Puisi, Slogan, Politik
Oleh Marhalim
Zaini
Benarlah
Goenawan Mohamad, ketika ia menyebut bahwa abad keduapuluh adalah sebuah “abad
politik.” Maka politik, hari ini pun, (terasa seolah kembali) menjadi
“panglima.” Sebagai “panglima”, politik menawarkan kekuasaan—kekuasaan yang
boleh jadi menjelma dalam beragam wajah: yang hegemonik (Gramsci), yang
dominasi-represif (Marx), atau yang relasi wacana-strategi (Foucault). Kekuasaan,
yang kemudian membuat banyak orang, diam-diam, terhasut hatinya, untuk kian berbondong-bondong
masuk ke dunia politik.
Menyandingkan politik dengan puisi,
agaknya, serta merta menyeret ingatan kita pada adagium Kennedy yang masyhur,
“jika politik kotor, puisi membersihkannya.” Posisi puisi di situ, memang
seolah ditempatkan secara fungsional, sebagai semacam detergen, sapu, lap, dan
sejenisnya. Dan politik, adalah objek yang harus dibersihkan itu. Soal
bagaimana cara atau metode sebuah puisi dapat “membersihkan” kotoran (yang ada
di dunia) politik, adalah soal lain. Yang pasti, kalau kita turut bersepakat
dengan Kennedy, “puisi” masih (selalu) diyakini memiliki kuasa tersembunyi (hidden realms) untuk “menggerakkan.”
Ketika, belakangan, muncul seorang
tokoh sebuah partai politik menulis puisi-puisi yang (oleh media massa) disebut
“bernuansa politis”, apakah ia sedang turut meyakini itu? Boleh jadi ya, boleh
jadi juga tidak. Tetapi, bahwa dunia puisi (seni secara umum), dalam
perkembangannya, seperti tak dapat terpisahkan dengan kehidupan (dunia)
politik, adalah fakta konkret. Di berbagai belahan dunia, dalam berbagai model
pergerakannya, dalam berbagai konteks, puisi (karya seni) kerap “difungsikan”
sedemikian rupa.
Mulai
dari tujuan untuk “perlawanan ideologis”, atau untuk tujuan mencari kedudukan
dan prestasi politis, sampai pada untuk menyelamatkan diri dari prahara politik
(dengan berkarya untuk kepentingan penguasa). Dan perlu diingat juga, bahwa
tidak sedikit para penguasa yang justru mendayagunakan puisi (karya seni) sebagai
alat legitimasi status quo, misalnya
melalui penulisan mitos-mitos heroisme.
Pertanyaannya kemudian, apakah puisi-puisi
yang diciptakan itu, adalah “puisi sejati”? Atau, ia hanya slogan-slogan? Puisi
dan slogan, pada tingkat tertentu, memang berdinding dan berbanding tipis.
Kedunya, berpotensi memiliki hidden
realms, karena keduanya bertolak
pada pengolahan kekuatan kata-kata. Maka Agaknya, secara sederhana, kita boleh
saja membedakannya pada niat si penulisnya. Jika ia berniat menulis puisi, maka
puisilah itu. Jika ia berniat menulis slogan, sloganlah itu.
Namun,
dalam konteks yang lain, sebuah slogan, bisa saja berubah “menjadi sajak
perkasa” (istilah Feng Chih), ketika slogan itu dapat benar-benar menjadi
representasi sosial, dengan pilihan diksi yang “terukur.” Sebaliknya, puisi,
bisa juga berubah menjadi (sekedar) slogan yang hanya bertujuan membangkitkan
solidaritas bersama untuk kekuasaan, untuk sekedar mengajak pada sebuah “pesta”
pertemuan bersama. Maka, puisi (sejenis ini pun), hanya menjadi sebentuk kerja
kreativitas yang reaktif belaka, eksentrik, dan dengan begitu, ia menjadi
rapuh.
Jika
slogan, lahir dari sebuah kepentingan untuk memaksakan sesuatu (kepada publik)
agar bisa dipercaya, puisi justru cenderung “mengajak” untuk tidak mempercayai
sesuatu secara mutlak, tersebab ia ambigu. Puisi, tidak pernah memaksa untuk
percaya padanya. Puisi, justru membiarkan publik (pembaca) “berkeliaran” dalam
imajinasi dan tafsirnya masing-masing. Jika kebersamaan yang hendak dibangun
oleh slogan adalah, bersifat fisik, maka puisi—seturut Goenawan—“menghendaki
pertemuan dari hati ke hati.”
Maka,
saya selalu meyakini bahwa, yang akan menguji apakah ia sebuah puisi atau
sebuah slogan, adalah waktu, adalah zaman. Andai ia diciptakan sebagai “puisi
reaktif”—sebagaimana slogan—untuk kepentingan sesaat, maka ia rapuh, ia akan
segera lenyap, mengikuti lenyapnya sebuah priodeisasi zaman.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar