Sabtu, 19 Juli 2014

Kolom Riau Pos dan Indopos



Hari Puisi, Ramadan, Gaza

Oleh Marhalim Zaini

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terdengar di telingaku..
.” (Taufiq Ismail)

          Sesungguhnya, puisi adalah milik semua orang. Karena puisi, ada di dalam diri semua orang. Ia tinggal di dalam sebuah ruang bernama “empati” (empathy). Entah di sebelah mana, entah di bagian mana dalam tubuh fisik manusia, empati seolah menjadi titik pusaran dari berbagai ruang abstrak yang lain seperti tenggang-rasa, iba, afeksi, afinitas, syafakat (belas-kasih), dan sejenisnya. Oxford Dictionaries menyebut empati itu “the ability to understand and share the feelings of another.” Maka, dengan begitu, empati lebih kompleks dibanding “simpati” (sympathy) yang sekedar “feelings of pity and sorrow for someone else’s misfortune.
          Frasa “the ability to understand” di situ, adalah energinya. Energi yang, kemudian dapat menggerakan seseorang untuk berbagi. Maka proses kerja empati tidak setakat berhenti pada “feelings of pity” akan tetapi sudah pada “tindakan” (share the feelings of another). Dan demikianlah kiranya puisi bekerja, dalam prosesnya melahirkan “bahasa verbal” sebagai sebentuk “tindakan yang menggerakkan” itu. Teks-teks puisi, yang dapat kita baca secara harfiah adalah “tindakan” yang lahir dari kemampuan seseorang dalam memahami dirinya dan orang lain (manusia dan lingkungannya). Maka, siapapun, bisa memiliki puisi, sebagaimana ia (manusia) pun memiliki empati.
           Hemat saya, ada tiga momentum, yang terjadi di bulan ini, di tahun ini, yang seolah sedang saling berkelindan mempertautkan dirinya masing-masing dalam satu ruang bernama empati itu. Tiga momen itu, seolah saling membangkitkan, saling menggerakkan. Hari Puisi Indonesia (26 Juli), yang jatuh di bulan Ramadan, adalah tak semata peringatan atas kelahiran dan kebangkitan puisi Indeonsia, akan tetapi juga peringatan atas sisi kemanusian yang universal. Sebagai entitas yang di dalamnya terkandung weltanschauung (pandangan atas dunia), puisi mau tak mau harus ditempatkan sebagai “nyawa” sastra. Pun, dengan begitu, adalah juga “nyawa” bagi pergerakan dinamika sosial kehidupan manusia.
          Maka momen Hari Puisi di bulan Ramadan, seolah semakin mengingatkan kita ihwal rumah puisi itu, ihwal empati itu. Ramadan, dengan sendirinya, proses menahan “lapar” dalam konteks yang lebih luas, adalah proses memberi energi bagi bangkitnya empati. Melalui “lapar” kita sedang digiring untuk kembali bertanya, sejauhmana “the ability of undestand” diri kita sendiri dan orang lain. Sebab, memahami diri sendiri adalah juga memahami orang lain, begitupun sebaliknya. Tubuh sosial itu adalah tubuh kita.
          Gaza, Palestina, adalah juga momentum yang (kerap) membangkitkan empati kita itu. Konflik yang tak berkesudahan, terus berulang, adalah pertanyaan-pertanyaan besar tentang apa kabar kemanusiaan kita hari ini? Adakah yang dapat menghalalkan nyawa seseorang yang tak berdosa, sehingga kita seolah berhenti menjadi manusia, dan bertindak laksana Tuhan? Perang, memang, adalah sisi buruk kemanusiaan kita, yang kerap bangkit bagai mimpi buruk. Perang, apa pun alasannya, adalah ketidakmampuan kita untuk memahami orang lain sebagai diri kita sendiri.
          Maka, tiga momentum itu, hari ini, akan membangkitkan empati siapapun. Sebab, puisi, Ramadan, dan Gaza, adalah miliki semua orang. Semua orang, yang masih belum berhenti menjadi manusia, dan tak berhasrat menjadi Tuhan. Manusia yang masih aktif bertanya, dari mana dan mau ke manakah saya?** *

Kolom Riau Pos dan Inopos



Imaji, Mabuk, Allah

Oleh Marhalim Zaini

            Walau penyair besar
            Takkan sampai sebatas Allah...”
                        (Walau, Sutardji Calzoum Bachri)

            Dalam tulisan saya sebelumnya, berjudul “Tangga Naik”, cinta kepada Tuhan yang meluap-luap, memberi gambaran bahwa demikianlah misi etis yang utama dalam puisi-puisi sufisme-Arab. Puisi-puisi cinta platonik, yang tanpa “birahi”, cinta yang tak bisa tidak sepenuhnya hanya untuk Allah—yang di Turki disebut kesusastraan ‘asyiq (pencinta). Maka, mau tidak mau, unsur ekstrinsik-ideologisnya—sebagai misi etis itu—tampak lebih mengemuka dibanding unsur intrinsik-wadaknya. Meskipun tentu di lain pihak, kita pun kemudian, dapat mendiskusikan lebih jauh ihwal apakah “bahasa” yang membentuk sebuah ideologi, atau sebaliknya.
             Hal ini menjadi menarik, misalnya jika kita sepakat dengan bagaimana dunia spiritualitas Islam membagi tingkat pemikiran manusia menjadi tiga: rasional-logis, spiritual-rohaniah, dan imajinasi. Bahasa, adalah kategori rasional dengan segala perangkat tata-bahasanya (grammar). Sementara, ada yang bilang—termasuk Al-Ghazali—segala yang bersifat spiritual tak bisa diungkapkan secara rasional (oleh bahasa). Padahal, kita tahu, di dalam tubuh puisi, keduanya-lah (bahasa/bentuk sebagai yang rasional dan makna/isi sebagai yang spiritual) yang menjadi penyangga hidupnya.
            Maka imajinasi, di sini, bisa berperan strategis. Imajinasi, yang berada di antara keduanya (rasionalitas dan spiritualitas) seolah bertugas mempertautkannya. Jika dalam khazanah filsafat Islam—seturut Baqir (2003)—daya imajinasi adalah bagian dari indra manusia yang memiliki akses kepada alam imajinal (imajiner), maka ia menjadi “perangkat” yang paling penting bagi penyair/seniman dalam proses mencipta. Namun, karena sifatnya yang cenderung “liar”, tak berbatas pada ruang dan waktu, maka imajinasi harus dikontrol. Pengontrolnya adalah—kembali kepada dua unsur yang dipertautkannya—rasionalitas dan spiritualitas.
            Inilah yang kemudian—sekali lagi, dalam konteks spiritualitas Islam—yang membedakan antara “ilham” dengan “waham.” Ilham, adalah sumber yang benar datang dari malaikat. Sementara waham, sumber khayalan yang tak otentik yang terbentuk oleh penyelewengan berpikir. Saya kira, pembedaan ini, akan segera mengonfirmasi pada kita bahwa tidak semua proses transendensi ketika seorang penyair menulis puisi adalah “benar” sebuah ilham. Boleh jadi, racauan si penyair itu, ketika tanpa kendali rasional dan spiritualitas, ia kehilangan akses terhadap realitas otentik pengalaman-pengalaman keagamaannya sendiri.
            Salah satu situasi transedental itu, dapat kita rujuk misalnya pada kata “mabuk”—terutama sebagai simbolisme. Saya jadi teringat sebuah buku puisi yang ditulis oleh seorang sahabat, penyair di Yogyakarta, Kuswaidi Syafi’i, bertajuk Tarian Mabuk Allah. Atau seorang lagi, Mathori A Elwa, berjudul Yang Maha Syahwat. Kedua penyair ini, jelas, sedang meliarkan imajinasi kita (termasuk si penyairnya sendiri) untuk keluar dari batasan-batasan simbolik yang rasional-empirik, dan berusaha “naik” (fly) ke tangga-tangga langit spiritualitas-rohani.
Maka, diksi “mabuk” atau juga yang sering kita baca dalam banyak puisi sufistik adalah kata “anggur” (piala), menjadi ungkapan puitik yang tidak sederhana. Artinya, kata “anggur” dan “mabuk” seolah telah menjadi dua kata dalam makna yang integral. Anggurlah yang membuat orang mabuk. Anggur, pun seolah telah jadi “minuman rohani” bagi para penyair sufi, untuk mencapai “mabuk” pada Allah. Tentu, soalnya kemudian, tak mudah memilah antara “mabuk simbolik” dengan “mabuk realistik.” Sama tidak mudahnya, membedakan mana yang ilham, mana yang waham. Pun, sama tidak mudahnya membedakan antara “yang liar” dan “yang sesat.”***