Minggu, 23 Februari 2014

Esai Budaya, Riau Pos, 23 Februari 2014



Gawat Darurat Anjung Seni Idrus Tintin
Oleh Marhalim Zaini

            SALAH satu gedung megah menjulang yang termasyhur di kota Pekanbaru, adalah Anjung Seni Idrus Tintin. Termasyhur, terlebih karena, tampak secara fisik, memang mencuri fokus: megah menjulang di lokasi strategis, dalam komplek Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandarserai—yang belakangan mesti dipertanyakan apakah benar di sini art center itu?). Maka, banyak orang menjadikannya sebagai ikon fisik. Mulai dari berfoto-foto di situ sebagai latar (fisik), sampai jadi ilustrasi berbagai brosur pariwisata dan budaya Melayu Riau. Dan, orang-orang Riau pun—termasuk senimannya—tentu saja merasa bangga, punya sebuah gedung kesenian yang megah menjulang (secara fisik) itu. Sebab, susah kita temukan di daerah lain, luar Riau, yang punya gedung kesenian semegah itu.
            Sebagai sebuah ikon (fisik) kebudayaan Melayu, gedung Anjung Seni Idrus Tintin (berikutnya disingkat ASIT), setakat ini, (seolah) memang telah berhasil menjadi salah satu representasi simbolis dari sebuah semangat kolektif untuk membangun pemahaman bersama ihwal kebudayaan Melayu yang “besar” itu, sebagai the great tradition itu. Arsitektural ala Melayu yang melekat pada gedung ASIT, tengah memproduksi sekaligus mengkonstruksi, terus-menerus, makna historis, yang seolah stabil itu kepada publik—setidaknya demikian kaum strukturalisme-esensialis memandang. Maka, dengan begitu, kemegahan dan kebesaran itu seolah dapat terus-menerus secara stabil melekat pada sebuah gedung bernama ASIT itu. Selama fisik gedung itu masih tampak tegak berdiri oleh mata telanjang—dari frame yang selalu fotografis, dari perspektif zoom-out—maka orang pun seolah dituntun untuk percaya bahwa kemegahan “identitas kultural” itu masih tetap kokoh. Setakat berhenti pada gedung ASIT sebagai penanda dari sebuah petanda (sebagaimana Saussure) dari kebesaran kebudayaan Melayu, memanglah seolah-olah kerja kita sudah selesai.
            Tersebab menganggapnya telah selesai itulah, maka gedung ASIT itu sejak berdiri sampai sekarang seolah “terbiar.” Terbiar, karena, tampak gagah-megah di luar, di dalam masih centang-perenang. Saya, menandai pemakaian secara non-resmi gedung ini, sejak kami (bersama kawan-kawan seniman Riau) mementaskan pertunjukan kolosal bertajuk Opera Melayu Tun Teja, 29-31 Agustus 2007. Dengan agak “memaksa” memang, karena tak sabar, pada saat itu kami memilih gedung ASIT yang belum memiliki pendingin ruangan, beberapa lantai panggung bahkan belum terpasang dengan sempurna, bangku penonton, lighting, dan beberapa peralatan teknis lainnya yang belum sepenuhnya siap pakai. Tentu, hal ini membuat biaya pertunjukan justru cukup banyak terserap oleh keperluan teknis non-artistik. Kami berharap, sesungguhnya, pementasan kami itu dapat setidaknya memberi motivasi (atau desakan) tersendiri bagi pemerintah provinsi Riau untuk menggesa penyempurnaan pembangunan gedung tersebut. Alhasil, rupanya, sampai kini, setelah lebih kurang 6-7 tahun setelah itu, gedung ASIT masih belum “sempurna.” Masalah-masalah teknis yang kami alami dulu, masih juga dialami oleh para seniman yang menggelar pertunjukan. Ketiadaaan atau ketidakjelasan badan pengelola gedung ini, membuat salah satu kendala terbesar kenapa gedung ini menjadi seolah (semakin) terbiar.
            Akan tetapi, semangat seniman yang tinggi, tak menyurutkan niat mereka untuk tetap menggelar pertunjukan di situ. Selama bertahun-tahun itu, tiap kali akan pentas, mereka menyewa AC, menyewa genset, membayar petugas kebersihan, membayar petugas lighting, dan lain-lain. Sudah pasti, biaya justru kian membengkak. Semua orang di dunia ini tahu, bahwa tak ada kelompok-kelompok kesenian yang betul-betul dapat “menghidupi” dirinya sendiri tanpa “asupan” dari pihak-pihak lain.Tak usahlah berharap pada tiket. Teater Koma saja, yang punya penonton tetap, dengan harga tiket ratusan ribu rupiah, masih perlu support sponsorship dari mana-mana. Kenyataannya, uang tiket, tak pernah bisa menutupi biaya produksi sebuah pementasan teater.
            Kenyataan yang centang-perenang ini, membuat kita dapat berkesimpulan bahwa kita baru bisa membangun fisik, memoles yang tampak di luaran sebagai citraan-citraan belaka, tapi masih abai membangun spiritualitasnya, abai pada pengelolaan manajerialnya, abai pada bagaimana membangun “kemegahan isi”-nya. Maka, dalam konteks ini, kita semua jadi sepakat dengan kaum  strukturalisme yang selalu yakin bahwa antara bentuk dan isi, luaran dan dalaman, harus ada keseimbangan. Kalau tidak, maka ia rumpang, ia pincang. Saya kira, ketidakseimbangan semacam itu pula kiranya, yang kini, sedang tampak dalam pola-pola pembangunan kita. Cara berpikir para pengelola negeri ini, yang cenderung pragmatis, membuat mereka lebih mengutamakan kemasan dan citraaan, dibanding isi. Kegemaran kita sepertinya selalu menciptakan rayuan-rayuan, (yang menurut Baudrillard, 1990) beroperasi melalui pengosongan tanda-tanda dari pesan dan makna, sehingga yang tersisa adalah semata penampakan. Wajah merayu gedung ASIT yang megah dan menjulang itu adalah make-up, adalah artifisial, yang kosong makna. Jadi, tujuannya jelas, bukan pesan atau makna itu benar yang hendak disampaikan oleh kemegahan gedung ASIT, akan tetapi keterpesonaannya. Maka hasilnya, orang lebih senang berfoto-foto di luaran, tapi enggan menonton pertunjukan yang disajikan di dalamnya.

Pentingnya Badan Pengelola
            Kunci utama dari persoalan ini, adalah tidak adanya badan pengelola gedung ASIT, sehingga pengabaian demi pengabaian terus berlarut. Pengabaian yang tidak semata pada tak kunjung sempurnanya kelengakapan gedung, juga tampak pada perawatannya. Di sana-sini gedung mulai nampak kerusakan-kerusakan. Tentu, belum lagi soal-soal “sosial” yang lebih luas, yang sejak awal berdirinya sampai kini, di sekitar gedung yang semak samun kerap terjadi kriminalitas, pun prilaku mesum. Ditambah pula, tepat di sebelah gedung konon akan dibangun mal, yang kini tampak terbengkalai pengerjaannya—entah  apa pula hubungannya keberadaan mal ini kelak dengan art center itu. Saya kira, kalau tau akan jadi begini gedung pertunjukan ini di kemudian hari, tentu almarhum Idrus Tintin tak rela namanya ditabalkan untuk gedung ini.
            Maka, kini, apapun alasannya yang membuat badan pengelola tak kunjung dibentuk, adalah menjadi tidak penting. Sebab, selain hal ini hanya akan menunjukkan lemahnya kinerja pejabat pemerintah terkait, sekaligus rendahnya perhatian/pengetahuan/wawasan/visi mereka terhadap kesenian, terhadap kebudayaan. Meski sudah begitu elok visi Riau 2020 yang dicanangkan itu, tapi implementasinya terseret-seret dalam berbagai kepentingan. Agaknya kita memang pandai berencana, tapi tak pandai mengeksekusinya. Belakangan, belum lagi dikukuhkan badan pengelola, yang juga menurut kabar angin sudah mulai disusun strukturnya, sekonyong-konyong muncul Peraturan Daerah terkait restribusi gedung ASIT, dan sejumlah gedung di Pekanbaru. Inilah sebab-musabab kenapa para seniman kemudian meradang, demonstrasi. Sudahlah selama ini, gedung ASIT ini “dihidupkan” oleh para seniman yang berkarya di situ, dengan bersusah payah mencari dana sendiri, “mengemis” kesana kemari, membangun infrastruktur kesenian Riau denga jerih sendiri, kini ditambah pula harus membayar sekian juta setiap kali akan pentas. Dari sini, tampak jelas bagi kita, bahwa pemerintah tidak sedang bersungguh-sungguh sepenuh hati “mengerti” tentang pentingnya kesenian itu.
            Saya kuatir, jangan-jangan yang dianggap sebagai kerja pengelolaan gedung ASIT adalah dengan menetapkan biaya restribusi itu—tanpa secara serius melihat bagaimana kondisi sesungguhnya gedung ASIT dan bagaimana kondisi penggunanya (si senimannya). Jika benar, model berpikir pragmatis semacam ini, maka demikianlah pula kiranya cara kerja logika pasar dalam narasi besar kapitalisme sudah kian merasuk dalam ruang-ruang pengelolaan negara. Maka, saya semakin kuatir, andai konsep-konsep Marx misalnya, soal pertentangan kelas dalam proses produksi komoditi kapitalisme yang disebut sebagai fetitisme komoditi itu, sedang menunjukkan pembenarannya. Bahwa ada kontrol negara—yang dalam hal ini sekaligus mendudukkan posisinya sebagai pemilik modal—yang menciptakan jarak antara kelas (pemilik gedung) dengan kelas pekerja (seni) melalui pertukaran “ekonomi.”
            Tentu, saya tidak sedang menafikan, bahwa bolah dikata gedung-gedung kesenian di Indonesia ini memungut retribusi. Tetapi, penting dicatat, dengan angka nominal tertentu, gedung yang dipungut retribusinya itu, siap pakai. Pengguna, tidak lagi berurusan dengan sewa-menyewa. Pengelolaan gedung profesional, dengan tim work yang siap bertugas. Ini kalau memakai logika bisnis: hubungan konsumen dan produsen. Namun pertanyaannya kemudian, khusus dalam konteks gedung ASIT, bagaimanakah niat awal gedung ini didirikan? Apakah juga akan “dibisniskan”? Apakah pemerintah akan memposisikan diri sebagai produsen, dan pekerja seni adalah konsumen? Saya kira, tidak demikian, bukan? Setahu saya, niat awal “kita” (seniman, pemerintah, lembaga-lembaga kesenian, dll) adalah hendak membangun dan menggerakkan kesenian Riau secara bersama-sama, tanpa menyembunyikan konflik kelas ala Marx, melalui pertentangan-pertentangan. Karena konsepnya begitu, maka masing-masing mengambil peran dan posisi yang saling melengkapi.
            Maka, di sinilah pentingnya badan pengelola. Sebagaimana layaknya gedung kesenian di berbagai daerah di Indonesia dan (saya kira juga di luar negeri), badan pengelola tidak serta-merta diserahkan mutlak pada pemerintah melalui dinas terkait, terutama karena pada kenyataannya sebagian besar pegawainya bukan berlatar belakang seni-budaya. Akan tetapi, badan pengelola adalah kolaborasi dari berbagai elemen terkait, yang terdiri dari pengelola teknis dan non-teknis. Teknis, tentu yang berurusan dengan menejerial-administratif, peralatan/perlengkapan gedung, dan lain sebagainya. Sementara pengelona non-teknis—yang sesungguhnya kerap diabaikan—adalah para kurator seni. Peran dan tugas manajemen dan kurator seni jelas adalah mengelola agenda-agenda pertunjukan seni yang terprogram dengan baik, selama setahun. Terprogram artinya, pertunjukan-pertunjukan yang digelar di ASIT adalah hasil kurasi, yang telah disiapkan sedemikian rupa. Tidak insidental dan terkesan spontanitas. Dan alangkah baiknya, program-program itu disinergikan dengan program Dewan Kesenian Riau, agar tidak tumpah tindih.
            Satu program, yang saya kira diimpikan oleh para seniman adalah, badan pengelola boleh jadi bekerjasama dengan Dewan Kesenian Riau, atau stakeholder lainnya, menyediakan dana bantuan produksi untuk para seniman atau kelompok seniman yang akan berkarya (dalam berbagai genre seni). Pemberian dana ini bersifat kompetitif. Seniman atau kelompok seniman diberi peluang yang sama untuk mengajukan (semacam) proposal pertunjukan seni/pameran seni, berisi di antaranya konsep pertunjukan/pameran seni. Konsep ini harus diuji (dengan berbagai metode) oleh kurator seni yang telah ditunjuk. Yang lolos, mereka berhak pentas di ASIT gratis dengan segala fasilitasnya, ditambah dana produksi, dibantu publikasinya, masuk dalam buku program ASIT untuk setahun. Saya kira, program semacam ini tidak semata akan membangkitkan gairah para seniman untuk berkarya, tetapi juga dapat menyaring/menyeleksi karya-karya yang memang telah siap untuk ditonton oleh publik. Dengan begitu, gedung ASIT akan “naik kelas,” sebagai gedung seni yang berwibawa, yang menampilkan karya-karya terpilih. Apalagi kalau misalnya, para kurator juga (diwajibkan) menulis review atau ulasan, terkait karya seni yang disajikan itu, yang dipublikasan di media massa, selain juga tulisan kenapa karya itu yang “dipilih” untuk tahun itu.  
            Tentu, banyak hal yang bisa dilakukan selain gagasan kecil saya ini. Yang pasti, gedung ASIT adalah laman “berkarya” para seniman Riau. Jangan abaikan dan jangan biarkan ia tengengah-engah terus-menerus dalam kondisi gawat darurat...***
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar