Akulah Penyamun Sirih Besar
: episode engku puteri
1.
(jampi sirih
merah serapah
ia sepah ke
tanah ulayah
ini marwah
ini kopiah
ayo
berjogetlah!)
syahdan
kau tergayut
di dahan hutan
aku menikam
bulan dalam badan
ini malam
kita bersemandian
anak bujang anak
perawan
tak takut
disebat rotan
andai dalam
rimba
pecah
tempurung sekampung
santannya
untuk siapa
dikau
mengeram saja
daku
pejamkan mata
orangtua
merah muka
mengajilah,
nak, mengajilah!
alif-ya-wau
mengeja
rajah langit
di punggung
sangit
orang-orang
pulau
bagai
setampun pasir
mengalir ke
hilir
ke ujung
dayung
riwayat
sebulir air
pahamkah ia
lidah kita
buta kata
kaku kayu
disekat suku
terkutukkah
kita
jikalau
maung melayu
di sarungku
di kerudungmu
tak terbaca
hantu waktu
jadi gelang
tak berlengan
jadi cincin
tak berjari
2.
(jampi di
tanah merah
jadi arwah
ulayah
bismillah,
puah!)
malam jumat
keramat
tongkang
john bull merapat
suara
tetawak bertinggam
memekak
berdentum-dentam
kau dengar,
puan
yang tumpah
dari lepuh
adalah getah
peluh
yang
disumpah dari keluh
adalah
dayung dan sauh
assalamualaikum
raja jakfar
apa kabar
tuan farquhar
akulah
penyamun sirih besar
tamu yang
bertandang itu
menjeling
regalia di matamu
emas logam
atau batu-batu
saling
memukat cemburu
aku lalu
melipat traktat
menolak
takluk pada adat
pada riwayat
surat-surat
eloknya tak
di tangga
berjenjang
naik ke belanda
hingga tak
kena pukau
dikau riau
budak galau
maka kau tak
kupuja
atau usir
saja ke melaka
jadi opsir
bendera tua
berjanjilah
untuk tak merompak
berjanjilah
untuk tak memperbudak
lima puluh
ribu ringgit spanyol, puan
harga masa
lalu harga kopiah tengku
memilih
sekutu atau memecah kufu
adalah tuah
badan orang hulu
tak berumah
di tanah
di air pun
jadi
tak di laut
terhanyut
jadi angin
dalam diri
3.
(wahai, di
mana marwah kopiah
aduhai, di
mana ludah disepah!)
aku dan
puisiku
adalah
tukang samun
segala golek
gelantang
di laman dan
di ladang
habis
dikebat diregang
jadi manikam
kata-kata
jadi
ayat-ayat mantera
maka sebagai
sungai jantan
ia berkayuh
ke gelombang
tak bermalu
berdiam di tepian
kau dan
tubuhmu
adalah
bandar bangsawan
segala
pedang berhulu panjang
berperang
berebut perawan
di tiang
kerajaan
di liang
kematian
maka sebagai
janda sultan
kau berenang
ke pulau biram
tak bermalu
berdiam di peraduan
alangkah
cuai
bertikai
tentang mahligai
tentang
hujan renyai
yang lesap
bersepai
di gaung
malam
di ujung jam
di setiap
tikam
di ruam
ranjang
adalah demam
bulan naik
ke kemuncak
bumbung
tegak alif
di selembayung
bagai tak di
bumi kau berayun
bagai tak di
sepi aku bergulung
siapakah kita
di antara mereka
hamba
ataukah paduka raja
tak
bersenjata tak bertakhta
dibuang jauh
bagai perdurhaka
maka
bismillah, puah!
jadilah
cinta tanpa sejarah
maka
bismillah, puah!
jadilah
sejarah tanpa cinta
4.
(tanah siapa
tak berkopiah, tuan
tanahku merah
tak bermarwah, puan)
dan
terbakarlah istana
jerebu
terbang ke batavia
nan terpisah
dilambai jua
nun di
tanjung jejak dilupa
di sebalik
payung pusaka
kau aku
mengungkai cahaya
sisa sebuah
pagi pucat lesi
yang
terantuk patah di hati
di tungkai
kaki sebuah hari
duh, di
rumpun pandan itu
orang
singapura bawa alu
ia cemburu
kita bercumbu
tak pakai
celana baju kubu
duh, di
rimbun semak itu
orang
inggris bawa peluru
ia cemburu
kita memburu
tak pakai
mesiu masa lalu
sebab telah
tersengat jantung
oleh madu
kelopak mendung
di rahim
hujan dan beliung
rawa
gemburmu mengandung
kini
bersiaplah kuntum jadi
berjalin
bersusun anak api
meriap
menjalar akar gelar
ke batang
kekar dahan besar
ke rambut
hijau hutan ular
dikau mabuk
bermandi daun
daku menari
tingkahi pantun
sambutlah
segantang asap ini
secupak
syair perang johor ini
anak-anak
arang akan terbang
dari putih
pedih mata kumbang
hinggap di
pucuk batang sialang
jadi mambang
jadi jembalang
maka inilah
saat untuk tersesat
melesak ke
hatimu ke lukahmu
menjala
telur ikan puakamu
mencecap
asam asin peluhmu
benih negeri
hikayat baru
hikayat
negeri batu-batu
5.
(berjogetlah
di tanah merah ulayah
berjogetlah
seolah sepahmu bermarwah)
sesampainya
di laman
bermain
india dan
cina pula
ngajak kawin
di daun
tingkap
kebayamu
tersingkap
bau lepat
pulut bersantan
pun meruap
siapa yang
tak mencium
pedasnya
rempah
lidahmu tak
dapat kulum
sedapnya
tuah
laut tak
tidur
saat kau
menyisir pasir
aku jadi
angin
di debur
yang mendesir
maka
berdiamlah
di lipatan
kitab tuan haji
pada sesobek
halaman
yang tak
berkanji
kita bersua
di sana
pada pangkal
ruas ayat
antara
tuan-tuan terhormat
yang
nyelinap dalam gelap
dalam lesung
kayu
orang
kampung
dalam
setangkup nyiru
orang
tanjung
wahai, aku
ini penyamun
mereka itu
lanun
di ujung
daun sirih besar
kami saling
menyugi damar
maka jangan
padamkan
api nyanyi
panjang
yang
menjerang perang
di atas
tumang
sebab tak
satu dua
musuh
terpiuh jatuh
tak pula
satu dua
lawan
ditawan pedang
sebab ini
bukan
darah sultan
tapi ini
antan
dari tuhan
mengajilah,
nak, mengajilah
berjogetlah,
mak, berjogetlah
dan kita
bertepuk tangan
seperti
menepuk kompang
menepuk
bagai tak di bunyi
akhir dari
sunyi
bagai tak
berpada-pada
bertingkah
tak berhingga
birahi
mengucap alif-ba-ta
mula dari
segala kata
wahai, aku
ini penyamun
mereka itu
lanun
di ujung
daun sirih besar
kami saling
menyugi damar
maka di
petang megang
di lubang
ladang
tumbuk
tampilah diri
tumbuk
jampilah janji
kita mencari
matahari
di puncak
bukit betina
di tengah
kota tegak takhta
biar mereka
pandang serong
ke muka jua
tunjuk kan tiba
andai tak
sampai ke tamat
hikayat tak
selamat ke barat
ke setampun
garis tangan
retak jiwa
ditampungkan jua
bahwa
sepahmu merah nyala
bismillah
disemah ke tanah
tak jua
dapat kaudekap
nubuat
gendang nobat
sebab ini
kitab
tak bertubuh
tak berumah
tak bertanah
assalamualaikum
raja jakfar
apa kabar
tuan farquhar
akulah
penyamun sirih besar
kampung
asap, 2008
Puisi
Marhalim Zaini
birahi gunung
(1)
dari
debu,
kau menulis di daun-daun
tentang duka tanah
di
malam ketigabelas
yang gemetar
ada gigil,
bukan
oleh gugur hujan, dan
dingin
musim, tapi anak-anak api
yang mendidih
dalam tubuhmu
aku birahi, bisikmu
tapi
sepi tumbuh dalam
daging
orang-orang, seperti bau belerang
yang
meruap di atas ranjang
ah,
seperti ada yang terpanggang
aku
pernah mendengar mereka mengerang
tepat
saat badai datang
tapi
yang berpagutan
dalam remang
adalah
sepasang kematian
yang gamang
apakah kau
kekasih tuhan,
tanyaku
yang
berdentum itu, malah berdiam,
tak menjawab tentang waktu
yang kerap tak dapat diduga
kerap tak dapat dipercaya
tapi,
wahai,
bukankah senggama
adalah riwayat bencana?
maka
kekasih mungkin jawaban
dan
tuhan, adalah tujuan
(2)
kau
lihat, orang-orang berlarian
menjauh dari puncak, menjauh
dari rumah, dari tanah
yang melahirkan mereka
apakah kau tersenyum?
makna kelahiran, katamu
seperti benih-benih puisi
yang panas dalam rahim
kata-kata
dan yang gugur itu,
asap debu dari ampas
mimpi-mimpi mereka
ia
mengejar, kadang mengaum,
mengucap ayat-ayat hutan
di sepanjang lereng
sepanjang itu pula, garis nasib
bercecabang, pernah mereka
tulis, di cadas
tempat kaki-kaki pendaki
menjejakkan birahi
ya,
birahi yang itu juga
yang kelak tak berupa
yang tak sempat diberi nama
(3)
tapi
terus saja, kami mendaki,
salah tubuhmu menyimpan api,
salah puncakmu melambai abadi
hingga ke lekuk, ke ceruk,
segala yang ranum
dari mekar,
dicecap,
diserap,
sampai ke sumsum
paling dasar
sementara kau terus saja berbisik,
aku birahi, aku birahi
kau
terus saja menulis gigil itu
di daun-daun kering
daun-daun mati
pada malam ke seratus
yang gemetar
dini
hari, kau lihat,
anak-anak api itu mengaji
ihwal
alif yang bengkok
tak
lagi segak
mendongak ke langit
sebab
gumpalan asap purba itu
memedihkan
mata
matahari
memedihkan
mata
matahati
siapa yang tahan pada pedih,
rasa sedih yang kian didih
tapi
demikianlah birahi,
yang mendaki ke puncak
tubuhmu
tak habis-habis mengucap
debu
lalu
siapakah yang mengerang itu,
di
surau,
pada
maghrib yang sembab
oleh
ratap batu-batu
dengarkah
kau, wahai
dari
mana datangnya
gemuruh
mantera-mantera
merapal muasal duka
muasal airmata?
dan
kaukah itu,
bagai
tiang tonggak
terpasak
ke bumi
tegak
menenggak lahar api
sambil
berteriak:
akulah
juru kunci
yang birahi!
Kaliurang-Pekanbaru, 2010-2012
Sajak Marhalim
Zaini
Di
Daun Tingkap
Yang
Patah Sebelah
Dari
lorong tubuhnya, terdengar sorak anak-anak,
Memukul-mukul
sayak. Rampak tempurung retak,
“Pukimak!
Jangan memekak!”
Dulu, ia ibu
segala ibu.
Yang dari laut
mengadu surut
ke sungai-sungai
yang beranak
di celah pahanya
yang bau gambut,
bau busut.
Lalu malam
bersarung,
menyelinap di
senyap
yang gagap.
Mendengkur
seperti debur
seperti suara
mesin-mesin lembur.
Gelap adalah
juga nasib,
serupa senja
yang kasip
dan berulang,
terus berulang.
Kalian tahu,
di daun tingkap
yang patah sebelah
ia rebah bagai
pelepah kalah
menanti musim
berbenah
menunggu debu
jerebu bersayap
lesap dari
kelaminnya yang tersingkap.
Untuk anak-anak
itulah
ia mengalah.
Mencubit kulit
mencintai rasa
sakit.
Bahkan sesekali
ia bantai
sambal petai
agar peluh
berderai
dari celah-celah
tubuhnya
yang kian
tersadai.
Tapi tak sesedap
saat tersesat
dalam dekap,
dalam rumah adat
yang tak
bertingkap.
Sebuah keluarga,
ia duga
telah ranab
asal-usulnya.
Akulah
melayu, akulah melayu!
Dan mereka terus
berseru
dari balik
tiang-tiang surau
dari
perahu-perahu tak berhulu.
Sesemak
tanah-tanah mati
mereka lalu
berkerumun
sibuk membatas
luas bebas
sesibuk
emak-emak
yang lupa
bertanak.
Aduhai, kampung
tempurung
kota-kota
melepas gapai
menjulurkan
tikai.
Dan di belakang
mereka
dayung terapung
di atas bangkai
sungai.
Mari
menyerang, mari menyerang!
(dengan apa lagi
membunuh musuh
jika yang sisa
cuma keluh
tersebab terlalu
lama berlabuh
sampai lupa cara
berkayuh)
Tapi untuk
anak-anak itulah
ia melukis sejarah,
mirip rajah
yang terserak
dari letak.
Ia bingkai dari
retak.
segalanya jadi
seperti baru
seperti foto
gadis belia yang tersipu.
Duh, seluruh
mata menjelma badik
membidik dari
balik bilik.
Siapa yang tahan
pada godaan
di zaman yang
lintang-pukang
yang haram untuk
dilarang.
Maka ia limbung,
menakik tubuhnya
di atas bumbung.
Aku ingin
menjadi patung!
Tapi hujan telah
hinggap di atas atap
menjaring
tubuhnya yang leleh
seperti
gemeratap bunyi plastik
dalam api,
seperti sunyi
yang pasti.
Begitu pula
subuh
fajar yang
kadang ia kenang
sebagai lelaki
yang datang berulang,
Rindu
itu, sakit ya bang?
Tak ada
untungnya
berharap sembuh
pada petang.
Sesisa ruang
pada siang
hanya jarak yang
lengang.
Sementara
anak-anak
masih berbaris
menangis
menampung tetes
jam
dari ujung atap
rumbia
yang rumpang.
Tolong
siram api hutan, tuan!
Yang lain, diam.
Percakapan hanya
melintas-lintas
seperti suara
kendaraan
yang bergerak
lekas,
cemas yang
membekas.
Kalian tahu,
di daun tingkap
yang patah sebelah
ia pernah
meniggalkan petuah:
Pedas
lada hingga ke mulut
Pedas
kata menjemput maut.
Tapi tumpah
lalu tembus ke
tanah.
Dan orang-orang
menjeling
dengan kerling
mata maling.
Ada bau dari uap
lembab
yang seketika
meruap.
Bangkai
apa ini?
Tubuh
siapa pula ini?
Umpama kain
buruk
dibuang terlarang
disimpan takut
hilang
tak adakah lagi
yang sayang
pada sepetak
ladang
yang kini
tergenang?
Dan ia hanya
memandang
ombak berkejaran
datang
menyerang.
Namun di
kejauhan
segera ia dengar
ribuan kuli
membawa kabar
tentang busung
lapar
dan tanah-tanah
yang terbakar.
Barangkali
beginilah sumpah seranah
harus ditelan,
pahit serupa ubi kayu hutan
seperti malam
yang tiba-tiba mencekam.
Siapa
yang dibantai di pantai?
Rupanya kita
memang cuai
ditetak belati
janji
berburu suku
menjejas ras.
Bahwa tuhan
telah malas
menghitung yang
retas
dari hati kita
yang tak berbelas.
Dan ia kini
sendiri
bersimpuh di
pasir asin
menyeduh Yassin, dan Qulhu
yang tumbuh di
retak bibirnya
berkali-kali
berbunga
kelopak yang
kelak renta.
Tapi dari
belakang punggungnya
sorak anak-anak
kembali menggema
memukul-mukul sayak
menggaul sagu di
tempurung retak.
Apalah daya luka
di badan
yang condong kan
rebah jua
yang hinggap kan
susah juga.
Sungai
tak sampai-sampai ke guguk
Memanjat
tak sampai-sampai ke pucuk.
Aduhai, kampung
tempurung
kota-kota
melepas gapai
menjulurkan
tikai.
Siapakah yang
tak malu
memainkan buah
dadu
di halaman rumah
waktu?
Kalian tahu,
di daun tingkap
yang patah sebelah
ia kembali
belajar mendengar
derit engsel,
karat debar
dan tangan yang
gemetar.
Seperti ada yang
sedang berlayar
di gaunnya yang
lebar
seseorang
bertubuh kekar
dengan wajah
penuh memar.
Sungguh, ia
begitu paham
hangatnya sebuah
pertemuan
meski ia tak
mampu melupakan
perihnya sebuah
perpisahan.
Jauh-jauh hari
ia menghindar
dari lingkar
cahaya suar bandar
dari tangkap
perangkap dekap
sebab sembab di
matanya
adalah tanda
derita lama
yang lekat
serupa barut luka.
Tapi ia kadang
bertandang
memaksa tikam ke
liang lubang
dan mengusir
anak-anak ke lautan.
Setelahnya, ia
raib bersama maghrib
membekaskan aib.
Di tikar pandan
koyak
jejaknya
berminyak.
Bangkai ikan,
ranting bakau,
kulit ular,
puntung tembakau,
sandal jepit,
buntut ikan kuau,
tongkang pecah,
serpih pulau.
Segalanya hanya
ia pahami
sebagai sisa
puisi basi.
Tapi untuk
anak-anak itulah
ia memeram benih
kisah
di bawah dapur
tanah.
Ia seperti
sedang membaui
fosil waktu di
tubuhnya sendiri.
Sungguh, inilah
saatnya
menjilati amis
dosa
pekung di tulang
punggung
dan di sekujur
bilur
yang selalu
mengganggu tidur.
Tolonglah,
tangkap dia!
Tapi dia belut,
bukan siput,
selalu luput
dari renggut.
Dan kelak dia
pasti kembali
bersama
anak-anak yang ganjil
bertubuh
setengah bugil
memukul-mukul
kaleng rombeng
ke sekeliling
kampung tempurung.
Seperti ada yang
berperang
saat mereka
datang melenggang,
Tapi seperti ada
yang hilang
saat mereka
tiba-tiba terbang.
Kalian tahu,
di daun tingkap
yang patah sebelah
ia kini bukan
ibu segala ibu
yang mengadu
dari laut
hanya deru angin
lembubu.
Tengoklah,
tangannya yang berderak
memukul-mukul
tempurung retak
melebihi sorak
anak-anak
Pukimak!
Jangan memekak!
Pekanbaru,
2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar