Gawat Darurat
Anjung Seni Idrus Tintin
Oleh Marhalim
Zaini
SALAH satu gedung megah menjulang
yang termasyhur di kota Pekanbaru, adalah Anjung Seni Idrus Tintin. Termasyhur,
terlebih karena, tampak secara fisik, memang mencuri fokus: megah menjulang di
lokasi strategis, dalam komplek Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandarserai—yang
belakangan mesti dipertanyakan apakah benar di sini art center itu?). Maka, banyak orang menjadikannya sebagai ikon
fisik. Mulai dari berfoto-foto di situ sebagai latar (fisik), sampai jadi
ilustrasi berbagai brosur pariwisata dan budaya Melayu Riau. Dan, orang-orang
Riau pun—termasuk senimannya—tentu saja merasa bangga, punya sebuah gedung
kesenian yang megah menjulang (secara fisik) itu. Sebab, susah kita temukan di
daerah lain, luar Riau, yang punya gedung kesenian semegah itu.
Sebagai sebuah ikon (fisik) kebudayaan
Melayu, gedung Anjung Seni Idrus Tintin (berikutnya disingkat ASIT), setakat
ini, (seolah) memang telah berhasil menjadi salah satu representasi simbolis
dari sebuah semangat kolektif untuk membangun pemahaman bersama ihwal
kebudayaan Melayu yang “besar” itu, sebagai the
great tradition itu. Arsitektural ala Melayu yang melekat pada gedung ASIT,
tengah memproduksi sekaligus mengkonstruksi, terus-menerus, makna historis,
yang seolah stabil itu kepada publik—setidaknya demikian kaum strukturalisme-esensialis
memandang. Maka, dengan begitu, kemegahan dan kebesaran itu seolah dapat
terus-menerus secara stabil melekat pada sebuah gedung bernama ASIT itu. Selama
fisik gedung itu masih tampak tegak berdiri oleh mata telanjang—dari frame yang selalu fotografis, dari
perspektif zoom-out—maka orang pun
seolah dituntun untuk percaya bahwa kemegahan “identitas kultural” itu masih tetap
kokoh. Setakat berhenti pada gedung ASIT sebagai penanda dari sebuah petanda
(sebagaimana Saussure) dari kebesaran kebudayaan Melayu, memanglah seolah-olah
kerja kita sudah selesai.
Tersebab menganggapnya telah selesai
itulah, maka gedung ASIT itu sejak berdiri sampai sekarang seolah “terbiar.” Terbiar,
karena, tampak gagah-megah di luar, di dalam masih centang-perenang. Saya,
menandai pemakaian secara non-resmi gedung ini, sejak kami (bersama kawan-kawan
seniman Riau) mementaskan pertunjukan kolosal bertajuk Opera Melayu Tun Teja, 29-31 Agustus 2007. Dengan agak “memaksa”
memang, karena tak sabar, pada saat itu kami memilih gedung ASIT yang belum
memiliki pendingin ruangan, beberapa lantai panggung bahkan belum terpasang
dengan sempurna, bangku penonton, lighting,
dan beberapa peralatan teknis lainnya yang belum sepenuhnya siap pakai. Tentu,
hal ini membuat biaya pertunjukan justru cukup banyak terserap oleh keperluan
teknis non-artistik. Kami berharap, sesungguhnya, pementasan kami itu dapat
setidaknya memberi motivasi (atau desakan) tersendiri bagi pemerintah provinsi
Riau untuk menggesa penyempurnaan pembangunan gedung tersebut. Alhasil,
rupanya, sampai kini, setelah lebih kurang 6-7 tahun setelah itu, gedung ASIT
masih belum “sempurna.” Masalah-masalah teknis yang kami alami dulu, masih juga
dialami oleh para seniman yang menggelar pertunjukan. Ketiadaaan atau
ketidakjelasan badan pengelola gedung ini, membuat salah satu kendala terbesar
kenapa gedung ini menjadi seolah (semakin) terbiar.
Akan tetapi, semangat seniman yang
tinggi, tak menyurutkan niat mereka untuk tetap menggelar pertunjukan di situ. Selama
bertahun-tahun itu, tiap kali akan pentas, mereka menyewa AC, menyewa genset,
membayar petugas kebersihan, membayar petugas lighting, dan lain-lain. Sudah pasti, biaya justru kian membengkak.
Semua orang di dunia ini tahu, bahwa tak ada kelompok-kelompok kesenian yang
betul-betul dapat “menghidupi” dirinya sendiri tanpa “asupan” dari pihak-pihak
lain.Tak usahlah berharap pada tiket. Teater Koma saja, yang punya penonton
tetap, dengan harga tiket ratusan ribu rupiah, masih perlu support sponsorship dari mana-mana. Kenyataannya, uang tiket, tak
pernah bisa menutupi biaya produksi sebuah pementasan teater.
Kenyataan yang centang-perenang ini,
membuat kita dapat berkesimpulan bahwa kita baru bisa membangun fisik, memoles
yang tampak di luaran sebagai citraan-citraan belaka, tapi masih abai membangun
spiritualitasnya, abai pada pengelolaan manajerialnya, abai pada bagaimana
membangun “kemegahan isi”-nya. Maka, dalam konteks ini, kita semua jadi sepakat
dengan kaum strukturalisme yang selalu
yakin bahwa antara bentuk dan isi, luaran dan dalaman, harus ada keseimbangan. Kalau
tidak, maka ia rumpang, ia pincang. Saya kira, ketidakseimbangan semacam itu
pula kiranya, yang kini, sedang tampak dalam pola-pola pembangunan kita. Cara
berpikir para pengelola negeri ini, yang cenderung pragmatis, membuat mereka
lebih mengutamakan kemasan dan citraaan, dibanding isi. Kegemaran kita
sepertinya selalu menciptakan rayuan-rayuan, (yang menurut Baudrillard, 1990)
beroperasi melalui pengosongan tanda-tanda dari pesan dan makna, sehingga yang
tersisa adalah semata penampakan. Wajah merayu gedung ASIT yang megah dan
menjulang itu adalah make-up, adalah
artifisial, yang kosong makna. Jadi, tujuannya jelas, bukan pesan atau makna
itu benar yang hendak disampaikan oleh kemegahan gedung ASIT, akan tetapi
keterpesonaannya. Maka hasilnya, orang lebih senang berfoto-foto di luaran,
tapi enggan menonton pertunjukan yang disajikan di dalamnya.
Pentingnya Badan Pengelola
Kunci utama dari persoalan ini,
adalah tidak adanya badan pengelola gedung ASIT, sehingga pengabaian demi
pengabaian terus berlarut. Pengabaian yang tidak semata pada tak kunjung
sempurnanya kelengakapan gedung, juga tampak pada perawatannya. Di sana-sini
gedung mulai nampak kerusakan-kerusakan. Tentu, belum lagi soal-soal “sosial”
yang lebih luas, yang sejak awal berdirinya sampai kini, di sekitar gedung yang
semak samun kerap terjadi kriminalitas, pun prilaku mesum. Ditambah pula, tepat
di sebelah gedung konon akan dibangun mal, yang kini tampak terbengkalai
pengerjaannya—entah apa pula hubungannya
keberadaan mal ini kelak dengan art
center itu. Saya kira, kalau tau akan jadi begini gedung pertunjukan ini di
kemudian hari, tentu almarhum Idrus Tintin tak rela namanya ditabalkan untuk
gedung ini.
Maka, kini, apapun alasannya yang
membuat badan pengelola tak kunjung dibentuk, adalah menjadi tidak penting.
Sebab, selain hal ini hanya akan menunjukkan lemahnya kinerja pejabat
pemerintah terkait, sekaligus rendahnya perhatian/pengetahuan/wawasan/visi
mereka terhadap kesenian, terhadap kebudayaan. Meski sudah begitu elok visi
Riau 2020 yang dicanangkan itu, tapi implementasinya terseret-seret dalam
berbagai kepentingan. Agaknya kita memang pandai berencana, tapi tak pandai
mengeksekusinya. Belakangan, belum lagi dikukuhkan badan pengelola, yang juga
menurut kabar angin sudah mulai disusun strukturnya, sekonyong-konyong muncul
Peraturan Daerah terkait restribusi gedung ASIT, dan sejumlah gedung di
Pekanbaru. Inilah sebab-musabab kenapa para seniman kemudian meradang,
demonstrasi. Sudahlah selama ini, gedung ASIT ini “dihidupkan” oleh para
seniman yang berkarya di situ, dengan bersusah payah mencari dana sendiri, “mengemis”
kesana kemari, membangun infrastruktur kesenian Riau denga jerih sendiri, kini ditambah
pula harus membayar sekian juta setiap kali akan pentas. Dari sini, tampak
jelas bagi kita, bahwa pemerintah tidak sedang bersungguh-sungguh sepenuh hati
“mengerti” tentang pentingnya kesenian itu.
Saya kuatir, jangan-jangan yang
dianggap sebagai kerja pengelolaan gedung ASIT adalah dengan menetapkan biaya
restribusi itu—tanpa secara serius melihat bagaimana kondisi sesungguhnya
gedung ASIT dan bagaimana kondisi penggunanya (si senimannya). Jika benar,
model berpikir pragmatis semacam ini, maka demikianlah pula kiranya cara kerja logika
pasar dalam narasi besar kapitalisme sudah kian merasuk dalam ruang-ruang
pengelolaan negara. Maka, saya semakin kuatir, andai konsep-konsep Marx
misalnya, soal pertentangan kelas dalam proses produksi komoditi kapitalisme
yang disebut sebagai fetitisme komoditi
itu, sedang menunjukkan pembenarannya. Bahwa ada kontrol negara—yang dalam hal
ini sekaligus mendudukkan posisinya sebagai pemilik modal—yang menciptakan
jarak antara kelas (pemilik gedung) dengan kelas pekerja (seni) melalui pertukaran
“ekonomi.”
Tentu, saya tidak sedang menafikan,
bahwa bolah dikata gedung-gedung kesenian di Indonesia ini memungut retribusi.
Tetapi, penting dicatat, dengan angka nominal tertentu, gedung yang dipungut
retribusinya itu, siap pakai. Pengguna, tidak lagi berurusan dengan
sewa-menyewa. Pengelolaan gedung profesional, dengan tim work yang siap bertugas. Ini kalau memakai logika bisnis: hubungan
konsumen dan produsen. Namun pertanyaannya kemudian, khusus dalam konteks
gedung ASIT, bagaimanakah niat awal gedung ini didirikan? Apakah juga akan
“dibisniskan”? Apakah pemerintah akan memposisikan diri sebagai produsen, dan
pekerja seni adalah konsumen? Saya kira, tidak demikian, bukan? Setahu saya,
niat awal “kita” (seniman, pemerintah, lembaga-lembaga kesenian, dll) adalah
hendak membangun dan menggerakkan kesenian Riau secara bersama-sama, tanpa
menyembunyikan konflik kelas ala
Marx, melalui pertentangan-pertentangan. Karena konsepnya begitu, maka
masing-masing mengambil peran dan posisi yang saling melengkapi.
Maka, di sinilah pentingnya badan
pengelola. Sebagaimana layaknya gedung kesenian di berbagai daerah di Indonesia
dan (saya kira juga di luar negeri), badan pengelola tidak serta-merta diserahkan
mutlak pada pemerintah melalui dinas terkait, terutama karena pada kenyataannya
sebagian besar pegawainya bukan berlatar belakang seni-budaya. Akan tetapi,
badan pengelola adalah kolaborasi dari berbagai elemen terkait, yang terdiri
dari pengelola teknis dan non-teknis. Teknis, tentu yang berurusan dengan menejerial-administratif,
peralatan/perlengkapan gedung, dan lain sebagainya. Sementara pengelona
non-teknis—yang sesungguhnya kerap diabaikan—adalah para kurator seni. Peran
dan tugas manajemen dan kurator seni jelas adalah mengelola agenda-agenda
pertunjukan seni yang terprogram dengan baik, selama setahun. Terprogram
artinya, pertunjukan-pertunjukan yang digelar di ASIT adalah hasil kurasi, yang
telah disiapkan sedemikian rupa. Tidak insidental dan terkesan spontanitas. Dan
alangkah baiknya, program-program itu disinergikan dengan program Dewan
Kesenian Riau, agar tidak tumpah tindih.
Satu program, yang saya kira
diimpikan oleh para seniman adalah, badan pengelola boleh jadi bekerjasama
dengan Dewan Kesenian Riau, atau stakeholder
lainnya, menyediakan dana bantuan produksi untuk para seniman atau kelompok
seniman yang akan berkarya (dalam berbagai genre seni). Pemberian dana ini
bersifat kompetitif. Seniman atau kelompok seniman diberi peluang yang sama
untuk mengajukan (semacam) proposal pertunjukan seni/pameran seni, berisi di
antaranya konsep pertunjukan/pameran seni. Konsep ini harus diuji (dengan
berbagai metode) oleh kurator seni yang telah ditunjuk. Yang lolos, mereka berhak
pentas di ASIT gratis dengan segala fasilitasnya, ditambah dana produksi,
dibantu publikasinya, masuk dalam buku program ASIT untuk setahun. Saya kira,
program semacam ini tidak semata akan membangkitkan gairah para seniman untuk
berkarya, tetapi juga dapat menyaring/menyeleksi karya-karya yang memang telah
siap untuk ditonton oleh publik. Dengan begitu, gedung ASIT akan “naik kelas,”
sebagai gedung seni yang berwibawa, yang menampilkan karya-karya terpilih.
Apalagi kalau misalnya, para kurator juga (diwajibkan) menulis review atau ulasan, terkait karya seni
yang disajikan itu, yang dipublikasan di media massa, selain juga tulisan
kenapa karya itu yang “dipilih” untuk tahun itu.
Tentu, banyak hal yang bisa
dilakukan selain gagasan kecil saya ini. Yang pasti, gedung ASIT adalah laman
“berkarya” para seniman Riau. Jangan abaikan dan jangan biarkan ia
tengengah-engah terus-menerus dalam kondisi gawat darurat...***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar