Rabu, 12 Maret 2014

Indopos, 15 Maret 2014



Caligula, Nihilisme 
Oleh Marhalim Zaini

Manusia mati, dan mereka tidak bahagia....”

            Drama Albert Camus, berjudul Caligula itu, bagi saya, adalah juga sebuah puisi. Puisi panjang tentang utopisme. Dialog-dialognya, adalah lalu-lalang percakapan simbol-simbol tentang kefanaan/kesementaraan, yang ditolak oleh si tokoh utama, Caligula. Ia menghendaki keabadian. Sebab, kematian-lah biang dari ketidakbahagiaan manusia. Maka ia ingin bulan di genggamannya. Ia hendak jadi dewa (setidaknya memerankan peran dewa). Ia ingin gapai segala yang mustahil oleh rasionalitas. Maka ia membunuh orang-orang di sekitarnya, mempermainkan kecemasan orang-orang pada kematian. Camus bilang, “Caligula adalah lakon dari bentuk bunuh diri...” 
            “Bunuh diri” di situ, adalah filsafat, adalah juga absurditas puisi. Bukan semata soal bagaimana sebuah kehidupan itu diakhiri, tapi bagaimana kematian itu dinikmati. Caligula, memerintahkan algojonya untuk membunuh korban secara perlahan-lahan, sambil berbisik, “biar dia tahu bagaimana rasanya mati.” Caligula, menjelma sosok ekstrim, bengis, kejam, setelah humanisme dalam dirinya terkuras habis bersama air matanya ketika berbagai peristiwa kematian dialami orang-orang terdekatnya. Artinya, Caligula sampai ke titik utopis itu, titik nihilitas itu, ketika ia pernah merasa tidak bahagia, oleh kematian, oleh kehilangan, oleh ketiadaan.  
            Dalam puisi, Sutardji (pernah punya kredo) “memenggal” makna dari tubuh kata-kata. Membunuh makna, agar kata-kata leluasa berkeliaran dengan keinginannya sendiri, dengan kebahagiaannya sendiri. Puisi yang berbahagia, adalah puisi yang tidak menangisi nasibnya sendiri, tidak menangisi kematiannya sendiri. Maka demikianlah kenapa Chairil pernah berteriak, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi....” Seribu tahun, adalah batas mustahil untuk hidup manusia. Tapi untuk hidup puisi? Tidak mustahil, selama bumi masih berputar, selama bumi belum bertukar.
Ihwal bahagia dan tidak bahagia, agaknya yang menjadi sebab kenapa peristiwa-peristiwa di sekeliling kita, akhir-akhir ini, mulai “tidak waras.” Rasa bahagia, sepertinya diukur dari dan dirujuk oleh hasrat memanjakan “tubuh” sebagai representasi “diri.” Dalam diri, ada eksistensi. Maka kebahagiaan adalah merayakan “eksistensi diri” itu. Demi eksistensi, demi kebahagiaan, banyak orang memilih cara-cara yang justru membawanya pada kekosongan, pada yang bukan apa-apa, pada nihilisme. Orang selalu kurang uang, selalu merasa tidak bahagia kalau tidak korupsi. Orang membunuh teman dengan tersenyum. Membunuh anak kandung dengan tanpa dosa, dan seterusnya.
Nihilisme, rupanya, adalah seperangkat paham yang justru diam-diam mulai merasionalisasi absurditas hidup kita. Kita seolah membenarkan saja, apa yang salah, dan menganggap biasa-biasa saja sebuh kebenaran. Makin hari, meskipun makin tak dapat kita pahami gejala-gejala sosial yang terjadi, kita toh tetap bahagia, bukan? Yang tampak religius, atau tidak tampak religius, juga korupsi. Pejabat atau tidak pejabat, juga korupsi. Bencana asap di Riau, misalnya, tak cukup sekali dua terjadi, tapi tiap tahun, toh itu masih dianggap waras-waras saja. Toh, anak-anak masih enjoy saja bermain bola dalam kabut, karena masa depan bagi mereka adalah nihil, adalah bukan apa-apa. 
Nihilisme, saya kira, adalah juga paradoks-paradoks itu. Puisi di satu sisi, realitas di sisi lain, adalah juga paradoks. Camus, lewat sosok Caligula, seperti kembali menegaskan paradoks yang lain lagi, soal hidup dan mati, bahagia dan tidak bahagia. Lalu, apa makna kesibukan dalam hari-hari kita ini? Kesibukan mencari apa, kalau tidak mencari bahagia? Saking sibuknya, kita lupa diri, dan bertanya ketika ada yang mengetuk pintu rumah kita (seperti dalam sebaris puisi Sapardi ini), “Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar...”***  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar