumaksudkan adalah suatu tindakan seniman dengan suatu kesadaran kreatif tentang hal tersebut. Jadi, harapanku lebih kepada diri seniman itu sendiri yang hendaknya terbaca di dalam karya-karyanya."
                    Maafkanlah Wahab, kalau Anda tidak sepaham, lalu akan mencercanya dengan seribu dalih dan helah. Tetapi dalam konteks semacam itu tanpa bermaksud membela Wahab, bukankah sahabat saya ini sebenarnya tidak meletakkan suatu karya sebagai suatu hasil berupa benda, sebaliknya memandang karya seni sebagai suatu proses yang begerak dari suatu proses ke proses lainnya sebagai suatu kesatuan dalam kehidupan. Secara sederhana, hal itu dapat dipahami sebagai semacam menu berkarya, sebelum karya seni tersebut muncul ke khalayak yang lebih luas dari penciptanya sendiri.
                    Syahdan, berhadapan dengan sajak-sajak Marhalim Zaini, apalagi setelah dihimpun dalam suatu buku di bawah tajuk "Langgam Negeri Puisi", saya selalu teringat dengan isi surat Wahab itu. Sebagai pembacanya, sajak-sajak Marhalim, tidak pernah mengajak saya kepada suatu tempat yang bagaimanapun bentuk dan sifatnya. Kalau dalam rentang kehidupan manusia ada yang harus datang dan pergi, maka saya datang dan pergi oleh diri saya sendiri ke suatu tempat yang lain dibandingkan datang maupun pergi sebelumnya, setelah membaca sajak-sajak Marhalim. Suatu tempat yang saya tidak tahu bentuk dan sifatnya, tetapi jelas saya merasa datang dan pergi pada suatu rentangan lain dibandingkan rentangan yang saya lalui sebelumnya.
                    Mungkin, Marhalim sendiri tidak pernah berusaha untuk mengajak saya atau pembaca sajak-sajaknya yang lain untuk  memasuki rentangan antara datang dan pergi itu menurut kehendaknya. Paling-paling, sajak-sajaknya berupa pipa yang menyalurkan rentangan datang dan pergi itu, sehingga ia tidak memiliki hak untuk memiliki setiap yang datang dan setiap yang pergi. Sajak-sajaknya menjadi perahu yang memiliki haluan dan buritan, kemudian dapat ditumpangi, tetapi hala pergerakan perahu  tidak ditentukan oleh fisik alat angkutan tersebut,  melainkan oleh penumpangnya sendiri.
                    Tidak mengherankan, kalau dalam sajak-sajak Marhalim, susah ditemui gugatan, apalagi hujatan. Himbauan bahkan terasa sangat sayup, itu pun muncul tatkala ada hubungan kontekstual antara penikmat dengan makna yang bisa dimunculkan dalam sajak-sajaknya. Dengan demikian, sajak-sajak Marhalim, membebaskan pengertian yang muncul dari karya sastra itu kepada pembaca berdasarkan pengalaman penikmat itu sendiri. Ini semuanya, tentu saja menyulitkan bagi pembaca yang terbiasa dengan sesuatu yang bersifat verbal, ketika karya seni dihantarkan sebagai utusan dari si penciptanya.

2
                    MENURUT hemat saya, Marhalim Zaini menyiasati semuanya itu dengan lebih banyak memaparkan segala sesuatu yang ingin disampaikannya melalui peristiwa-peristiwa daripada menyuguhkan suatu perkara. Ia menebarkan peristiwa seperti seorang pelukis mempergunakan berbagai macam warna sebagai medium ekspresinya. Ini menuntut pengamatan detil dengan mencari pengungkapan-pengungkapan baru yang sepadan dengan suasana yang hendak dihadirkannya.
                    Dalam sajak "Kabut Kintamani", Marhalim menjejerkan peristiwa itu dari suatu gambaran umum yang kemudian menjurus pada ihwal lebih khusus, bahkan sampai pada persoalan relijiusitas. Disebutkannya keberadaan kabut di ketinggian yang mencuri angin, membekukan rumah-rumah menjadi gumpalan batu putih. Di sisi lain ada orang-orang mengencani waktu sambil merapatkan musim dingin, juga menguliti matahari dengan muka pucat pasi. Kabut menyergap dalam berbagai sendi kehidupan, "Di sini, kabut juga menghamili anak-anak kami!" tulis Marhalim.
                    Dalam kabut itu, ada juga senja, gunung, danau, tubuh telanjang, riuh anjing, dengus babi, jalan terjal, sesaji, dan doa. Selanjutnya, Marhalim menulis:

Serupa pohon-pohon kering yang berbaris menuruni
lembah, aku menghitung manusia yang menapaki
kabut, berpakaian kabut, dan menjunjung Tuhan-nya
yang berwarna kabut. Mereka melafalkan mantera
sambil menaburkan bunga-bunga kabut. Bagai deru
kereta, derap langkah kaki mereka menarikan kabut
dalam ekstase hidup menuju kediaman maut.

Begitu pun dalam "Amis Sajak, Kampung Bayang-bayang":

Jalanan asing. Bau amis sajak, menggenang dalam
tambak. Ikan-ikan berkata, "Berenanglah siang dan
malam, menghirup alam dan Tuhan." Orang-orang pun
mengerlingkan matanya, lalu merunduk, memburu dan
diburu. Berebut nasib dalam periuk legam, lingkaran
hidup yang hitam. Mungkin mereka bukan penyair,
berebut air dalam sungai yang mengalir.

Tengok juga sajak Marhalim yang berjudul "Laut Senja, Kota-kota Mengapung", terutama pada bagian awal dari bait terakhir sebagaimana saya kutipkan di bawah ini:
Lalu hujan. Batas itu kini menyatu dalam lanskap biru. Air
menderas mencumbu laut. Aku cemburu. Kapal ini tak mampu
mengejar waktu. Alangkah berat manusia-manusia yang dibuntingi
masa lalu dan tak kunjung melahirkan generasi baru, tapi tahun-tahun
yang membatu. Aku pun membisu. Sejenak, kelelawar berkelebat
dalam ragu, di depan mataku, sktesa-sketsa mimpi menjelma
terali-terali besi, dan tiba-tiba aku seperti dihimpit sepi.
"Mabukkah yang menyebabkan aku begitu takjub pada laut?"

                    Kepada Wahab, saya menulis bahwa saya bisa mengakrabi peristiwa yang dibangun oleh Marhalim karena antara peristiwa yang satu dengan peristiwa lain, terjadi dalam suatu suasana sejajar, sehingga dengan demikian, saya dapat menikmati sajak penyair ini dengan begitu tegas. Simbol yang digunakannya tidak berlompatan jungkir balik, sehingga imej yang muncul dari sajak-sajaknya terkesan sebagai suatu kreasi dengan ukuran-ukuran pasti.
                    Saya membenarkan Wahab yang dalam suratnya kemudian mengatakan bahwa Marhalim menebarkan peristiwa bukan demi peristiwa itu sendiri, tetapi tidak lebih daripada menjadikan peristiwa tersebut sebagai alat untuk mengemukakan gagasan maupun perasaannya dalam suatu persebatian alias persenyawaan yang jalin menjalin. Jadi, bukan peristiwa itu yang menjadi alas puisi-puisi Marhalim, karena peristiwa hanyalah suatu gejala. Ibarat sakit paru-paru, batuk adalah salah satu gejala dari adanya kelainan paru-paru, tetapi bukan sakit itu sendiri. Peristiwa dalam sajak-sajak Marhalim, setara dengan batuk dalam sakit paru-paru tersebut.
                    Cuma sebelum terlupa, patutlah dikatakan di sini bahwa peristiwa yang diciptakan Marhalim Zaini, tidak terbatas pada menjejerkan apa-apa yang kelihatan. Peristiwa dalam sajak-sajaknya juga muncul karena suatu kesan penyair terhadap sesuatu. Ia juga menggunakan kata-kata tunjuk dan perumpamaan untuk
mengukuhkan bangunan peristiwa tersebut. Contohnya dalam sajak "Surat Cinta Beracun", Marhalim menulis: Bacalah kecemasan ini, ketika cintamu membiak/ dalam kamar senja, sebelum matahari mengubur/ bekas kecupan di bibir kotamu.//

3
                    SAYA sadar bahwa pemaparan pada paragraf-paragraf di atas bukanlah sesuatu yang mutlak dalam sajak-sajak Marhalim, tetapi setidak-tidaknya hal-hal semacam itulah yang pertama kali saya tangkap ketika membaca sajak-sajak penyair ini. Marhalim terasa bebas menggunakan alat yang bernama peristiwa itu dan langkah-langkahnya tidak terkunci pada suatu gaya pengucapan. Ia bebas menonjolkan peristiwa pada setiap ruang dari sajak-sajaknya, bahkan dalam bentuk dan sifat yang beragam.
                    Membaca sajak-sajak Marhalim yang lahir di Bengkalis, Riau, dengan demikian, saya tidak ditawari untuk memasuki alam pikiran penyairnya secara sepihak yakni dari wawasan Marhalim sendiri. Pasalnya, dengan penonjolan peristiwa yang telah dikemukakan di atas, tubuh dari sajak-sajak Marhalim memberikan saran-saran dengan berbagai kemungkinan. Bukan suatu tema yang diperoleh dari membaca sajak-sajak Marhalim, tetapi ada suatu perasaan yang begitu luas dan tidak terwujudkan. Sesuatu yang kita rasa ada, tetapi tidak terwujud dalam suatu bentuk yang dapat kita raba. Kata "mungkin", sangat merajai dalam upaya memberi makna pada sajak-sajak Marhalim.

Lalu padam. Peti mati inilah rumah kita
jagat yang legam, dan waktu tak bersisa.

Tapi belum juga sampai. Seperti malam
selalu memanjang di bathin kita.

Dengus nafasmu, juga degup jantungku,
kadang terasa kosong. Dan keperkasaan kita
adalah kemampuan menembus kekosongan
sampai ke sumsum waktu.

Sementara di ruang yang lain, setumpuk waktu
menunggu kita dengan teka-teki yang baru.

(Marhalim Zaini, Nocturno)

                    Melalui sajak-sajaknya, Marhalim terkesan ingin berbicara banyak hal. Tetapi dalam sangkar "mungkin" sebagaimana di katakan di atas, hal ihwal yang hendak dibicarakan Marhalim, memang di tangan pembaca dapat diperlebar dan dapat pula dipadatkan. Dari mana frase "lalu padam" dalam sajak di atas diawali, adakah suasana yang diawali oleh frase tersebut adalah sesuatu yang "hidup" atau "menyala". Tetapi keadaan waktu itu adalah sesuatu yang gelap, namun mungkinkah kegelapan itu karena "kita" berada dalam "peti mati". Lalu ke mana sosok dalam sajak itu pergi sehingga harus ada kalimat, "Tapi belum juga sampai."
                    Cuma yang pasti, dalam sajak-sajaknya, Marhalim berbicara soal manusia dengan berbagai dimensinya. Interaksi antarmanusia, tak mungkin dielakkannya, bahkan terkesan amat begitu penting dalam sajak-sajak Marhalim. Adanya dialog dalam pengertian yang sesungguhnya yakni hubungan antarmanusia yang ditandai dengan bentuk penulisan, memperlihatkan bagaimana
Marhalim memberi tanda khusus terhadap hubungan tersebut. Keindividuan, juga sesuatu yang wajar, sampai Marhalim berbicara soal kematian dan makna hidup setelah kematian tersebut. Coba perhatikan sajak yang bertajuk "Epitaf" di bawah ini:
Gelepak penghabisan burung-burung putih,
dan gugur kamboja menunggu nama-nama
Siramlah air ramuan bunga setaman dan
tenggelamkan di pasir pantai bertuliskan:
"Dermaga orang-orang karam."

Asap dupa. Kemenyan duka. Harapan dan doa.
Tergantung di langit menunggu jawaban:
"Di mana Tuhan sembunyikan keputusan?"

                    Saya harus mengatakan bahwa sebagai penyair, Marhalim, tidak hanya terpaku dengan apa yang hendak dikatakannya saja, tetapi juga bagaimana ia mengatakan sesuatu. Untuk itu, seorang penyair memanglah harus mencari dan menemukan kata-katanya sendiri, lalu Marhalim telah melakukannya dengan butir-butir peluh kreativitas dan kerja keras. Tak hanya dengan menebarkan peristiwa dan kesan, pilihan kata-kata dalam sajak Marhalim, terlihat otonom, dalam pengertian bahwa ia coba memunculkan dirinya tanpa harus merasa terasing dengan keberadaannya.
                    Tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa hampir dalam semua sajak-sajak Marhalim, ia coba menampilkan ungkapan-ungkapan baru, metafor-metafor baru, setidak-tidaknya frase baru. Tentu akan sangat panjang tulisan ini kalau hal tersebut saya ungkapkan satu persatu, tetapi memadailah saya katakan bahwa dari sajak pertama di dalam buku ini saja, upaya menampilkan ungkapan baru itu sudah diperlihatkan Marhalim. Sebagaimana anak sungai kita bertarung/ di ujung
kuala, demi laut yang membentangkan/ hidup, lebih dari
sekedar gelombang mimpi ("Tersebab Laut").
                    Terus-terang, saya sendiri amat terkesan dengan kalimat Marhalim, "Emak, rumah kita masih di senja?"(Surat Rindu). Dalam kalimat ini terlihat betapa masing-masing kata membuat jaraknya sendiri dalam suatu peristiwa. "Emak" bagaimanapun, bukanlah aku lirik dan "kita" menunjukkan adanya suatu penyatuan yang juga berarti keterpisahan antara dua individu atau lebih, sementara frase "masih di senja", seperti mengheret perasaan kita untuk melihat betapa jauhnya waktu berlalu tanpa adanya perubahan nasib. Bisa juga berarti, waktu yang tidak bersahabat, dipadukan dalam kata  "emak" dan "masih di senja".

4
                    SAMPAI di sini, saya teringat perkataan Wahab ketika kami bertemu kembali beberapa waktu lalu dan dipertegaskannya dalam selembar surat. Meskipun masa kreativitas Marhalim membuncah di Yogyakarta, maung dan amis Riau, senantiasa merasuk ke dalam sajak-sajaknya. Kutipan di atas, “Emak, rumah kita masih di senja?” pada satu sisi memperlihatkan ikatan marwah tanah kelahiran dengan berbagai peristiwa di dalam diri Marhalim terasa begitu asin.
                    Barangkali “senja” dapat menyimbulkan makna keprihatinan mendalam, ketika orang tahu bagaimana tanah Riau terzalimi oleh kekuasaan yang conguk. Daerah ini telah memberikan bahasa dan minyaknya kepada Indonesia, tetapi Riau sendiri terpuruk dalam kemiskinan yang terstruktur. Penelitian-penelitian sosial ekonomi yang dilakukan berbagai pakar sejak pertengahan tahun 1980-an, misalnya oleh Prof Dr Mubyarto dari Universitas Gadjah Mada, memperlihatkan betapa masyarakat Riau termiskin di Sumatera sebelum Bengkulu. Dengan penghasilan nomor dua terbesar di Indonesia setelah Kalimantan Timur, kondisi ekonomi masyarakat Riau terpuruk pada nomor 17 dari 27 provinsi.
                    Pertanyaan yang terkandung di dalam kalimat tersebut, dengan sendirinya bukanlah pertanyaan yang memerlukan jawaban, tetapi merupakan penegasan suatu peristiwa atau suatu kenyataan. Jika diperpanjang, penegasan tersebut memiliki ekoran untuk suatu tindakan yang di dalam dunia kepenyairan menjadi semacam landasan kreativitas. Sosok semacam ini, senantiasa hadir di bawah ambang sadar, tetapi keberadaannya dapat ditelusuri dari awal.
                    Ungkapan-ungkapan yang digunakan Marhalim, juga memperlihatkan betapa nafas Melayunya menyembur dalam setiap kesempatan. Kata “melatung” dalam sajak “Amis Sajak, Kampung Bayang-bayang”, merupakan kata yang ekpresif Melayu untuk menunjukkan suatu kebusukan yang amat sangat. Begitu juga kata “hawanya” di dalam “Sunan, Kutahlilkan Sejarah”, kata “tercerai berai”
dalam “Patung Ibu yang Tersalib”, dan banyak lagi. Kata-kata khas itu justeru selalu muncul pada sajak yang memiliki latar belakang di daerah lain, katakanlah semacam sajak dengan tajuk “Sunan, Kutahlilkan Sejarah” itu.
                    Pada sajak-sajak Marhalim Zaini juga, rekatan sejarah menjadi benang merah dari proses penciptaan sebagaimana halnya ditunjukkan oleh sastrawan-sastrawan dari Riau sejak dari masa yang jauh. Pada dirinya juga terlihat bahwa dengan sejarah, orang dapat meraih jati dirinya, mengkaji asal keberadaannya, sehingga dengan demikian, orang dapat bertindak menurut takaran sendiri. Apa yang disebut sastra mazhab Riau sejak abad ke-19 dengan sejarah sebagai salah satu alas kreativitas, juga menggelinding di dalam sajak-sajak Marhalim Zaini.
                    Seperti hendak mempertegas semuanya, bukan tanpa alasan kalau Marhalim memilih sajak “Langgam Negeri Puisi” sebagai judul buku sajaknya yang kedua ini. Di dalam sajak tersebut, ia memadukan semua pikiran dan perasaannya, harapan dan tangisannya, dalam rentangan sejarah yang bukan merupakan persoalan waktu, tetapi lebih bersifat pada serakan peristiwa. Selanjutnya sajak ini juga menjadi semacam kredo bagi hidupnya ketika Marhalim mengatakan:

Sungguh, dari jauh yang gelap, aku mengirim gumam,
“Telah kusetubuhi seluruh negeri di tubuhmu,
tapi sayang, aku tak bisa merangkainya
lebih dari bahasa puisi.”

                    Sungguh tidak pada tempatnya kalau menampilkan hal-hal demikian, karya-karya Marhalim disebut berdimensi subkultur dan karenanya bersifat local sebagaimana banyak disebut orang terhadap karya-karya yang memiliki warna serupa. Pasalnya, Marhalim berbicara soal manusia dan karenanya tetaplah universal. Adakah yang lebih penting di dunia ini daripada persoalan manusia?***


Daftar Isi

LANGGAM NEGERI PUISI

Tersebab Laut

01.  Tersebab Laut
02.  Laut Senja, Kota-kota Mengapung
03.  Amis Sajak, Kampung Bayang-bayang
04.  Sunan, Kutahlilkan Sejarah
05.  Sebuah Buku, Sebuah Lampu
06.  Hujan
07.  Angin Waktu
08.  Patung Ibu yang Tersalib
09.  Sanur, Senja Tua
10.  Kabut Kintamani
11.  Sungai Ijogading
12.  Ketapang – Gilimanuk
13.  Sebuah Episode, Pesta Bunga-bunga
14.  Orkestrasi Air Mata
15.  Elegi Lelaki
16.  Malioboro, Suatu Malam
17.  Hujan Januari
18.  Hujan Dalam Diri
19.  Wajah Retak
20.  Elegi
21.  Malam Mitologis
22.  Gembala
23.  Narasi Angin (1)
24.  Narasi Angin (3)
25.  Narasi Angin (4)
26.  Kereta Cahaya
27.  Senja Semakin Suram

Nocturno Burung Api

28.  Nocturno Burung Api
29.  Menggarami Rindu Sepanjang Juni
30.  Mambaca Selat Malaka
31.  Muntah Keruh Waktu
32.  Getah Hutan Kampung
33.  Memandang Gelombang]
34.  Perempuan Teluk yang Karam
35.  Langgam Negeri Puisi
36.  Negeri Tanpa Hujan
37.  Selepas Rindu Ini
38.  Siak, Malam yang Tenggelam
39.  Tangan Mencincang, Kaki Memancang
40.  Ekstase
41.  Obituari
42.  Epitaf
43.  Narasi Angin (2)
44.  Izinkan Aku Terbang
45.  Surat Rindu
46.  Mari Mendoakan Hari
47.  Dayung

Surat Cinta Beracun

48.  Surat Cinta Beracun
49.  Prelude, Lipstik Cinta
50.  Nocturno, Miranda 21
51.  Memoar, Sebuah Taman
52.  Prosesi di Ujung Jam
53.  Senyum Bulan Tua
54.  Histeria, Surat Malam
55.  Nocturno
56.  Solilokui
57.  Narcissus
58.  Sebuah Taman di Kamarku
59.  Menggenggam Senja
60.  Bau Uap Hujan
61.  Melodi Hujan Tiris
62.  Grafitto Sajak Asing
63.  Pungguk Merindukan Bulan
64.  Bayangan-Kolase-Batu
65.  Melankholia
66.  Mabuk Rindu
67.  Mencium Pucat Nafasmu
68.  Memoriam
69.  Juni Ketiga





TERSEBAB LAUT

Tersebab Laut

: Teater Eska

Sebagaimana anak sungai kita bertarung
di ujung kuala, demi laut yang membentangkan
hidup, lebih dari sekedar gelombang mimpi.
Perahu waktu, batu-batu masa lalu, dan
burung-burung hitam yang membayang
di seraut wajah senja adalah lukisan usang
yang memanjang di dinding gudang, tempat
sisa percakapan yang terbuang, merangkai
kata-kata dalam bingkai sajak yang hilang.
Andai saja dayung di genggaman mengayuhkan
cinta pada setiap debur ombaknya, maka
asin pantai lebih terasa dari pada badai.
Sebab laut senantiasa mengapungkan buih
nama-nama ke tepian jauh, mengasingkan
rindu ke sudut-sudut sejarah, di antara
ribuan butir pasir yang terhampar kalah.

Yogyakarta, 2002




Laut Senja, Kota-kota Mengapung

“Bukan sejarah benar yang merajai hidup, tapi keangkuhan
hiduplah yang membangun kerajaan sejarah!”
Bagai menyeduh senja, kupetik senar kecemasan, setangkai
nada dari percikan halimun yang bergelombang di hamparan
Selat Sunda. “Engkau pandai berkilah puisiku!” Sejauh pandangan,
burung sunyi mengirimkan senyum miris pada riak laut dan bercak
Lazuardi; kutemukan kota-kota mengapung, berbendera pelangi.
Barangkali, cinta mengharuskan aku menyapa ribuan nama yang
tenggelam di antara bencana-bencana. Tapi, bukankah mimpi
begitu jauh?

Lalu hujan. Batas itu kini menyatu dalam lanskap biru.
Air menderas mencumbu laut. Aku cemburu. Kapal ini tak mampu
mengejar waktu. Alangkah berat manusia-manusia yang dibuntingi
masa lalu dan tak kunjung melahirkan generasi baru, tapi tahun-tahun
yang membatu. Aku pun membisu. Sejenak, kelelawar berkelebat
dalam ragu, di depan mataku, sketsa-sketsa mimpi menjelma
terali-terali besi, dan tiba-tiba aku seperti dihimpit sepi.
“Mabukkah yang menyebabkan aku begitu takjub pada laut?”
Selat Sunda, 2001

Amis Sajak, Kampung Bayang-bayang

Jalanan asing. Bau amis sajak, menggenang dalam tambak.
Ikan-ikan berkata, “Berenanglah siang dan malam, menghirup
alam dan Tuhan.” Orang-orang pun mengerlingkan matanya,
lalu merunduk, memburu dan diburu. Berebut nasib dalam periuk
legam, lingkaran hidup yang hitam. Mungkin mereka bukan penyair;
berebut air dalam sungai yang mengalir.

Menghitung akasia di sepanjang kampung bayang-bayang pada
siang yang lengang, adalah jejak yang hilang. Peluh yang
mengucuri jiwa di antara himpitan nafas manusia, bertukar lepas
dalam hati yang meranggas. Sebab, perbedaan begitu jelas
membatasi tempat duduk kita; nyala bara curiga.
“Duh, bau busuk sajak siapa, yang melantung ke mana-mana?”
(Atau kesangsian ini, kita turunkan di sini).

Lamongan-Yogyakarta, 2001


Sunan, Kutahlilkan Sejarah
: bersama Satmoko dan Nurla

Di antara suara talkin angin yang menggelembung ke lubuk-lubuk
waktu, kutahlilkan sejarah padamu. Tentang relief-relief purba
dalam kelambu museum, juga tentang rajah-rajah perjuangan
penuh darah. “Di sini, banyak penziarah yang lupa warkah.”
Berbait-bait ayat suci, menguap oleh air mata panas dari mata air
cemas, melebihi lautan peristiwa. Seperti beribu kamboja yang gugur,
barisan makam thawaf membawa beribu nisan berdebu.
Udara lindap dalam suhu harapan dan doa, tapi hawanya
mencekam sunyi. Dan daun-daun hijau gamang ditangkainya.
Lalu gerimis merendah ke bumi, mengajak bersujud, membenamkan
wajah ke dalam diri, “Tuhan, bersihkan hati kami.”

Makam Sunan Drajad, 2001



Sebuah Buku, Sebuah Lampu

: bagi HJ

Menyiangi usiamu, aku melipat sekian kesangsian tentang waktu.
Aku, mungkin bukan seorang anak kecil yang membawakan obor,
lalu menanyakan tentang api kepadamu – seperti dalam Zen
Buddhizm itu – tapi aku justru adalah obor itu dan kau adalah api
yang menyalakannya. Dan seorang anak kecil itu adalah waktu
yang bermain, berlari, melompat, dan merambat ke sumsum keabadian.

Lalu aku bangkit. Sebuah buku kusetubuhi. Seperti barisan
payudara di tepi pantai itu, aku jalang memandang kata-kata
dalam lajangku. Dan pada hitungan terakhir, sebuah lampu dari
abad jauh, menyala. Aku terkesima, menunggu cahaya
mengembang dewasa, lalu segera belajar membaca manusia
dengan sederhana, agar tak mengeluh seperti Caligula: “Alangkah
beratnya menjadi manusia.”

Pekanbaru-Yogyakarta, 2001

 

  Hujan

Akhirnya hujan menutup pintu keberangkatan.
Pekik derasnya memenjarakan kita dalam dusta
dan dosa ke dosa, seperti jual beli harga diri
di sepanjang trotoar cinta.
Memang bangsat. Siul yang kukecup dari bibirmu
mendadak selingkuh di paha Theodora. Berhari-hari
kujajakan kesetiaan di stasiun tempat penipuan
merapikan jejak-jejak berpindah. Entah untuk apa.
Atau mungkinkah aku Justinianus?
Seperti kebanyakan pencuri, aku pun melipat-lipat
sapu tangan, menutup rupa agar tak serupa. Menatap
pada peradaban di mata anak-anak yang bersorak-
sorai di bibir panggung hiburan.
Duh, seperti inikah Napoleon menikam sejarah?
Lalu dalam hujan kubuka laut yang berabad-abad
menyimpan gemuruh di dasarnya.
“Tuan, di mana perahu negeri yang karam, semalam?”

Yogyakarta, Januari 2001 




Angin Waktu

Setiap kali kau buka pintu
seperti ada yang memburu
waktukah itu?

Derit angin yang membuka
gorden jendela di wajahku
menyelinap dalam usia.
Tiba-tiba aku menjelma buku-buku
tak terbaca; nganga kata-kata
hanya menyimpan makna luka.

Barangkali harus kubangun rumah baru
tanpa jendela dan pintu, agar angin
tak tahu, bahwa waktu telah membatu.
 
Pekanbaru, 2001

Patung Ibu yang Tersalib

Kulukis bukit dengan wajah ibu di langitnya
agar sungai-sungai mengalirkan kehidupan
lebih dari sekedar sebuah pemandangan.
Lihatlah kerut keningmu bagai danau
yang kejatuhan sebutir batu, gelombang kecil
yang menepi, lalu menyatu. Aku khawatir,
tiba-tiba hujan mengubah raut mukamu
menjadi gulungan badai tercerai berai,
sebab di negeri huru hara ini,
dendam dan pahlawan serupa pengantin
di pelaminan, ijabnya adalah restu waktu.
Dan ketika pesta dimulai, persetubuhan
melenguhkan umpatan-umpatan panjang
menyerupai bunyi tembakan perang.
Lalu apakah burung-burung bangkai juga
memangsa satu-satunya kebanggaan kita,
sesosok patung ibu yang tersalib?

 Yogyakarta, 2001

Sanur, Senja Tua

Seperti anak hilang, aku memungut sisa ciuman lidah senja
di pangkuan pasir tua yang keriput dicumbu laut.
Garis bibirmu, senyum batu-batu, dan lumut usiamu,
tak dapat kupetakan dalam asin sajakku. Hanya tawa asing
anak-anak timbul tenggelam dalam kehangatan air matamu
yang melimpah bersama sampah-sampah sejarah.
:Aku, semakin kurus meregukmu.

Bahkan ketika matahari mengembalikan bayang-bayang waktu
di antara kerut wajahmu, aku menyisakan hujan perawan yang
leleh di pipi malam. Sebab orang-orang selalu mencuri
mata air kesunyianmu, dan membuang kekalahan-kekalahan
ke sekujur tubuhmu, lalu melukis dosa-dosa sebagai prasasti,
sebagai pulau-pulau tak berpenghuni.
:Aku, semakin takut membunuh malam.

Bali, November 2001



Kabut Kintamani

Di ketinggian, kabut mencuri angin. Membekukan
rumah-rumah menjadi gumpalan batu putih.
Orang-orang mengencani waktu sambil merapatkan
dingin musim, lalu menguliti matahari dengan muka
pucat pasi.
“Di sini, kabut juga menghamili anak-anak kami!”

Dan senja membisu. Gunung dan danau memaku
pandanganku di tubuh telanjangnya. Bahkan riuh
anjing dan dengus babi mengikat jiwaku di atas
jalan terjal, tempat orang-orang memetik kabut,
sebagai sesaji bagi Tuhannya.
“Di sini, kabut juga penyambung doa kami!”

Serupa pohon-pohon kering yang berbaris menuruni
lembah, aku menghitung manusia yang menapaki
kabut, berpakaian kabut, dan menjunjung Tuhan-nya
yang berwarna kabut. Mereka melafalkan mantera
sambil menaburkan bunga-bunga kabut. Bagai deru
kereta, derap langkah kaki mereka menarikan kabut
dalam ekstase hidup menuju kediaman maut.

Dan mataku pun berkabut. Seketika kurasakan
tubuhku luluh dalam tikaman-tikaman angin yang
memenjarakan jerit puisi ke sekujur urat darah
yang menguarkan aroma bangkai tanah.
“Maaf, izinkan aku membawa Tuhan-ku pulang!”

Bali, November 2001

Sungai Ijogading

Ingin kubenamkan wajahku dilekuk tubuhmu,
agar menghijau kemarau yang mengeringkan
air matamu. Tetapi gerimis seketika menangis
menganyam senyum miris di permukaan senja
dan memelukku dengan rindu batu.
“Lagukan percintaan ini, sehangat sentuhan
kulitmu di kulitku!”

Lalu kubur nafasmu yang mengalir dalam
kelokan waktu. Serupa angin memainkan
rerimbun bambu, gemulai tarianmu menyusuri
tepian sejarah yang mendesah di setiap
dayungan perahu. Ada seribu bahasa menetes
dari jantungmu, ada kelebat cahaya dari setiap
kibasan selendang awan yang melingkar di lehermu.
Aku semakin tenggelam dalam pesonamu.
“Kau tak takut, pada karam paling dalam?”

Sungguh, sejak semula telah kuhanyutkan
sajak-sajakku pada kedalaman arus cintamu,
agar kau tahu, bahwa laut yang akan kita tuju
lebih dahsyat dari gemuruh rindu masa lalu.

Loloan, Negara, 2001



Ketapang – Gilimanuk

Akhirnya selat waktu membatasi mabuk jarak
dan kantuk musim yang merambat di pelupuk
senja ketiga. Segaris langit dan peluit dermaga
memerah di laut jauh, menandaskan remang Jawa
yang berkabung di atas gelombang pasang. Serupa
para pedagang, aku menjajakan peluh kota-kota
pada setiap ombak yang menyinggahi pantai.

Tapi sebagaimana layaknya sebuah penyeberangan
para penziarah tak sempat menyeduh asin angin
yang menguap dari ampas kapal-kapal, sebab
di tepian ini, detak jam berpacu lebih cepat
dari waktu.

Barangkali hanya burung-burung dan anak-anak
yang mengapung di dada laut, mampu menghitung
jejak sajak yang tertinggal di setiap keping uang logam
yang dicampakkan  ke mulut nasib, lalu menelannya
sebagai api penghangat malam. Sebab di batas pemberhentian
masa depan hanya dongeng panjang di benak orang-orang
yang datang dan mengehilang. Entah, jika kelak kita
membangun rumah di sini, mencatat risau ombak yang
mengerami sepasang kaki kita, dan menyalakan mercu suar
ke segala penjuru masa lalu.

Akhir Oktober, 2001


Sebuah Episode, Pesta Bunga-bunga

: Brojol Seno Aji

Membangkitkan mimpi sewaktu-waktu
Seperti memetik sekuntum sunyi dari
kesenyapan abadi. Serupa tidur pulasmu
memungut malam demi malam di jalan
lengang tak bersimpang, kota dan luka
seperti kunang-kunang, berhamburan
di langit tanpa bulan.

Pernah kucatat bahasa petualang dari
sebuah pulau terpencil di ujung gelombang.
Puisi-puisi terbang seperti kumbang mencicipi
cemas dalam semerbak taman-taman.
Tak ada bunga, katamu. Sementara di suatu pagi
kopi pahit dari sisa-sisa hari, tumpah di jambangan hati:
“Sebatang pohon beraroma perempuan.”

Maka sebuah pesta burung-burung pagi,
menyalakan kicau di tubuh seorang lelaki
menggugurkan sayap-sayap sejarah,
sembari bernyanyi:
“Bukankah sebuah episode waktu
sedang merumuskan rindu-rindu
mencatat mimpi-mimpi dan masa lalu?”
 

Yogyakarta - Klaten, 2001


Orkestrasi Air Mata

Selain penyair meratap dalam sajaknya,
siapa memaki kecemasan dalam bencana-bencana?
Kudengar orkestrasi air mata berabad-abad
menggenapkan dendang luka yang ganjil
pada setiap dongeng dan langgam malam
di sebuah negeri yang serupa makam.
Kukirim kidung murung bahkan raung
di retak gambut, di detak waktu yang berdenyut.
Tapi, semakin memanjang gelisah galau
semakin berbuih laut di mulut maut.
Lalu haruskah berdiam, sementara pulau-pulau
tempat kita mencipta mimpi diracik-racik
seperti daun inai dan ditaburkan ke wajah kita,
: Para pengantin yang tersalib.
“Kami memang selalu begini, tak bisa lagi selain berpuisi.”
Seperti bayang-bayang hilang di halimun petang
begitulah kata-kata tenggelam dalam slogan, dan
terbius tubuh kita oleh sengat matahari di atas tanah-tanah
rekah yang menyembunyikan gemuruh sunyi di mata air bumi
yang menggenang dalam kolam merah, menyerupai darah.
Maka ini hari biarkan mayat-mayat sejarah teronggok
di setiap sudut desa dengan beribu lalat legenda
menjadi memorabilia yang dikafani lukisan-lukisan tua
dan koran-koran bekas dalam museum bertuliskan:
“Jangan pernah mengulangi kematian!”

Yogyakarta, 2001

 

Elegi Lelaki

Di batas tebing ini, engkau tumbang. Di seberang
tulang belulang waktu kian rumpang.
“Sejengkal lagi kekal, diam pasti terbenam!”

Lihatlah, perempuan-perempuan mengutukmu.
Meringkus birahi dalam puisi. Menenggak tuak
cinta sampai telak. Tanpa lelaki, barangkali hidup
akan lebih berarti. Tapi semalaman, bulan sendiri
rindu jilatan matahari.

Bangkitlah. Anak-anak jatuh dari ayunan.
Mimpi membuang mereka dari syurga, sebab
taman tuhan penuh dengan para pencinta yang
mabuk dalam racun kata-kata.
“Ingat, sejengkal lagi kekal, diam berarti terbenam!”

Pasar Kembang, 2002


Malioboro, Suatu Malam

Andai malam memberi sepi lebih tajam
mungkin dengkur kaki lima itu, dapat
kuurai serat mimpinya menjadi sebaris
sajak yang panjang, serupa merkuri yang
berbaris di sepanjang jalan, cahayanya
menjaga kesetiaan waktu yang hitam.
Tapi siapakah yang benar-benar tertidur
dari gangguan angin yang terus bermain
di antara suara ringkik kuda dan becak tua?
Aku terjaga, seperti perempuan-perempuan
yang menjajakan hidup di pelukan nasib.
Sebab di sini, siang dan malam hanya
sepetak ladang yang tanpa pematang,
terbentang di bawah matahari yang meradang.

Yogyakarta, 2002


Hujan Januari

: keduapuluhenam

Bahwa tempias di matamu, ketika Januari
kau buka, adalah selembar buku lama
dengan titik-titik hitam tak terbaca.
Sebab hujan jatuh ke seluruh musim
yang kaudekap dalam gigil rahasia, dan
mencatat tetes air di kaca jendela sebagai
bulir-bulir waktu yang meresap sia-sia.
Hingga getar langit yang mneggetarkan
jarum jam di jantungmu berdetak lebih cepat
dari denyut angin peristiwa dalam kamar
penuh kenangan, dalam kenangan penuh kekalahan.
“Dan begitulah hujan memandikan Januariku,
dalam banjir bencana, di kotamu.”
 
Yogyakarta, 15 Januari 2002


Hujan Dalam Diri

Dalam diri, hujan tiba-tiba:
selangkah lagi, kakimu adalah puisi.
Dan aku harus pergi, membelah diri
sebelum sepi.

Betapa, menduga jarak di jengkal tanganmu
jauhnya tak hilang di ujung jalan.
Mataku, semangat anak-anak malam yang
membaca teka-teki ini, bagai layang-layang
melenggang di tengah lengang.

Dalam diri, hujan menderas:
beribu langkah, menapak basah.
Cukupkah setetes darah
melukai sejarah?
Yogya-Jakarta, 2001



Wajah Retak

: teringat diri

Berkaca-kaca. Rupanya menatah hari
di ujung tahun, wajahkukah?

Setampuk kata, sudah jatuh jadi peluh.
Didendang-dendang sampai bertandang.
Siapa menjual muka penuh luka,
menggadaikan luka, pada siapa?

Atau sebait mimpi, sepanjang ilusi,
setumpuk puisi, berabad-abad telah mati.
Lalu, hanya sisa senyum di wajahku, retak-retak.

Yogyakarta, 2001


Elegi

1.
Menjadi serdadu, dadaku sesak mesiu.
Sudah kupersiapkan karangan bunga dan
setangkup doa bagi putih tulang-belulangku.

2.
Cintamu dusta, jika tembok tua itu
masih melingkupi semerbak wangi tamansari.
Pundi-pundi dan ornamen-ornamen hidup
yang kita bangun dengan nyawa satu.
“Cukuplah air mata itu yang membuih.”

3.
Lihatlah, mendung melukis wajah kita.
Sebuah cermin yang penuh debu luka. 

Yogyakarta, 2000


Malam Mitologis

Menyadap gaib malam, suara-suara
dan cahaya melintasi mata sepi.
Kubayangkan Athena, Dewa Anggur dan
Dionysus berkelebat di reranting Khuldi.
Lalu gugur satu-satu di sepetak halaman
tempat anak-anak merayakan kemerdekaan,
meski jejak petak umpet dan gobak sodor
telah disembunyikan bulan di jubah langitnya.
Tapi bayang-bayang bergoyang itu,
menyerupai Diabolos yang menari dan
memasung sepasang manusia di matanya.
“Bukankah Adam dan Hawa telah lama jatuh?”
Atau sesekali harus kubangun sendiri
peristiwa besar dengan musuh raksasa
melampaui kehebatan cerita seorang dalang.
Dan malam, kubiarkan membiak dalam sejarah
terkantuk-kantuk dalam biografi kenangan
dan hanya menjadi sebentuk mitologi.

Yogyakarta, 2001


Gembala

Kau dengar, suara saling bersabung seperti petir.
Itu anak-anakku. Kuhidupi dengan cinta.
Kubelai dengan belati. Kubesarkan dengan api.
Lalu kutulis di kepala dan di hati mereka:
“Ingat, hidupmu hanya satu!”

(Dan di meja makan ini,
kita sedang menggembalakan hidup)

Yogyakarta, 2000


Narasi Angin – 1

Tentu engkau berdarah
silangan angin menjaringmu.

Pernah berseri seribu jubah kita
berkalung kunang-kunag dada kita
sehabis perjamuan panjang
setelah deras hujan meretas
segala rahasia.
Apakah di meja hias itu,
kita kehilangan wajah asli?

Berkali-kali berdarah
mestinya tahu isyarat luka.

Tapi sayap-sayap kita
satu persatu meninggalkan sarngnya
mengibas-ibas derai gerimis
dalam cericit duka yang sama
“Kenapa mesti m enangis,
kalau tak sudi tertawa?”

Yogyakarta, 2000


Narasi Angin – 3

Bacalah angin yang paling sunyi
dari gemuruh badai di wajahku.
: Engkau huruf-huruf yang mengkristal.

Dengarlah bahasa gelombang
dari riuh ombak di jiwaku
: Engkau madah yang melambai-lambai.

Pandanglah isyarat bintang-bintang
dari cerlang cahaya di dadaku
: Engkau bias sinar yang menggumpal.

Ciumlah aroma tanah basah
dari tetes peluh di tubuhku
: Engkau firdaus yang melangit.

Simaklah suara gesekan daun-daun
dari pohon kering di jantungku
: Engkau embun yang mendingin.

Dan tersenyumlah,
bahasakan aku dengan anginmu.

Yogyakarta, 2000

 

Narasi Angin – 4

Bukalah jendela itu
dengan bayang-bayang purba
yang bersarang di tembok-tembok
mengental dalam museum kata-kata.

Biarkan angin dengan kesunyiannya
mencatat mimpi-mimpi kita dan
menggugurkan lelah dari keberangkatan
yang tak pernah selesai.

Bait-bait sejarah dalam kanvas itu
kita lukiskan kembali menjadi lagu
irama kegelisahan yang berhamburan
menjadi warna-warna penghias nestapa

Jendela itu mesti dibuka
biarpun tangan kita terikat oleh
peristiwa-peristiwa di ruang kosong
dan kesendirian menjadi empedu
yang harus ditenggak berkali-kali.

“Bukankah kita hidup
dalam dunia yang sama?” 

Yogyakarta, 2000


Kereta Cahaya

Kalau kereta itu datang, Aji
sulut upacara cahaya manusiaku.
Dalam pulas semalam telah kubaca
anjangsana ruh berpendar di langit
: ini malam sayap-sayap mitologi
mengibas awan hitam menjadi butiran cinta!

Harus terjaga kesadaran semesta
ketika gerbang dan jendela penjara
menjelma ruang-ruang persetubuhan.
Sebab keberangkatan yang tertunda itu
menelikung sejarah menjadi debu dan batu.

Waktu sudah hampir tewas, Aji
dan kita telah sekarat berkali-kali.
Andai kereta cahaya itu tak berhenti
mampukah kita bertahan di sini?

Yogyakarta, Januari 2000



Senja Semakin Curam

Rupanya senja yang menunggu
di perbatasan curam itu
terbaring membatu
malu merentang sayap-sayap

Pandanglah dinda
matahari menutup mata dengan jemarinya.
Ada bayi-bayi berkeliling menggapai remang
mengapung di awang-awang, seperti layang-layang
merajuk dari talinya, tenggelam dikulum awan.

Berdendanglah dinda
tentang derita, keindahan, dan kesunyian.
Bara di bathinmu, biarkan ia menghafal doa-doa
dalam gumpalan-gumpalan asap dupa.
Lupakan kemarau,
nantikan salju dari mata air bumi
ciptakan perahu, dayung, dan layar putih
agar banjir tak mendingin di nadimu.
 
Yogyakarta, Maret 1999


NOCTURNO BURUNG API


Nocturno Burung Api

Zaini puisiku hilang dilelap malam
anak jantanmu ini mendadak jadi patung.
Seperti Spink, tapi bukan karena Oedipus
sebab Jocasta atau Antigone adalah badai.
bahkan semuanya menjadi kayu mati di taman
kerontang – tak berteman.

Zaini, puisiku meranggas di hutan-hutan.
Sisa teriakan, rintihan, dan bisikan
terbaring mencium angin di palung tanah.
Apakah kelepak Cleopatra gembala yang manis
telah letih ditikam suara harpa dari langit?

Zaini, aku melihat Tuhan tersenyum
di balik semak rimbun menyimpan rahasia.
Tapi kenapa burung-burung bangkai itu
menggambar tanda silang dengan paruhnya?

Zaini, malam ini
Haruskah aku menjadi burung api?

Yogyakarta, 2000  

Menggarami Rindu Sepanjang Juni

Bau asin sungai di sepanjang Juni, menggarami rinduku pada
Teluk Pambang di kota muram. Jalan yang berkarat, menandakan
asap pabrik dan sisa minyak mentah masih bermukim di sini,
sebuah pulau sempit dan layu. Tapi orang-orang lupa berduka,
sebab musim dan cuaca menimbunnya dalam gudang luka;
dermaga segala nestapa.

Aku tersipu. Burung-burung pantai mengusap langit. Sayapnya
adalah kerdipan mataku yang menghapus arsiran kenangan. Seperti
kedai kopi ini, mengendapkan pahitnya di pekat malam.
“Ah, lama-lama aku merasa seperti di Vietnam.”

Aku pulang. Terlampau lengang hutan-hutan dalam kilometer
yang memanjang. Meski bulan tumpah, tak dapat kutatap cahanya
kecuali bayang-bayang percakapan tentang keterasingan dan
ketakberdayaan, tentang harga-harga kemanusiaan yang berbaris
di etalase, yang kian menyumpal lambung harapan-harapan
dengan debu dan pasir jalanan.
“Sepanjang Juni, rinduku kehabisan garam.”

Bengkalis, 2001


Membaca Selat Malaka

Inilah bentangan hidup: gelombang laut yang
senantiasa mengapungkan maut, deru perahu,
dan genangan rindu yang menunggu.

Apa yang kita bisa, dari yang terbaca.
Langit hanya mendongengkan harapan
bahwa daratan, tempat pasir-pasir
yang menguruk sepasang kaki kita,
ketika dulu, kehangatannya menggetarkan
senyum ombak di kedalaman doa kita
telah dihanyutkan ke sepi puisi.
:Sebuah pulau cinta tak bertepi.

“Percayalah, jaraknya tak sejauh mimpi!”

Dan hujan, melagukan malam, memetik angin
yang menari di antara detak jam di bawah
hempasan kapal yang membelah kesunyian.
Seperti buih-buih menepi, kita semakin jauh
diseret waktu, semakin tahu makna deru.

“Percayalah, tak ada yang lebih merdu,
selain degup jantungmu!”

Tapi apa yang kita baca, dari yang tak terduga.
Serupa orang buta kita menerka-nerka warna
pada sebuah lukisan tua yang dihapus cuaca.
Meski hati bermata, tapi tak mampu memberi nama.
Alangkah, di atas bentangan laut, gelombang
senantiasa menggenangkan rindu, pada daratan
maut yang menunggu.

“Percayalah, sepanjang mimpi itulah duniamu!”

Selat Malaka, 2001


Muntah Keruh Waktu

Dimanakah merah bekas liar gigitan kelelawar di tubuh malammu,
menyembunyikan sarung songketku, hingga bugil burung di sangkar
kepalaku, menangis tersedu-sedu?

Semalam, kerudung biru bau rambut tanjungmu, memang kusulam
serat benangnya, sampai terburai simpul rinduku. Tapi tak basah
seluruh ranah di jengkal usiamu, sebab baru sezarah peta langkah
di tapak jantanku.

Hendaknya kini, rawa-rawa di ketiak sungai yang diapit batanghari,
masih kencur bau perawan pagi. Ibarat bayi, wangi janin menguarkan
aroma suci, dari benih percintaan yang menggelembung di labirin rahim.
Namun entah oleh bulan gerhana, ketika kureguk dahaga dari mata airmu,
mabukku muntah keruh waktu.

Sepulang dulu, masih kampung warna bibirmu. Masih selendang peluk pagutmu.
Bahkan senyum di wajah telaga masih ranum di pandang mata. Tapi kenapa,
setiba angin menyeduh asin, hanya hangus pantun dan dedak sajak yang tersisa?

Hidangan ini, adalah bahasa tanpa kata-kata. Tersebab bukan raja atau laksemana,
maka kusetubuhi dengan sederhana, tanpa bertanya tentang telanjang yang sempurna.
Namun kuminta, dendangkan sedu tangis burungku dalam sarung malam yang
kau curi dari bekas gigitan liar di merah tubuhku.

Yogyakarta, 2002


Getah Hutan Kampung

Mengenangmu, dari balik rimbun semak daun-daun resam,
aku menjelma anak ayam yang berebut makanan dari sisa
nasi basi yang dicampakkan sejarah ke hitam tanah.
Ada subuh lembab dari tempias hutan, yang menyimpan
hujan semalaman. Ada yang mendekam di balik akar-akar
tahun yang menua; beribu malam yang padam.

Tapi waktu harus diburu. Harus dicumbu. Sebab rumah panggung
telah lama menanggung rindu. Anggaplah ibadah, jika batang
karet-karet renta tak lagi bergetah. Atau bersedekah pada darah
kampung yang tak lagi merah. Mungkin lusa, harga peluh nasib
lebih mahal dari sepinggan harapan. Meski di sini, air mata yang
tumpah lebih murah daripada minyak resah yang melimpah.

Sebagaimana bedug surau meningkahi sepi, aku galau dalam
degup jam yang berkelahi di jantung pagi. Tapi berangkatlah,
menyelam dalam embun tuhan di tubuh hutan. Gairah basah
akan membasuh pucat mimpi di muka nurani. Sebab di luar hari,
dendam mengerang lebih garang dari sengat matahari.

Mengenangmu, dari balik tiang-tiang gubuk yang tumbang,
aku mengidap sakit rindu yang membatu. Sepedas sambal petai
di dapur kayu yang berasap arang, aku menelan ludah sangsai
dalam bayang-bayang tahun yang memanjang. Tapi benarkah,
hutan memendam getah hujan di balik beribu akar-akar malam?

Riau-Yogyakarta, 2002

 

Memandang Gelombang

Memandang gelombang melipat ombak di dada senja,
aku mencecap asin kenangan dengan lidah membuih,
sebab tak dapat kutangkap jejak ketam yang mencuri
siang, dan menenggelamkannya dalam lubang malam.
Sementara laut senantiasa memuntahkan sampah waktu
di pesisir rindu, tempat terumbu karang memaku hidup
dalam hempasan  demi hempasan.

Lihatlah pasir. Sampan tua sehabis merenda nyawa. Juga
mendusa tersangkut di jala. Semua terusir oleh jarum angin
yang bersebadan dengan Tuhan. Tapi serupa ikan-ikan yang
menyerahkan nasib di jaring pelaut, orang-orangpun terbiasa
bersabung usia dalam taipun musim. Entah memang tersebab
jangkar terlempar di hamparan karena cuaca, atau mimpi buruk
yang mencampakkan kekalahan demi kekalahan.

Dan nyeri. Sembari menelan ludah dengan mata menyala,
aku surup bersama matahari yang redup. Serupa prajurit
yang kalah perang, akupun  menjejaki jalan pulang dengan
memikul beban pertempuran demi pertempuran.

Pantai Selat Baru – Pantai Trisik, 2002



Perempuan Teluk yang Karam

Di sepanjang teluk, perempuanku membasuh suara rindu
yang tersesat di antara gemericik air yang memandikan
senja di lekuk tubuhnya.
Lalu kutangkap gigil anginmu dalam catatan ziarahku,
ketika igau anak-anak dalam dongeng ibu menguarkan
bau susu yang menggelantung di dada kotaku.
“Telah bersih kasih ini, anakku. Hisaplah sepuas hatimu!”

Hanya batu yang menyalib mulut waktu, dan seraut wajah
memucat di kelam dinding-dinding kayu.
Aku terlupa mencelupkan kelu lidahku di dasar malam
yang memekat di bawah telapak kakimu, hingga
untuk menyalami bayang-bayang rambutmu yang
kau hanyutkan di bening sungai pun,
aku seperti karang yang dipagut bumi.
“Bukankah kasih ibu sepanjang waktu, anakku?”

Sebagaimana tandasnya petang, aku menyedu malam.
Ada aroma kampung yang mengajikan kedamaian
di setiap gubuk-gubuk lukanya.
Ada kunang-kunang yang berbaris di sepanjang hutan
mengerdipkan sepinya.
Dan seketika, aku merumuskan jeritan rindu masa lalu
yang jatuh satu-satu dari sudut mataku, menyerupai
gemericik senja yang memandikan perempuanku
di tengah teluk yang karam.

Riau-Yogyakarta, 2001


Langgam Negeri Puisi

Sesederhana apa pun puisi ini, ia akan abadi.
Selayaknya waktu yang senantiasa menghidupkan
kesunyian dari lengang kesangsian yang tak pernah
sempurna, ia terus menggali malam sampai tenggelam
seluruh siang.
“Hisaplah kata-kata itu, sampai tubuhmu menjadi puisi.”
Engkau pergi, meninggalkan bayang-bayang yang mengeras
di jejak kotaku, tapi aku memungutnya sebagai hadiah,
sebagai puisi yang indah.

Lalu di sepanjang pelabuhan, asin laut meluap
bersama senja. Gerimis mengukuhkan dingin angin.
Serupa manik-manik kebencian di matamu,
alangkah nikmat tatapan matahari yang redup
ditelan laut, meleburkan kenangan
dalam hitam yang padam.

Percayalah, sesampainya kapalmu di tepian yang lain,
orang-orang akan memburumu seperti ombak
memburu pantai. Sebab sebaris puisi yang kaubawa
di balik biru matamu, melambai-lambai seperti nyiur
yang rimbun menyimpan keteduhan.
Dan seketika itu kau bertanya, “Tak adakah negeri,
yang tanpa puisi?”

Sungguh, dari jauh yang gelap, aku mengirim gumam,
“Telah kusetubuhi seluruh negeri di tubuhmu,
tapi sayang, aku tak bisa merangkainya
lebih dari bahasa puisi."

 Bengkalis-Pekanbaru, 2001



Negeri Tanpa Hujan

Malamlah yang membawaku ke negeri tanpa hujan,
dan Tuhan merestuinya.
“Jangan mendendam, melukai sejarah itu durhaka.
Lihatlah Dedap disumpahi nasib jadi pulau hanyut.”
Tersebab seorang ibu yang setia adalah harapan yang
Tersisa, maka kata-katanya bagai sabda tanpa cela.

Lalu waktu kubiarkan menjadi raja, menyaksikan
pesta anak-anak pantai yang membangun kerajaan mimpi
dari butir pasir tanpa kesangsian tentang gemuruh laut
hingga aku pun takluk, seperti seekor ikan dalam jaring pelaut.

Barangkali kemarau panjang telah membiasakan
daun-daun kering menjadi para pengungsi
menyisih dari tubuh batangnya
hingga angin merasa tak berdosa mengirimnya
ke tepian sungai, sebagai sampah yang kalah.

“Sesekali hujan datang juga, walau tak sempurna.”

Sejak itu kutanam kesabaran yang tua di gigir pantai
sembari merakit perahu dari silangan angin yang ngilu.
Kelak, jika Tuhan restu, akan kuhanyutkan pulau ini
ke negeri yang tanpa matahari.

Bengkalis, 2001



Selepas Rindu Ini

Selepas rindu ini, dahaga kota meregukku.
Pelabuhan siang memaksa orang-orang
melapisi luka dengan debu matahari.
:Memangsa mataku, menikam jantungku.

Serupa cinta, kudekap desa sebagai
nganga air mata purba dan melipat
potongan nasib sebagai surat panjang
yang disembunyikan dalam siul musim.
Akan kukirim ke selat dan tanjung-tanjung
yang bersimpuh di kaki kecemasan
menunggu langit jauh menjatuhkan
sisa awan lepuh sebagai ucapan keluh
tempat peluh waktu mencari teduh.

Kuduga, siapa pun akan mengiba
menganyam cemburu di rumah hati
yang penuh musuh, sebab tak mampu
membunuh rusuh.
Tapi bersepakatlah, bahwa tikar kebencian
yang ditumpuk di bawah ranjang, selalu
minta dibentang ketika tamu dari seberang
membeli harga diri dengan setumpuk uang.
Dan setelah itu, kita seperti merasa kehilangan
sesuatu yang paling kita sayang.

Selepas rindu ini, tak kan ada lagi berita.
Selain buih-buih kota yang menari-nari
di atas banjir air mata. Dan kita,
untuk ke sekian kalinya mejadi penyaksi
dengan mata menyala dan tanpa kata-kata.

Pekanbaru, 2001


Siak, Malam yang Tenggelam.

Lalu bulan sendiri di atas pelabuhan, tanpa perahu
dan tak menyisakan percakapan. Hanya sungai
membekaskan bau manusia terbakar oleh sengatan
hari yang menyemai dendam waktu pada setiap
detak jam. Di tepian hidup, kecemasan memang
serupa gelombang pasang, meraup gambut dengan
perlahan, lalu tenggelam. Begitulah keperihan
harus didekap ke mana pergi, selama perbatasan
hanya sebuah penginapan penampung mimpi.
“Siak, matahari berlayar meninggalkan malam,
tanpa pesan tentang kapan.”
Mungkin sepenggal khabar hanya ketakpastian,
sebab rindu di sepanjang penantian, adalah
keresahan yang menawan.

Sungai Siak, 2001


Tangan Mencincang, Kaki Memancang

Masih purba setiaku, memaknai langkah
sebagai asah. Sebab menyerah berarti kalah.
Pedang ini, bersarung pinggang, mengawal
pangeran di dadaku, kerajaan laut yang
dibangun dari kekalahan masa lalu.
Dan di sepanjang kedalaman Siak,
kularung palung waktu sampai telak
agar capaiku sampai ke puncak.

Tapi tak kan kukhabarkan warna hitam
sakitku, pada sepi malam di pelupuk tidurmu.
Sebab tangan mencincang, kaki memancang
adalah hasrat pahlawan menghadang lawan,
serupa daun, gugurnya atas nama kehidupan. 

Sepanjang Sungai Siak, 2001


Ekstase

1.
Goncangkan cawan ini, genggam racun dari nafasku
kan kau lihat kunang-kunang berpendar, gemerlapnya
pecah, sayap-sayapnya mengibas cahaya obor-obor dari
bara dermaga di pulau-pulau, menyulut nyala negeri.
:Membakar kebencian menjadi cinta.

2.
Menyelamlah. Tenggelam paling dalam. Lubuk luka itu
pasti manis terasa, seperti sari madu dari lebah purba.
“Bukankah gemetar tubuhmu, adalah gagah juangmu?”

3.
Kalau pun padam, ruh kita langgam zaman.
Senantiasa dilagukan sepanjang malam.
Dan segala gulita menjadi beribu ruang
bagi waktu yang menjelang.

Yogyakarta, 2000



Obituari

1.
Kecemasan: bahasa angin menjelma bayang-bayang.
Mengancam hening. Wilayah semedi puisi-puisi.
Daun pintu goa bathinku diketuk tangan waktu.
“Di pulau mana kau petakan persetubuhanmu?”

2.
Seperti cinta, kupelihara jejak kudekap waktu.
Kubiakkan dalam hutan nama-nama: alam dan Tuhan.
Meski tangis melantun membangunkan masa lalu,
dan nocturno kembali melahirkan generasi baru.
“Di sini, pulau-pulau hanyut tanpa mercu suar.”

3.
Lalu di atas ranjang itu,
persetubuhan tanpa nakhoda
menjelma lolongan serigala. 

Yogyakarta, 2000

Epitaf

Gelepak penghabisan burung-burung putih,
dan gugur kamboja penunggu nama-nama.
Siramlah air ramuan bunga setaman dan
tenggelamkan di pasir pantai bertuliskan:
“Dermaga orang-orang karam.”

Asap dupa. Kemenyan duka. Harapan dan doa.
Tergantung di langit menunggu jawaban:
“Di mana Tuhan sembunyikan keputusan?”

Yogyakarta, 2000


Narasi Angin – 2

Tak sekedar air mata
darah pun pernah nyalang
di ceruk garang mata kita.
Mata orang-orang yang menunggu
kemenangan di simpang pertempuran.

Aku mungkin Dedap atau Maling Kundang
tak sempat diberi air atau angin, tapi batu.
Batu para petualang yang timbul tenggelam
dalam kesdaran ombak yang tak diam
tapi berderak dan bergerak.

Sekian langkah itu
memang menjelma angin.
Angin dari segala penjuru waktu.
Tapi sebagaimana musim
angin akan terus melingkar-lingkar
dalam dengus nafas si pemburu.
Sementara berjuta anak panah
siap membidiknya.

“Masih adakah segenggam rindu
bagi anak-anak yang terlahir
menjadi batu?”

Yogyakarta, 2000



Izinkan Aku Terbang

Ibarat pungguk
dulu aku merajuk
sebab bulan berwajah buruk

Hasratku arung samudera di belakang rumah
sewaktu belia, sewaktu lunak pasir diinjak
dan riak gelombang singgah di kaki budak.
Budak jantan si anak sayang ditimang-timang
hendak berkelana ke negeri orang.

Emak,
Gundukan pasir itu semakin menggunug.
Pohon nyiur tak berdaun itu telah tumbang.
Pantai itu memakan gambut sampai ke tiang.
Maka sebelum pulau ini tenggelam tak dikenang
izinkan aku terbang, mencari kerikil dan batu-batu
mencari bukit dan gunung-gunung.
Akan aku tanam di sini
mengelilingi pulau yang hampir mati.

Yogyakarta, Mei 2000



Surat Rindu

: Teringat Emak

Tungku besi sepanas  minyak, juga kepiting
terlentang di piring. Kita pelupa, garam
pelaut tertinggal di gambut.

Musim inikah? Sesama anak sungai bertarung
muara di teluk Belitung. Seindah waktu,
tak pandang lekang oleh hujan. Setabah batu,
tak pulang kandang oleh bandang.
Emak, rumah kita  masih di senja?

Surat rindu, balaslah. Sekehendak apa pun
batuk di dapur nasib, kita baca. Obatnya
Kelak pasti terasa, walau sembuhnya belum juga.

Yogyakarta, Januari 2001


Mari Mendoakan Hari

: Sarimah Nasroen

Keringat garammu, pupuk ladangku. Setua laut,
senyum bergelombang itu, kupahami di senjamu,
sejak jantanku, menyisir sungai di sisa cahaya
yang memutih di rambutmu. Bahwa sayapku
adalah pelepah muda, mimpi yang hijau,
memusuhi angin sebagai dingin yang salju.
“Jangan pergi, jika pohonmu bertunas dendam.”
Lalu setengah usia melunasi kata-kata
bukanlah janji, tapi gelepar lapar yang
menjadi-jadi. Maka pahamilah pagiku,
sebagai riang riak di wajah muara, sebelum
landas lepas mengukir kelok di samudera.
“Sebelum pergi, mari mendoakan hari.”

Sepanjang Sungai Siak, 2001



Dayung

Amis waktu dan hujan malam yang bergoyang,
menguap dari celah kopiahmu; lubang usia yang berdebu.
Ke sungai mana kau miringkan sampan yang telungkup di kepalamu?

Bersila, menghisap dongeng dalam lipatan tembakau, mulut kita
ditumbuhi duri cengkeh dan racun sepi. Rupanya kata-kata,
tak sesakti dulu, tak sanggup memanggil angin dan
mengusir hujan, tak mampu mengkhabarkan pasang-surut
pertempuran pantai dengan laut.

Maka lintingkan saja derau musim dalam daun jagung, biar terbakar
segala risau, segala yang pernah singgah. Siapa tahu, burung-burung
asap yang menggumpal ke langit, menggugurkan ayat-ayat di jantung
kampung, dan membangkitkan segala resah, segala yang pernah kalah.

Tapi, lelaki tua, hanya memainkan siul sumbang dalam sarung malam.
Memetik dedaun jambu muda dan hijau daun pepaya, sebagai ulam
bagi selera hidup yang kian padam. “Makan yang pahit-pahit,
supaya dijauhi penyakit” katamu, ketika tulang-rumpangmu
dijangkiti rematik.

Dan di atas pohon karet tumbang, kau dayung malam dengan mata
terpejam. Aku membaui bangkai pagi terapung dalam kolam.
Di sungai mana kau layarkan kopiahmu semalam?

Bengkalis-Yogyakarta, 2003



SURAT CINTA BERACUN

Surat Cinta Beracun

Bacalah kecemasan ini, ketika cintamu membiak
dalam kamar senja, sebelum matahari mengubur
bekas kecupan di bibir kotamu.

Kukirim selembar malam, sisa bangkai hari
yang menetes bersama keringat berkarat
agar racun rindu setia mengalir di liar napasmu.

Sepahit jarak melipat bisuku
gambut di telapak kaki memualkan ingatan
tentang kampung murung yang menggumpal
dalam baris-baris kalimat cintaku.
Ada tangis tua dan ringkik jembalang
menghitamkan perih sajak-sajakku
ketika pulau ini, mengisahkan kembali
gelombang pasang yang menenggelamkan
harapan-harapan tentang lagu angin baru
setelah sekian lama dihuni burung hantu.
Engkau harus tahu, ciuman selamat tinggal itu
adalah sakit hati yang membeku.

Dalam sepenggal surat beracun ini,
ada sebutir pasir dan setetes minyak pesisir
kukirmkan padamu sebagai isyarat rindu
pengganti sebuah peta tak berskala
agar tak kau tanyakan lagi tentang di mana
sepetak tanah yang menggemburkan mimpi.

Bengkalis, 2001



Prelude, Lipstik Cinta

Inilah ciuman pembuka
melengkapi cintaku yang lama kering
di antara tumpukan luka dan
bayangan gerimis yang manis.
Agustus bau amis, tapi erang Minotour
seperti elegi, rapsodia yang menari
di pualam sunyi. Dan tiba-tiba saja,
aku menjelma sebuah lukisan tua
yang berharap cemas pada dinding bisu
yang membekukan pasir-pasir waktu.
“Sungguh, cintaku hanya satu.”
Dan inilah kesederhanaan itu
serupa laut mengecup batu-batu
kulumat hidup di bibir merahmu. 

Cepu, 2001


Nocturno, Miranda 21

Begitulah senja
menyembunyikan matahari
di antara lekuk angin
yang bermain di ujung-ujung akasia.
Dan kita seperti sedang dilingkari
semburat merah, terpaut dan terbalut,
merahasiakan wajah bulan dari malam.
Sungguh, semalaman musim semi
di genggaman tangan telah kita usap
ke sekujur cinta
:Sepasang tubuh yang luluh.
Cepu-Yogyakarta, 2001


Memoar, Sebuah Taman

Menyayat kelopak sajak dari ranum gadismu,
sekeranjang bunga kulepas ke langit.
Ibarat burung muda belajar mengepak angin
satu-satu nafas mekar di pucuk-pucuk waktu.
Dan di sepanjang jalan taman, kutanami
benih peristiwa tanpa tragedi, tanpa
kesepakatan atas cemburu hari yang
mengiriskan kembali warna puisi
dan membahasaknnya tanpa hati.
Hanya kelu, kelak jika daun-daun jatuh
menutupi jejak kata-kata yang pernah
kita catat di bawah terompah kayu.
Dan tak lagi pernah kita lihat
sepasang kekasih mengayuhkan sayapnya
di atas bangku batu dan senja ungu.

Jatim-Yogyakarta, 2001


Prosesi di Ujung Jam

: Kasmila

Tak berkalang, katamu, retak tanah diinjak
ketika jarak dari musim ke musim hanya
sepetak kelak, cemas harapan yang tak beranjak.

Lalu, sebuah prosesi meriuhkan malam dalam
suara terompet yang bersabung di ujung jam,
dan waktu seketika menjadi raja yang disanjung
orang-orang di tikungan paling tajam, meniupkan
dendam atas kesakitan hidup yang merajam.
Bahkan hujan, yang menyerupai tangan Tuhan,
tak sanggup mendiamkan alam dari lolong kepayang
hingga tetes gerimis terakhir kehabisan garam.
“Bukankah pisau sepi lebih tajam
dari pedang perang yang berdentang?”

Seperti sehabis pertempuran, sisa kekalahan
terserak di jalan-jalan. Hanya angin
membangunkan waktu dan menidurkan
ribuan detik hitam di kamar persetubuhan.
“Seperti katamu, kita retak di sepetak harapan
yang tak beranjak dari musim yang terinjak.”

Yogyakarta, awal tahun 2002


Senyum Bulan Tua

Aku merindui senyum bulan tua
di bibir perempuan yang ibu.
Sebab malam selalu hitam,
warna misteri yang melabuhkan
pandangan ke dasar gelap.
Seperti juga meraba mimpi
dalam igauan anak-anak
tentang esok pagi yang berseri,
aku pun rindu hangatnya
sengatan waktu yang fajar.
Dan padamu cinta,
kujatuhkan pilihan hidup
tentang sepucuk cahaya
yang menyala di peta Tuhan.
:Segaris senyum yang ranum.
Ngawi-Yogyakarta, 2001


Histeria, Surat Malam

Mengenalmu dari lekuk isyarat malam
aku tenggelam dalam suara gaduh
anak-anak asing yang berebut puisi.
Di mana mesti kumakamkan lipatan
dunia lama, surat-surat kegagalan,
dan rahasia senja yang berlumut?
Usiaku, usiamu juga. Bagai stasiun
yang menunggu kereta, lalu merelakannya
membawa pergi kenangan-kenangan.
Di sini, kesetiaan hanyalah segelas kopi
yang kita reguk setiap pagi, pahitnya
menandakan lidah kita masih perawan.
Dan yang terbuang adalah sisa harapan
yang sengaja kita lupakan.
“Antara kau dan aku, siapakah kita?” 

Yogyakarta, 2001



Nocturno

Lalu padam. Peti mati inilah rumah kita.
Jagat yang legam, dan waktu tak bersisa.

Tapi belum juga sampai. Seperti malam
selalu memanjang di bathin kita.

Dengus nafasmu, juga degup jantungku,
kadang terasa kosong. Dan keperkasaan kita
adalah kemampauan menembus kekosongan
sampai ke sumsum waktu.

Sementara di ruang yang lain, setumpuk waktu
menunggu kita dengan teka-teki yang baru.

Yogyakarta, 2000


Solilokui

1.
Kemarau. Dan hujan adalah episode rindu.
Sebotol candu yang beku. Instrumentalia
daun-daun gugur. Gesekan terompah penantian.
“Kuingin tanganmu ada dalam genggamanku.”

2.
Tapi ini prosesi, tak terpermanai oleh ilusi.
Langkah kaki kita memanjati cabang-cabang lapuk
sebatang pohon tua dan hampir tumbang:
“Seberat apakah sesungguhnya,
tugu sejarah di pundak kita, sayang?”

3.
Mendung. Mestinya kemarau berselaput awan.
Dan gerimis saling menitikkan harapan-harapan.
Tapi kenapa angin menghalau benih-benih mimpi
di langit hati yang hitam, penuh ketakpastian?
“Mungkin itu bahasa Tuhan
untuk tidak mengatakan bosan.”

Yogyakarta, 2000




Narcissus

Wajahku di wajahmu. Fatamorgana yang retak.
Kekalutan ini, tanda cintaku yang berbiak.

Pandanglah aku. Senyummu pasti indah.
Seperti rekah bibirku yang pecah, penuh darah.
Dan inilah lukisan itu, kanvas lusuh dengan
ragam warna dari imaji. Ruang rahasia manusia
paling sunyi.

Tapi jangan sesekali kau buka,
sebab hanya akan membuatmu terluka.
Yogyakarta, 2000


Sebuah Taman di Kamarku

Kutemukan sebuah taman di kamarku
ketika perjalanan pagi dari pintu ke pintu
menguarkan sajak demi sajak, dan senyummu
yang kubawa di ruang rahasia, tiba-tiba
mendekapku dan meluruhkan kesunyian:
“Abang, subuh tadi Kasmila dan Khana
menanam bunga-bunga, dan menyiramnya
dengan mata air cinta dari syurga.”
Seketika mataku adalah panorama bianglala.
Semerbak firdaus dan aroma kasturi adalah
nafasku yang mengalir menjadi susu dan malaga.
Di pundakku sepasang kenari kuning bercinta
membuka album kenangan, melagukan romantisme
membangun masa lalu menjadi istana, dan telaga
berbinar-binar dipenuhi bintang, serupa lampu
merkuri malam ketika pesta bunga api yang
dirayakan para pujangga dengan syair-syair rindu,.
“Duh, tubuhku mencair dalam segelas embun!”

Yogyakarta, Desember 1999




Menggenggam Senja
 
Kugenggam senja
mendung tak terusik
dan tanah memucat
gigil karena genangan air,
“Hujan masih akan turun?”
 
Maaf, barangkali ini kesunyian
ketika dua waktu berjabat tangan
di celah jendela aku terjepit
lalu terdiam, sampai kelam
tak sempat beri salam
pada malam.
 
Tapi, lihatlah
cukup sekejap saja
ruas-ruas jemari tanganku
menjelma peta
yang pecah-pecah.
  Yogyakarta, 2000


Bau Uap Hujan

Kucium, uap hujan di bibirmu
dinginnya terasa seperti salju.
Semalam, genangan air itu kautahan
hingga memucat nyawa cintamu

Kini merapatlah, tungku perapian menantimu
panasnya akan mendekap segala peristiwa
menjadi narasi panjang bagi prosesi kembaramu
dan igauan tak bernama itu, susunlah
enjadi syair anak-anak musim yang
menunggu hujan sebagai teman bermain
melepaskan gundah pada waktu yang gaduh.

Ciumlah. Hujan gugur satu-satu.
Uapnya bau mesiu rindu.

Yogyakarta, 2000



Melodi Hujan Tiris

1.
“Selamat jalan” Dan nganga piluku
bersarang di wajah hari yang lesi,
tapi siapakah yang bermain musik
bersama gemericik air ketika sepi?

2.
Tiris: yang diam menyapa. Sunyi menjadi bunyi.
Tetesan air saling berdenting, mencumbu hening.
Memainkan tuts-tuts bianglala, puisi-puisi menari.
Tapi kemana angin membawa hujan pergi?

3.
Tak perlu lambaian tangan. Kepergian tak terbaca
adalah kepulangan tak terduga. Misteri yang nyata.
Sungguh, sesekali biarkanlah waktu menentukan pilihannya.

Yogyakarta, 2000

Grafitto Sajak Asing

1.
Mengasingkan angin dalam ruang tak berlubang
sepi tak berjarak. Nafaskukah?

2.
Terbujur. Bingkai foto penjara lampau.
Melesat baunya, membangkai.
Dan aku pun, membadak saja.

3.
Memalingkan muka sejenak
darah berdesir mendadak
: ngeri yang nyeri.

4.
Juga gerimis memberi salam
dengan kelembutan tak terbaca:
“Ketakutan adalah musuh utama cinta.”

5.
Berguru saja pada maya. Fatamorgana
bergelombang, cahaya seterik matahari:
“seperti dahaga, regukku tak kenal mabuk”

Yogyakarta, 2001


Pungguk Merindukan Bulan
Segadis engkau ranumnya kulayarkan
seperahu penuh bunga.
Rekah langit, birunya sebahagia
anak didodoi bunda.

Bismillah.
Sejumput angin kuhembuskan
dari sepuluh jari tangan
saksi seribu bintang gemintang
mengitari bulan.
Seperti alif, tegakku lurus ke Tuhan.

(Yang mana cinta, cinta yang mana.
Syahwat mengejang dalam siapa?)

Secarik tinta lalu kukhabarkan.
Angin membawa burung angin
ke awan-awan, ke hutan-hutan.
Setelah jauh, waktu menutup pandang.
Dan aku, si pungguk merindukan bulan.
  Yogyakarta, Januari 2001

 

Bayangan – Kolase – Batu

:teringat titin

Bayangan: Jantan penyairku menangkap
kata-kata betinamu, bahayakah?
Berkelebat waktu, lalu menipuku.

Kolase: Ludah segantang di garangmu.
kusirami embun, setiap pagut-pelukku
Dan lalu, waktu menamparku.

Batu: Seranjang kupinta mawar.
Daun tumbuh di badan ilalang.
Memasung bayangan, setelah putus-putus
rantai di kubangan. Maka lalu,
aku menipu dan menampar waktu.

Yogyakarta, 2001



Melankholia

Lalu sempurnalah gulita
batas cahaya sepi yang padam.
Dan kita tersudut di tikungan
sebuah kota sederhana
tanpa kaki bulan.
Sementara di ketinggian
burung-burung menyalami malam
menyelimuti hidup dengan sayapnya
tanpa curiga pada pijar cahaya
tanpa sangsi tentang esok pagi.
Atau, sepertinya kita pernah
meninggalkan cinta dengan sia-sia?

Yogyakarta, 2001


Mabuk Rindu

Disebabkan warna malam
merambati usia di rambutmu
lampu-lampu menyembunyikan
mabuk rindu masa lalu.
Gigil puisi, pun gemetar mimpi
memanas di lingkar kosong matamu.
“Siapa yang berbisik di luar jendela?”
Hanya gerimis dan dengkur anak-anak
yang menidurkan sisa kebahagiaan.
Tapi jejak tiris itu, menjelma lolongan
anjing yang asing, dan melahirkan
beribu kelelawar hutan yang menerabas
dinding-dinding keangkuhan waktu
dan membangun sangsi yang baru.
“Ah, mabukku semakin hitam saja.”

Yogyakarta, 2001


Mencium Pucat Nafasmu

Kupungut sisa nafasmu
yang memucat di bibirku.
Sengalnya terasa seperti deru kerata
yang kian menjauh, menyeret ngilu.
Dan setumpuk ciuman itu
yang dihimpit bangkai musim
menyemburkan warna hangus
ke sekeliling ruang percintaan.
; saksi hidup yang dibisukan.
Dan untuk ke sekian hisapan usia
yang tersangkut di patahan jiwa
kita catat kembali sebagai kata-kata
tanpa luka dan tanpa makna.
Serupa coretan dinding di tembok kota
meranggas dihisap cuaca.

Yogyakarta, 2001


Memoriam

Begitulah kenangan menggenang
seperti dingin angin tengah malam.
Sepucuk cinta tak beralamat itu
telah merakit peristiwa yang lain.
Jauh sebelum sebaris rindu
diterbangkan ke negeri tanpa matahari.
Aku atau engkau, hanya bisa termangu
menunggu butiran embun dini hari
menitikkan ribuan benih mimpi
pada selembar kecemasan yang lesi.
Dan percayalah,
ketika masa lalu semakin menua
kita pun bangkit dengan hati mendua.

Yogyakarta, 2001



Juni Ketiga

Juni ketiga, mengukuhkan pertemuan
dan mengemasi sisa percakapan.
Almanak di dada membekukan
angka-angka dari bisik cuaca
yang meregang di pori-pori cinta.
Ada yang tumbuh, di antara yang jatuh.
Sekian mil dari kerinduan
hujan telah lama tak bersuara.
Bahkan napas asing kita telah
menjelma butir air tanpa telaga.
Mungkin, air mata semalam dibawa
awan-awan ke laut yang lain,
sebuah samudera bernama memorabilia.
Entah, jika runtuhan sajak itu yang
kuselipkan di jantungmu dulu telah
bercampur kerikil tahun dan abad batu
hingga memberati langkah waktumu.
“Lalu, Juni ketiga kita labuhkan di mana?”

Yogyakarta, 2001

Biografi:


MARHALIM ZAINI, lahir di Teluk Pambang Bengkalis Riau, 15 Januari 1976. Anak kedua dari empat bersaudara pasangan Zaini Safar dan Sarimah Nasroen ini, menamatkan SLTP dan MAN (1) di Pekanbaru. Sempat kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang (tidak selesai), dan tahun 1997 sempat mengasuh tabloid Shoutul Jami’ah di kampus tersebut. Tahun 1998, ia hijrah ke Yogyakarta, dan sekarang masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, wakil pimpinan redaksi tabloid Taferil ISI Yogyakarta (2000-2002), dan menduduki Pemimpin Redaksi Jurnal Teater Stambul ISI Yogyakarta (2003).
Menggeluti dunia sastra (terutama puisi) sejak di Pekanbaru, dan mempublikasikannya ke berbagai media massa. Di antaranya: Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo (Jakarta), Riau Pos, Riau Mandiri, Majalah Berdaulat, Majalah Sagang, Majalah Tepak (Riau), Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Tabloid Fajar (Padang), Yogya Pos, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Gelanggang Rakyat, Majalah Bakti, Majalah Kuntum, Koran Malioboro (Yogyakarta), Solopos, Pos Kita (Solo), Suara Merdeka (Semarang), Surabaya Post, Mimbar (Surabaya), Lampung Post, Bali Post, dan lain-lain.
Tahun 1999, puisinya Madah Seorang Bocah mendapat penghargaan dari Rektor ISI Yogyakarta dan DPD BSMI DIY. Tahun 2001, puisinya berjudul Rel Santo Thomas dan Jembatan Mati Itu, Otto, Memenangkan Lomba Cipta Puisi Perguruan Tinggi se-DIY, dan di tahun yang sama puisinya Bersiul di Perkampungan Bangkai memenangkan Lomba Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau. Tahun 2002, Puisinya Segantang Bintang, Sepasang Bulan meraih Juara I Lomba Cipta Puisi Sagang 2002, sajaknya berjudul Gumam Teluk Mambang (3) juara II Sayembara Cipta Puisi Dewan Kesenian Riau 2002, Cerpennya Malam Lebaran di Pelabuhan juara II Sayembara Cipta Sastra DKR 2002, Cerpennya Kopi Senja di Negeri Siti juara I Sayembara Menulis Sastra “Hadiah Tepak” tahun 2003, serta beberapa penghargaan lainnya.
Puisi-puisinya dapat ditemukan dalam antologi: Batarak (UKM Teater IB Padang, 2000), Embun Tajalli (FKY XII, Yayasan Aksara, 2000), Anugerah Sagang 2000 (Yayasan Sagang Riau Pos, 2000), Filantropi (FKY XIII, Yayasan Aksara, 2001), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002), Dian Sastro for President (AKY, Bentang, 2002). Dan menjadi penyunting buku puisi Takdir Terlalu Dini karya Nurel Javissyarqi (FKKH Yogyakarta, 2001). Buku antologi puisi tunggalnya yang pertama adalah Segantang Bintang, Sepasang Bulan (Yayasan Pusaka Riau, 2003) dan buku kumpulan naskah dramanya berjudul Di Bawah Payung Tragedi (AKMR Press, 2003). Buku kumpulan puisi Langam Negeri Puisi ini merupakan Antologinya yang kedua.
Sejak tahun 1995, dunia teater menjadi media ekspresinya yang lain. Rajin menulis Naskah Lakon dan Menyutradarinya. Di Pekanbaru sempat bergabung dengan Sanggar Putri Tujuh, di Padang bergabung dengan Teater Nadi Martir, dan diundang pada Pertemuan Sastrawan Nusantara/Pertemuan Sastrawan Indonesia IX di INS Kayutanam Sumatera Barat. Beberapa naskah lakonnya: Puisi Cinta dalam Kardus, Orang-orang Asing, Jamban Keramat, Tikungan, Oase, Solitude, Mata Sunyi, Tragedi Hang Tuah, dll. Lebih dari 20 naskah lakon pernah dipentaskan.
Sekarang aktif di sanggar Teater ESKA Yogyakarta, Ketua Devisi Pendidikan Komunitas Rumahlebah Yogyakarta, dan Ketua/Sutradara Teater Batukuala Yogyakarta. Ketua Umum Rumahseroja (Rumpun Mahasiswa Seni Riau Yogyakarta). E-mail: aliem_zein@yahoo.com.
No HP. 0815-7909655.



































Komentar-komentar (untuk sampul belakang):
           
“Kita bisa mengakrabi peristiwa yang dibangun Marhalim, karena antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain terjadi dalam suatu suasana sejajar, sehingga dengan demikian kita dapat menikmati sajak penyair ini dengan pengertian yang begitu tegas. Simbol yang digunakannya tidak berlompatan jungkir balik, sehingga imej yang muncul dari sajak-sajaknya terkesan sebagai suatu kreasi dengan ukuran-ukuran pasti”
(Taufik Ikram Jamil, Kompas, Sabtu, 22 Februari 2003)

 “Kecerdikan lain penyair ini dalam mempermainkan latar dengan memanfaatkan pencitraan gerak (kinaesthethics imagery) untuk menggelar berbagai pemandangan ironik di hadapan mata kita, senyampang juga melekatkan berbagai paradoks pada alat-alat panca indra kita, sehingga skeptisisme penyair terhadap dunia yang gelap dan menyedihkan terasa menggigit  dan berkelojotan dengan lincah dalam bahasa puisi.”
(Drs. Chairul Anwar, M.Hum, Majalah Budaya Tepak, Terbitan Kelima 2003)

“Memang, kefasihan Marhalim membangun irama bak dendang atau pun pantun, menjadi kelebihan tersendiri dalam melahirkan sajak-sajak yang enak dinikmati. “Roh” (bahasa) Melayu hadir di situ, menjadi “waktu yang bangkit dari kuburan pulau-pulau”.”
            (Raudal Tanjung Banua, Majalah Budaya Sagang, 2003)

“Marhalim, seperti terlihat dalam sejumlah kolofon, beberapa kali mengunjungi kampungnya dan mendapati adanya pergerakan yang tengah terjadi…. Marhalim memilih diksi-diksi eksotisme dan romantisme Melayu….Marhalim juga terlihat berusaha mengaitkan dirinya pada sebuah usaha perenungan khas rasa para pejalan sunyi, berteman dengan diri dan Tuhan.”
(Sudarmoko, Riau Pos, Minggu, 03 Agustus 2003)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar