Kolom Riau Pos


(Riau Pos, 16 Februari 2014)
 Puisi, Bencana, Bisu
Oleh Marhalim Zaini

“....di sinilah, saat syahadat ia gumamkan serupa sesayat kilat,
Di hatinya tumbuh burung-burung putih, seperti malaikat,
Menyeretnya serupa air bah, ke puncak seluruh gunung...”

“....makna kelahiran, katamu/ seperti benih-benih puisi/ yang panas dalam rahim
            kata-kata/ dan yang gugur itu,/ asap debu dari ampas/ mimpi-mimpi mereka…

Dua kutipan puisi saya di atas, diciptakan dari dan untuk dua bencana. Puisi yang pertama, berjudul Yang Berteriak Hanya Laut, Seperti Sesayup Suara Maut, becana Tsunami di Aceh, 2004. Puisi kedua, untuk bencana erupsi Gunung Merapi, berjudul Birahi Gunung. Setiap bencana datang, mengusik empati, maka lahir puisi. Puisi dan empati, agaknya tak bisa dipisahkan. Meski, kadang, tak semua bencana, yang selalu mengusik empati, melahirkan puisi. Meskipun tidak melahirkan kata-kata dalam bentuk puisi, tapi puisi tetap terangkai dalam nurani, yang seperti bertahan di kedalaman diri. Maka, kerap saya menyebutnya,  “duka sejenis ini, adalah puisi yang abadi.”
Sebab, puisi, pada kondisi serupa itu, seolah seperti sedang tertegun sendiri. Karena, bukankah banyak orang akan mencibir bahwa menjadi tak berguna riwayat hidup sebuah puisi, dibandingkan riwayat ribuan orang yang kehilangan nyawa, tersebab bencana? Sebagai penyair, saya bersedih. Mungkin serupa dengan rasa sedih banyak orang. Tapi, sedih itu kemudian membawa saya pada sebuah bilik yang asing. Ya, asing. Mungkin juga rasa hampa, atau boleh jadi rasa sunyi. Asing, hampa, sunyi. Tiga pengalaman paling purba bagi manusia. Tersebab ia adalah pengalaman, maka semestinya orang tak takut ketika tiba-tiba harus masuk ke bilik itu. Justru, bukankah jadi aneh, kalau ada orang yang merasa sebaliknya?
            Tapi, kenapa orang takut? Sebab, asing selalu berada di ambang, di antara keremang-remangan. Hampa, sesuatu yang entah, ada tapi kosong. Sunyi, bagai denging panjang, bergerak menjarak dengan keriuhan. Sementara, selama ini, orang-orang dibuai oleh hiruk, oleh derap waktu yang lebih sering berjalan tergesa-gesa. Disibukkan oleh hasrat, juga mimpi untuk selalu hendak menjadi orang lain. Nah, ketika secara mendadak, sebuah kota, sebuah kampung, sebuah denyut, digoncang oleh satu sentakan dahsyat, diguyur oleh abu gunung, dan lalu sunyi, dan lalu hampa, dan lalu asing, maka...
            Kita kerap menangis. Bahkan menangis sejadi-jadinya. Menangisi kehilangan. Menangisi hiruk yang tiba-tiba lesap, tiba-tiba senyap. Saat  itu, kita tersadar bahwa rupanya kita adalah orang yang paling tidak siap ketika harus berhadapan dengan kehilangan. Sebab kita terlampau bahagia dengan kehadiran. Terlampau percaya dengan kemutlakan. Dan, puisi, di sanalah ia bekerja. Sebab puisi, kata penyair Inggris, John Keats, adalah satu-satunya yang mampu merangkul keasingan. Puisi, bukanlah jawaban atas pertanyaan, tapi pertanyaan atas jawaban.
Maka, kenapa puisi, sejak zaman lampau, hingga kini tetaplah puisi? Sebab ia tak menjelaskan kemutlakan. Ia bukan agama, yang menjadi rujukan “final” atas berbagai hal-ihwal hubungan manusia dan Tuhan. Ia bukan pula institusi/lembaga spiritual yang harus bertanggungjawab “menjelaskan” dengan ragam dalil. Jadi, jangan pernah minta itu dari puisi. Dan jangan pernah pula minta nasi atau indomie, ikan asin, petai, asam pedas, tempoyak, sambal belacan pada puisi. Jangan minta tenda, selimut, air minum pada puisi. Tapi, mungkin saja, puisi bisa menegaskan betapa rasa rindu, aroma kenangan dari ikan asin dan sambal belacan saja, demikian membuat kita tak perlu takut merasa kehilangan. Atau, mungkin pula, puisi dapat menegaskan betapa menyejukkannya kesadaran yang baru tumbuh dari ranah sunyi dan asing itu, dari reruntuhan bangunan harapan-harapan, tentang makna dari kehadiran sekaligus kehilangan, makna dari kehidupan sekaligus kematian.
            Sungguh, tulisan sederhana ini tak dimaksudkan hendak menjelas-jelaskan lagi apa guna dan peran puisi (karya sastra) dalam kehidupan manusia. Sebab, rasanya telah jauh-jauh hari, 1840-an, seorang penyair Inggris yang lain pun, Percy Bysse Shelley, telah menulis esai The Defence of Poetry. Sebuah esai klasik yang menampik tuduhan yang menyatakan bahwa puisi tak lagi berguna di tengah gegap gempitanya sains. Shelley bilang, puisi yang bersumber dari imajinasi itu, energi kreatif manusia yang berada di atas nalar, di atas benda-benda. Nah, ketika berbagai ralitas hidup yang matematis-mekanis jadi pola, jadi gaya, jadi mesin tak berjiwa, maka bagi Shelly, puisi menjadi sangat penting untuk hadir. Tentu, para penyair lainpun ikut berang, dan mengamini Shelley. Namun, soalnya kemudian, sampai kini pun puisi masih berada di kursi terdakwa, untuk tetap menerima tuduhan (juga tuntutan) pragmatis dari realitas. Apakah, akan selamanya puisi duduk di kursi pesakitan itu?
Maka, mari kita rayakan keasingan. Jangan bertanya di mana itu, tempat apakah itu, kenapa bisa sampai di sini. Tapi nikmatilah apapun yang tiba, segala yang dirasa ada tapi tak mudah untuk diraba. Mungkin pula ia bernama “kebisuan”. Bisu yang bukan berarti bungkam, menyitir lagi Barthes. Kebisuan bukan berarti pula tak melakukan apapun. Dan puisi (sastra) justru menunjukkan bahwa kebisuan itu adalah “having an xistence”.***





 (Riau Pos, 15 September 2013)

Puisi Esai: Tak Percaya Kekuatan Kata

Oleh Marhalim Zaini

Adalah Denny JA, yang lebih kurang setahun silam, menggaungkan sebutan “puisi esai” untuk bukunya berjudul Atas Nama Cinta. Belakangan kian tenar namanya, ketika cogan “Indonesia Tanpa Diskriminasi” meramaikan iklan di televisi. Satu lagi, yang seolah bersebati dengan nama Denny JA adalah Lingkaran Survei Indonesia (LSI), sebab ia Direktur Eksekutifnya.
            Awal kemunculan “puisi esai” memang mengundang cukup ramai perbincangan. Tokoh-tokoh sastra, seperti Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Ignas Kleden, D. Zawawi Imron, Maman S. Mahayana, Leon Agusta, Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, dan beberapa yang lain, turut menulis, merespon dengan cara mereka masing-masing. Tulisan-tulisan mereka telah dibukukan dalam Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia, yang dieditori Acep Zamzam Noor.
            Ketika saya jadi juri baca puisi di TIM, bulan puasa silam, buku itu saya beli. Saya baca, meski tidak semua esai. Maka berbagai argumentasi lalu-lalang, dengan berbagai teori dan pendekatan. Mantap. Saya merasa para tokoh sastra kita itu guyup. Siap menyambut dengan tangan terbuka setiap (yang dianggap) “kemungkinan baru” kreativitas dalam dunia penciptaan sastra, penciptaan puisi. Dan malah, pentingnya buku ini bagi saya adalah (justru) mengingatkan kembali betapa sesungguhnya sejarah perjalanan sastra kita demikian panjang, demikian kompleks.
Namun, dengan diingatkan begitu, saya kemudian harus kembali bersepakat (sambil mengingat mendiang HJ) bahwa memang “tak ada yang baru di bawah matahari ini.” Karena, setelah membaca ulasan-ulasan para tokoh sastra itu, bagi saya, justru kembali menegaskan dan membuat apa yang disebut “puisi esai” itu menjadi sebuah “pengulangan” saja. Hanya berubah nama, misalnya dari “puisi prosaik”, “puisi panflet”, “puisi naratif”, “prosa liris”, dll.
Banyak tokoh pelopornya (sebagaimana diurai Maman dengan baik dalam esainya di buku itu). Malah saya merasa, puisi “model” semacam ini, kok sudah “selesai” digarap dengan apik oleh Linus Suryadi dalam Pengakuan Pariyem. Saya merasakan benar, prosa liris itu mengalir, dalam liukan sungai sejarah Jawa, mitos, identitas budaya, karena saya sempat menyaksikan si penyairnya membacakan di Jogja. Merinding saya. Kepekaan sosial saya bangkit. Tak pun ada catatan kaki yang panjang lebar di sana, saya sih sudah terang merasakan dan memahami kontekstualitasnya dengan realitas, dengan fakta-data.
Maka, soal catatan kaki dalam puisi, sudah bukan barang baru sebenarnya. Sapardi menjawab itu (dalam esainya). Catatan kaki dalam puisi, kata Sapardi, “tidak jarang diperlukan untuk memberi penjelasan mengenai berbagai hal seperti nama, peristiwa, bahasa asing, dan berbagai hal lain yang diharapkan bisa membantu pemahaman pembaca.” Lalu apa bedanya dengan catatan kaki dalam “puisi esai” Denny JA?
Tapi, untuk bahan diskusi lebih lanjut, penting rasanya saya ketik ulang, apa yang jadi kriteria “puisi esai” yang dimaksud Denny JA itu (hal. 36):
(1) Ia harus menyentuh hati dengan cara mengeksplor sisi batin, dan mengekspresikan interior psikologi manusia kongkret; (2) Ia harus memotret manusia kongkret itu dalam suatu ivent sosial, sebuah realitas kongkret juga yang terjadi dalam sejarah. Tak terhindari sebuah riset dibutuhkan untuk memahami realitas sosial itu. Tak terhindari juga catatan kaki menjadi sentral dalam medium itu; (3) ia harus dituliskan dalam bahasa yang mudah dimengerti publik luas, tapi tersusun indah; (4) ia harus menggambar suatu dinamika sosial atau dinamika karakter pelaku. Tak terhindari medium itu menjadi panjang dan berbabak.
Bagi saya—dan  sepakat dengan Maman—bukankah memang demikian itulah kerja sastra selama ini? Sudah dari sononya begitu, taken for granted. Saya, justru melihatnya, yang utama dari upaya “puisi esai” ini adalah point ketiga, “dituliskan dalam bahasa yang mudah dimengerti publik luas.” Dan di sinilah problemnya. Kalimat semacam itu, justru sedang menggiring kita (penyair dan juga pembaca) untuk tidak percaya pada kekuatan “kata” dalam puisi. Sehingga, puisi harus “dijelas-jelaskan” kembali dengan membuat catatan kaki sebagaimana layaknya sebuah esai (ilmiah). Sehingga puisi tidak lagi “mandiri” sebagai “kata-kata” yang (boleh jadi, suturut Tardji) terbebas dari makna.
Bahwa kelak, fakta-data yang ada dalam puisi, tidak lagi “diupayakan” dengan berdarah-darah oleh sang penyairnya, untuk menemukan “bahasa” puisi, yang khas milik penyairnya, sebab sudah tersandra oleh “cara baca” yang diseragamkan: dimengerti publik luas. Maka, kekuatan “peristiwa” (sebagai cerita) akan mengalahkan kekuatan “kata” (sebagai citra). Dan kelak, kita akan temukan kata-kata yang pejal, tak berdaya, tak lagi liar, terseok-seok dalam dunia industri, gampang lenyap dalam sekejap, bagai berita, bagai sinetron, bagai iklan, bagai hiburan belaka...***



Riau Pos, 12 Januari 2014


Para Penumpang Gelap 
Oleh Marhalim Zaini

SEBUTAN “penumpang gelap” sudah tidak lagi hanya milik dunia transportasi, tapi sudah menjadi “milik” banyak dunia. Dunia, yang dalam konteks sebuah ruang sosial—yang oleh teori Bourdieukerap disebut field (arena). Arena, tempat berbagai dialektika proses relasi sosial terjadi, yang terstruktur, untuk kemudian membentuk apa yang disebut habitus. Dunia politik, dunia ekonomi, dunia seni, dunia sastra, dunia puisi, tentu termasuk di dalamnya. Maka, sebutan “penumpang gelap” pun bisa cocok dipakai sebagai frasa simbolik yang mencerminkan salah satu gejala dialektika sosial yang terjadi.
Tentu, tiap dunia, berbeda konteks, berbeda pemakaiannya, meskipun tidak terlalu jauh perbedaan dalam permaknaannya. Kalau kembali pada asal sebutan itu, dari idiom bahasa Belanda “zwarterijder” (zwart berarti hitam/gelap, dan rijder berarti penumpang), bisa dimaknai sebagai “penumpang (umum) pada sebuah kendaraan (taksi, bus, kereta api, kapal laut, pesawat udara, ojek, dll) yang tidak membayar.” Gelap atau hitam di situ, adalah bahasa kiasan untuk seseorang yang “menyamar.” Menyamar (dalam konteks transportasi) sebagai seseorang yang membayar, padahal tidak membayar.
Pertanyaannya kemudian, kenapa orang ingin “menyamar” menjadi “penumpang gelap”? Jawabannya bisa berbeda-beda sesuai konteks, namun substansinya bisa jadi sama; sama-sama hendak mencari “keuntungan.” Keuntungan yang tidak semata bersifat materil, tapi juga non-materil. Namun, perbedaan yang mencolok adalah soal identifikasi. Mengidentifikasi “penumpang gelap” dalam dunia politik, pun dunia sastra, tidak semudah dalam dunia transportasi. Mereka yang menumpang kereta api, misalnya, ketika diperiksa petugas dan tidak memiliki tiket (yang artinya ia tidak memiliki tanda bukti pembayaran), adalah “penumpang gelap” itu. Maka petugas berhak mengusir penumpang tersebut.
Nah, dalam dunia politik, pun dunia sastra, identifikasi seseorang yang dapat disebut “penumpang gelap” tidak bisa dilihat dan ditandai dengan secarik kertas. Hanya indikasi-indikasi dalam gejala atau fenomena-fenomena tertentu. Terkhusus dunia sastra, indikasi-indikasi itu agaknya bisa ditelisik dalam beberapa fenomena berikut. Dalam konteks karya, misalnya, “penumpang gelap” itu boleh jadi salah satu indikasinya ada dalam fenomena istilah “sastra populer” dan “sastra serius.” Kerap dianggap, juga diposisikan, “sastra pop” itu “menyaru” sebagai “sastra serius” hanya tersebab ia bestseller. Maka, menjadi aneh, misalnya ketika Habiburrahman El Shirazi “diklaim” sebagai novelis nomor 1 di Asia Tenggara. Yang, dengan begitu, seolah dialah representasi penulis novel yang “sukses” mengalahkan penulis lain, macam Pramoedya Ananta Toer.
Dalam konteks lain, “penumpang gelap” dalam sastra dapat dilihat indikasinya dalam berbagai ivent sastra, dalam dan luar negeri. Mereka yang diundang, atau minta diundang, kerap didasari dari modal “pertemanan” selain modal “ekonomis.” Tidak didasari mutlak oleh mutu karyanya, oleh kompetensinya, oleh produktivitasnya. Maka, yang terjadi kemudian, kesempatan untuk memperluas “pergaulan sastra” lebih terbuka peluangnya bagi “sastrawan berduit” atau “sastrawan yang pandai bergaul.” Belakangan, modal ekonomi justru kian tak dapat ditolak untuk dapat turut “mengendalikan” penilaian terhadap mutu karya sastra, atau kompetensi seorang “tokoh sastra.” Dapat pula “mengendalikan” siapa yang paling berhak menerima sebuah penghargaan, siapa pula yang berhak disebut sebagai “tokoh sastra yang paling berpengaruh,” dan lain sebagainya.
Tentu, ada banyak cara yang lain, untuk menjadi “penumpang gelap” dalam sastra, dalam seni. Indikasi lain, adalah lembaga-lembaga kesenian dan kebudayaan, baik pemerintah maupun non pemerintah, yang dikelola secara “serampangan” oleh mereka yang tidak berkompetensi. Sehingga, yang “sejahtera” secara sosial, terutama secara ekonomi, justru bukan para seniman/sastrawan yang memeras jerih keringat dalam berkarya, akan tetapi pengelolanya—yang agaknya lebih tepat disebut “para broker” itu. Dan, mereka, merasa nyaman-nyaman saja. Karena rupanya, menjadi “penumpang gelap” itu besar lho untungnya….***         
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar