Caligula,
Nihilisme
Oleh Marhalim
Zaini
“Manusia mati, dan mereka tidak bahagia....”
Drama Albert Camus, berjudul Caligula itu, bagi saya, adalah juga
sebuah puisi. Puisi panjang tentang utopisme. Dialog-dialognya, adalah
lalu-lalang percakapan simbol-simbol tentang kefanaan/kesementaraan, yang
ditolak oleh si tokoh utama, Caligula. Ia menghendaki keabadian. Sebab,
kematian-lah biang dari ketidakbahagiaan manusia. Maka ia ingin bulan di
genggamannya. Ia hendak jadi dewa (setidaknya memerankan peran dewa). Ia ingin
gapai segala yang mustahil oleh rasionalitas. Maka ia membunuh orang-orang di
sekitarnya, mempermainkan kecemasan orang-orang pada kematian. Camus bilang, “Caligula adalah lakon dari bentuk bunuh
diri...”
“Bunuh diri” di situ, adalah
filsafat, adalah juga absurditas puisi. Bukan semata soal bagaimana sebuah
kehidupan itu diakhiri, tapi bagaimana kematian itu dinikmati. Caligula,
memerintahkan algojonya untuk membunuh korban secara perlahan-lahan, sambil
berbisik, “biar dia tahu bagaimana rasanya mati.” Caligula, menjelma sosok
ekstrim, bengis, kejam, setelah humanisme dalam dirinya terkuras habis bersama
air matanya ketika berbagai peristiwa kematian dialami orang-orang terdekatnya.
Artinya, Caligula sampai ke titik utopis itu, titik nihilitas itu, ketika ia
pernah merasa tidak bahagia, oleh kematian, oleh kehilangan, oleh
ketiadaan.
Dalam puisi, Sutardji (pernah punya
kredo) “memenggal” makna dari tubuh kata-kata. Membunuh makna, agar kata-kata
leluasa berkeliaran dengan keinginannya sendiri, dengan kebahagiaannya sendiri.
Puisi yang berbahagia, adalah puisi yang tidak menangisi nasibnya sendiri,
tidak menangisi kematiannya sendiri. Maka demikianlah kenapa Chairil pernah
berteriak, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi....” Seribu tahun, adalah batas
mustahil untuk hidup manusia. Tapi untuk hidup puisi? Tidak mustahil, selama
bumi masih berputar, selama bumi belum bertukar.
Ihwal
bahagia dan tidak bahagia, agaknya yang menjadi sebab kenapa
peristiwa-peristiwa di sekeliling kita, akhir-akhir ini, mulai “tidak waras.”
Rasa bahagia, sepertinya diukur dari dan dirujuk oleh hasrat memanjakan “tubuh”
sebagai representasi “diri.” Dalam diri, ada eksistensi. Maka kebahagiaan
adalah merayakan “eksistensi diri” itu. Demi eksistensi, demi kebahagiaan,
banyak orang memilih cara-cara yang justru membawanya pada kekosongan, pada
yang bukan apa-apa, pada nihilisme. Orang
selalu kurang uang, selalu merasa tidak bahagia kalau tidak korupsi. Orang
membunuh teman dengan tersenyum. Membunuh anak kandung dengan tanpa dosa, dan
seterusnya.
Nihilisme,
rupanya, adalah seperangkat paham yang justru diam-diam mulai merasionalisasi
absurditas hidup kita. Kita seolah membenarkan saja, apa yang salah, dan
menganggap biasa-biasa saja sebuh kebenaran. Makin hari, meskipun makin tak
dapat kita pahami gejala-gejala sosial yang terjadi, kita toh tetap bahagia, bukan? Yang tampak religius, atau tidak tampak
religius, juga korupsi. Pejabat atau tidak pejabat, juga korupsi. Bencana asap
di Riau, misalnya, tak cukup sekali dua terjadi, tapi tiap tahun, toh itu masih dianggap waras-waras saja.
Toh, anak-anak masih enjoy saja bermain bola dalam kabut,
karena masa depan bagi mereka adalah nihil, adalah bukan apa-apa.
Nihilisme,
saya kira, adalah juga paradoks-paradoks itu. Puisi di satu sisi, realitas di
sisi lain, adalah juga paradoks. Camus, lewat sosok Caligula, seperti kembali
menegaskan paradoks yang lain lagi, soal hidup dan mati, bahagia dan tidak
bahagia. Lalu, apa makna kesibukan dalam hari-hari kita ini? Kesibukan mencari
apa, kalau tidak mencari bahagia? Saking sibuknya, kita lupa diri, dan bertanya
ketika ada yang mengetuk pintu rumah kita (seperti dalam sebaris puisi Sapardi
ini), “Tuan Tuhan, bukan? Tunggu
sebentar, saya sedang keluar...”***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar