Sabtu, 12 April 2014

Indopos (05 April), Riau Pos (06 April)



Puisi, Slogan, Politik

Oleh Marhalim Zaini

            Benarlah Goenawan Mohamad, ketika ia menyebut bahwa abad keduapuluh adalah sebuah “abad politik.” Maka politik, hari ini pun, (terasa seolah kembali) menjadi “panglima.” Sebagai “panglima”, politik menawarkan kekuasaan—kekuasaan yang boleh jadi menjelma dalam beragam wajah: yang hegemonik (Gramsci), yang dominasi-represif (Marx), atau yang relasi wacana-strategi (Foucault). Kekuasaan, yang kemudian membuat banyak orang, diam-diam, terhasut hatinya, untuk kian berbondong-bondong masuk ke dunia politik.
            Menyandingkan politik dengan puisi, agaknya, serta merta menyeret ingatan kita pada adagium Kennedy yang masyhur, “jika politik kotor, puisi membersihkannya.” Posisi puisi di situ, memang seolah ditempatkan secara fungsional, sebagai semacam detergen, sapu, lap, dan sejenisnya. Dan politik, adalah objek yang harus dibersihkan itu. Soal bagaimana cara atau metode sebuah puisi dapat “membersihkan” kotoran (yang ada di dunia) politik, adalah soal lain. Yang pasti, kalau kita turut bersepakat dengan Kennedy, “puisi” masih (selalu) diyakini memiliki kuasa tersembunyi (hidden realms) untuk “menggerakkan.”  
            Ketika, belakangan, muncul seorang tokoh sebuah partai politik menulis puisi-puisi yang (oleh media massa) disebut “bernuansa politis”, apakah ia sedang turut meyakini itu? Boleh jadi ya, boleh jadi juga tidak. Tetapi, bahwa dunia puisi (seni secara umum), dalam perkembangannya, seperti tak dapat terpisahkan dengan kehidupan (dunia) politik, adalah fakta konkret. Di berbagai belahan dunia, dalam berbagai model pergerakannya, dalam berbagai konteks, puisi (karya seni) kerap “difungsikan” sedemikian rupa.
Mulai dari tujuan untuk “perlawanan ideologis”, atau untuk tujuan mencari kedudukan dan prestasi politis, sampai pada untuk menyelamatkan diri dari prahara politik (dengan berkarya untuk kepentingan penguasa). Dan perlu diingat juga, bahwa tidak sedikit para penguasa yang justru mendayagunakan puisi (karya seni) sebagai alat legitimasi status quo, misalnya melalui penulisan mitos-mitos heroisme.  
            Pertanyaannya kemudian, apakah puisi-puisi yang diciptakan itu, adalah “puisi sejati”? Atau, ia hanya slogan-slogan? Puisi dan slogan, pada tingkat tertentu, memang berdinding dan berbanding tipis. Kedunya, berpotensi memiliki hidden realms, karena keduanya bertolak pada pengolahan kekuatan kata-kata. Maka Agaknya, secara sederhana, kita boleh saja membedakannya pada niat si penulisnya. Jika ia berniat menulis puisi, maka puisilah itu. Jika ia berniat menulis slogan, sloganlah itu.
Namun, dalam konteks yang lain, sebuah slogan, bisa saja berubah “menjadi sajak perkasa” (istilah Feng Chih), ketika slogan itu dapat benar-benar menjadi representasi sosial, dengan pilihan diksi yang “terukur.” Sebaliknya, puisi, bisa juga berubah menjadi (sekedar) slogan yang hanya bertujuan membangkitkan solidaritas bersama untuk kekuasaan, untuk sekedar mengajak pada sebuah “pesta” pertemuan bersama. Maka, puisi (sejenis ini pun), hanya menjadi sebentuk kerja kreativitas yang reaktif belaka, eksentrik, dan dengan begitu, ia menjadi rapuh.
Jika slogan, lahir dari sebuah kepentingan untuk memaksakan sesuatu (kepada publik) agar bisa dipercaya, puisi justru cenderung “mengajak” untuk tidak mempercayai sesuatu secara mutlak, tersebab ia ambigu. Puisi, tidak pernah memaksa untuk percaya padanya. Puisi, justru membiarkan publik (pembaca) “berkeliaran” dalam imajinasi dan tafsirnya masing-masing. Jika kebersamaan yang hendak dibangun oleh slogan adalah, bersifat fisik, maka puisi—seturut Goenawan—“menghendaki pertemuan dari hati ke hati.” 
Maka, saya selalu meyakini bahwa, yang akan menguji apakah ia sebuah puisi atau sebuah slogan, adalah waktu, adalah zaman. Andai ia diciptakan sebagai “puisi reaktif”—sebagaimana slogan—untuk kepentingan sesaat, maka ia rapuh, ia akan segera lenyap, mengikuti lenyapnya sebuah priodeisasi zaman.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar