Kolom Indopos, 22 Feb 2014
Seni Bahasa
Oleh Marhalim
Zaini
KETIKA seorang ahli linguistik macam
Roman Jakobson bertanya “what makes a
verbal massage a work of art?” maka inilah salah satu momentum: peneguhan
posisi puisi dalam bahasa. Benar, Jakobson memang sedang bicara ihwal puitika sebagai salah satu fungsi
bahasa, selain yang lima: fungsi referensial, fungsi emotif, fungsi konatif,
fungsi fatis, dan fungsi metalingual. Akan tetapi, saya kira, bagi orang sastra—para
kritikus puisi khususnya—teori
struktural-fungsional Jakobson ini tak gampang diabaikan sebagai cara
yang “ampuh” untuk menemukan ciri-ciri utama, pun struktur “tak biasa” dalam
seni bahasa (verbal art), yang bentuk
representasinya adalah puisi.
Struktur yang rumit dan kompleks dalam
puisi, kerap membuat pembaca puisi awam, mengalami kesulitan untuk memaknainya.
Sejak lama, ini jadi problem klasik. Mulai dari tingkat pendidikan paling
rendah di sekolah sampai paling tinggi di bangku kuliah, puisi kerap marjinal.
Daripada memilih puisi sebagai objek kajian sebuah penelitian, lebih baik
memilih genre prosa. Maka, tak banyak
kita baca, puisi dikaji dalam skripsi-tesis-desertasi, dibanding prosa. Saya
tak tau, entah karena malas berumit-rumit, atau karena memang puisi dianggap
sebagai karya sastra yang tak menarik untuk dikaji.
Puisi, dengan bahasa simbolik yang
multi-dimensional itu, ketika dihadap-hadapkan dengan bahasa sehari-hari yang
referensial, yang mono-dimensional, memang tampak seperti saling memunggung. Sehingga
banyak orang merasa “asing” dengan puisi. Seolah, puisi itu bukan bagian dan
terpisah dari “bahasa.” Akan tetapi, oleh Jakobson, misalnya lewat teori
puitika linguistiknya (dalam Linguistics
and Poetics, 1960), keduanya saling terkait secara integral. Bahkan,
melalui berbagai kajian tentang seni-bahasa, ia menyimpulkan: puitika adalah
hakikat bahasa. Ia bilang, “poetics may
be regarded as an integral part of linguistics.” Memang, dia tidak sedang
mengatakan “puitika” itu adalah “puisi.” Tetapi, melalui teori puitika (dengan
definisi yang luas) inilah struktur puisi (yang kompleks itu) dapat
ditelanjangi.
Meski, banyak orang kemudian, para
penganut post-struktural terutama, tidak puas dengan Jakobson. Tafsir tekstual ala strukturalisme semacam ini, baru
mengupas kulit, belum isi. Sebagaimana juga “penolakan” terhadap teori penanda
(siginifier) dan petanda (signified) milik Saussure, bahwa tak selamanya antara bentuk dan makna itu bersifat
linier, lurus, jelas. Puisi, yang multi-interpretable
itu, tak bisa selesai dan berhenti hanya pada pembongkaran tanda lapis pertama
(the first-order sign system). Tanpa
mengungkai lebih lanjut tanda pada lapis kedua (the second-order sign system), puisi masih diselimuti oleh
teka-teki. Jika berhenti pada makna-makna denotatif yang ditemukan pada tanda
lapis pertama, justru akan membuat puisi
“miskin” makna.
Bagi saya, keduanya penting. Sama-sama
berupaya, menyingkap yang tersembunyi dalam puisi, dalam seni-bahasa. Bahkan,
kalau boleh jujur, arah kajian puisi kita yang belakangan lebih banyak memakai
teori resepsi, dan seolah abai pada struktural, membuat kerumitan struktur
bahasa dalam puisi kerap tak terurai dengan tuntas. Semua orang, boleh menjadi
penafsir puisi, dengan bekal apresiasi dan pengalamannya masing-masing.
Orang-orang, bahkan cenderung semata mengejar apa “makna” dalam sebuah puisi,
tapi abai pada seni-bahasa, pada kekuatan kata-kata yang membuat puisi menjadi
tak sekedar jadi corong pesan. Sampai-sampai, kadang, sebagian penyairnya pun,
demikian mengagungkan pesan, dan tak secara gigih menemukan struktur “bahasa”
puisi yang kokoh.
Maka,
saya kira, warisan teori Jakobson yang cukup penting bagi kita, para pencipta
puisi, para pembaca puisi, para pekerja seni-bahasa, adalah the principle of equivalence (prinsip
keseimbangan). Sebuah prinsip, yang dapat membuat stuktur sebuah puisi menjadi
salah satu tiang penyangga bagi kokohnya “kualitas sastra” (literariness), selain kekuatan makna.
Metafora-metafora yang tersembunyi dalam puisi, dengan keseimbangan struktur
itu, akan dikemas dalam sintaksis, semantis, dan fonologis, yang penuh
pertimbangan. Dan, di situlah, seni-bahasa bekerja.***
Masa Depan Puisi
Oleh Marhalim
Zaini
BEBERAPA
hari yang lalu, dalam sebuah percakapan di telpon, seorang kawan, penyair,
bilang pada saya begini, “ke mana masa depan penyair kita hari ini?” Kalimat
pertanyaan itu, rupanya ia sitir dari seorang kritikus. Sang kritikus itu,
katanya, sedang mengkhawatirkan perkembangan perpuisian kita mutakhir. Banyak
generasi baru penyair (masih muda-muda) bermunculan, di media, sekilas mungkin
menggembirakan. Tapi, menurut kritikus itu, karya-karya mereka tampak tanpa pondasi,
begitu bebas menulis “puisi bebas.” Ia menganalogikan, mereka itu seperti
seseorang yang bebas tanpa pernah merasakan dipenjara.
Saya
menangkap, apa yang dimaksud “pondasi” di situ, agaknya terkait dengan
“identitas kultural,” terkait dengan “kampung asal” tempat berpijak. Maka,
agaknya juga, kemudian membawa ingatan kita pada tulisan Abdul Hadi WM,
“Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber” (1998). Atau, soal kesadaran untuk kembali
kepada apa yang disebut sebagai “puitika Timur.” Jika benar tangkapan saya itu,
maka kekhawatiran kritikus kita itu boleh jadi ada benarnya. Tetapi juga, di
lain pihak, tentu patut kita telisik lebih jauh kebenarannya.
Sebab,
di zaman yang sekat-sekat ruangnya sudah keropos, melihat ke dalam dan melihat
ke luar, adalah seperti melihat diri kita yang semu. Semua seolah berbaur.
Tumpang tindih. Kekhawatiran kita soal “kampung asal” adalah kekhawatiran yang
kadang dinilai berlebihan, sebab yang lokal telah jadi global, yang global
masuk ke dalam kamar mandi kita juga. Asal-usul, asli-palsu, jadi lucu
dibincangkan. Para penyair generasi terkini, lahir dari rumah-rumah yang
sekat-sekat ruangnya keropos semacam itu. Maka puisi-puisi mereka, agaknya,
adalah mi instan, yang enak untuk sarapan pagi, juga oke untuk dimakan petang
hari saat hujan, atau malam hari saat bergadang.
Tapi,
karena sifatnya yang instan, ia tak bisa terbiar terlalu lama, harus segera
dimakan, kalau tak, akan mengembang, lalu tak karuan bentuk dan rasanya. Saya,
tidak sedang menghakimi puisi-puisi generasi baru penyair kita itu, sebagai mi
instan yang terbiar. Tapi hendak menegaskan bahwa, karena memang sifatnya
begitu, maka kita harus menikmati puisi-puisi itu dengan bergegas, sebelum
datang puisi-puisi yang lain dengan merk lain, dengan rasa ayam bawang, ayam
panggang, rasa daging, cabe ijo, rasa sate, bahkan rasa rendang. Itu semua,
lidah Indonesia. Dan itu juga, cara lain menikmati “identitas kultural” yang
Nusantara itu.
Namun,
bagi yang memandang bahwa pondasi sebagai persoalan mendasar, di dunia gegas
dan instan yang semacam itu, maka “berpuisi” adalah proses menegakkan
tonggak-tonggak kepenyairan. Saya kadang cemburu, kenapa misalnya, lidah kita
tak bisa juga untuk tidak menyebut nama-nama penyair masa lalu (yang tak
usahlah saya sebut lagi di sini), baik yang sudah tiada, maupun yang masih
bertenaga menghasilkan karya. Mereka, para penyair itu, seolah menjelma sebuah
“lembaga” yang kalau tak disebut, tak sah sebuah maklumat. Kenapa bisa seperti
itu? Karena, hemat saya, mereka telah jadi tonggak. Tonggak, yang tentu saja,
berdiri di atas pondasi yang tidak rumpang. Tonggak-tonggak perpuisian
Indonesia.
Maka,
bisakah masa depan puisi Indonesia dibangun di atas zaman yang bergegas dan
serba instan ini? Kalau bisa, masa depan dengan pondasi dan tonggak macam apakah
yang mesti dibangun? Saya tidak tahu. Yang pasti, masa depan puisi Indonesia,
adalah tempat tinggal masa lalu dan masa kini. Ia terus bercakap-cakap,
bertukar tangkap gagasan, bisa saling memeluk sekaligus rela untuk melepas.
Tetapi, ia bukanlah masa lalu, dan tidak seperti masa lalu. Meskipun ia bukan
tanpa masa lalu. Jadi mari kita temukan, di mana dan macam apa masa depan
itu....**
Indopos, 19 Oktober 2013
Indopos, 19 Oktober 2013
Kekuasaan Puisi,
Kekuasaan Media
Oleh Marhalim
Zaini
PUISI dan media massa (koran khususnya)
kerap dianggap memiliki hubungan yang absurd. Hubungan yang paradoks. Atau,
bisa juga disebut hubungan gelap. Bagaimana tidak, puisi yang tak populer itu
(bahkan dibanding dengan genre prosa, sesama sastra), yang tak banyak digemari
(dibaca) orang itu, masuk dalam koran yang diproduksi untuk publik yang massif.
Puisi, yang fiksi itu, terselip di antara lembar-lembar data-fakta koran.
Puisi, yang berkomunikasi dengan bahasa yang tidak biasa itu, disandingkan
dengan koran yang harus berkabar dengan bahasa yang terang, jelas, dan
informatif. Puisi, yang meminta dibaca secara pelan-pelan, dan koran yang
dituntut untuk padat, cepat, dan bergegas.
Tapi, anehnya, “hubungan gelap” itu
terus saja terjadi. Sejak lama. Sejak zamannya HB Jassin, bahkan mungkin
sebelumnya. Di tahun 1993, Sapardi Djoko Damono pernah menulis begini, “sastra
modern kita memang dilahirkan oleh koran dan majalah, di akhir abad lalu. Dan
sampai tahun ini, entah sampai kapan nanti, ia ditimang dan dibesarkan koran.”
Saya tak tahu persis apa sebab
kelanggengan hubungan itu. Saling membutuhkankah mereka? Koran butuh puisi,
atau puisi yang butuh koran? Saya kira, koran “yang egois” pasti akan bilang
bahwa, “aku tidak butuh puisi, karena puisi tidak menjual.” Koran macam inilah,
yang kemudian oleh Jassin disebut “koran barbar.” Lalu, puisi “yang egois” juga
akan berteriak dari pertapaannya, “puisi tidak butuh koran yang berisi sampah kata-kata.”
Saya tidak tahu, mungkin saja puisi yang semacam ini akan disebut dengan “puisi
yang sok suci.”
Tapi nampaknya, koran dan puisi,
sama-sama menyadari bahwa dalam keberbedaan itulah, justru mereka (seolah
merasa) saling membutuhkan—meskipun tetap ada koran dan puisi yang egois.
Koran, supaya tidak dianggap barbar (tak berbudaya), maka disediakanlah ruang
untuk puisi (sastra/budaya)—meski kadang masih dengan setengah hati (selain
tampak pada space yang sempit, juga
honornya yang kecil). Puisi, dengan penuh percaya diri, penuh ketegaran, hadir
(seolah) sebagai oase.
Maka, yang terjadi kemudian memang
saling mempengaruhi—terlepas besar atau kecilnya keterpengaruhan itu. Misalnya
muncul istilah “jurnalisme sastra.” Berita yang datar dan kaku, bisa elastis
dan dapat “menyentuh” pembaca melalui sastra. Lalu, begitu pun sebaliknya.
Diam-diam, rupanya puisi juga dipengaruhi oleh koran. Puisi-puisi yang dimuat
di koran, (seolah) mau tidak mau, harus “menyesuaikan dirinya” dengan
“ideologi” koran tersebut. Saya kok
tidak yakin, kini ada koran yang mau memuat puisi-puisi “mantera” macam
Sutardji dulu. Saya juga tidak yakin, kalau puisi-puisi kritik sosial macam
Wiji Thukul dapat dimuat koran hari ini. Tentu, terlepas apakah kita hari ini
memang sedang tidak enjoy menulis model
puisi yang semacam itu.
Agaknya, menarik juga kalau melihat
“keterpengaruhan” itu dari teori kekuasaannya Michel Foucault. Saya meyakini,
apa yang disebut sebagai “wacana” itu tidak hanya dibawa oleh berita di koran,
tetapi juga dimiliki oleh puisi. Dengan begitu, keduanya (koran dan puisi)
sama-sama memiliki “kekuasaannya” masing-masing. Kekuasaan sebagai strategi untuk saling memainkan peran
dan fungsinya masing-masing. Saya melihat, keterpengaruhan itu, sesungguhnya tidak
bersifat represif, sebagaimana konsep Marx ihwal kekuasaan, ihwal dominasi
kelas. Juga, tidak hegemonik, seperti Gramsci.
Mungkin saja memang kadang koran tampak menghegemoni,
dan dengan begitu terkesan represif terhadap puisi. Itu semata, disebabkan oleh
secara kuantitas space berita selain
puisi, memang lebih banyak. Akan tetapi, kehadiran ruang puisi yang tidak
banyak itu, justru membuat puisi menjelma jadi semacam oase, semacam titik
cahaya di rimba gelap realitas peristiwa. Maka daya tawar puisi, menjadi tak
dapat diabaikan di situ. Apalagi, ditambah pembenarannya dengan stigma Jassin
di atas; setengah halaman puisi (sastra/budaya) sudah cukup menghapus cap
barbar sebuah koran.
Maka, dalam konteks ini saya merasa
Foucault benar. Sebab apa yang sedang terjadi adalah, koran dan puisi sedang
mengoperasikan kekuasaannya masing-masing, melalui mekanisme-mekanisme
pengetahuannya masing-masing. Koran dan puisi sama-sama sedang membangun relasi
sosialnya, dengan strategi masing-masing. Boleh jadi kemudian memang saling
mempengaruhi, karena relasi itu. Tetapi tidak saling mendominasi, apalagi
menghegemoni. Dan, hemat saya, inilah sebab kenapa “hubungan gelap” itu masih
terus langgeng sampai sekarang. Kian tampak mesralah ia, kalau ada koran macam Indopos dan Riau Pos, misalnya, yang berani menyediakan satu halaman penuh
untuk puisi...***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar