Jumat, 06 Juni 2014

Riau Pos, 01 Juni 2014



Riau Pos dan Generasi Baru Penyair Riau

Oleh Marhalim Zaini

                   Di awal tahun 2008, saya pernah menulis esai cukup panjang di media ini, berjudul “Ihwal Regenerasi Sastra Riau.” Esai ini, kemudian direspon oleh seorang sastrawan dari Sumatera Barat, Zelfeni Wimra, dengan judul, “Setelah Regenerasi Sastra, Apa Lagi?” Karena saya anggap perlu merespon balik esai itu, lalu saya menulis lagi dengan judul yang agak provokatif, “Ayo, Lupakan Saja Indonesia!” Fokus dari tulisan saya itu sebetulnya lebih bersifat catatan dokumentatif ihwal bagaimana dinamika pergerakan sastra Riau (modern) sejak awal kelahirannya. Namun, menjadi agak meluas ke wilayah “ideologi sastra” setelah direspon Zelfeni.
                   Esai serupa itu (bersifat dokumentatif), pun kerap saya tulis sebelumnya, di koran ini juga, berjudul “Catatan Sastra Riau 2005,“ “Catatan Sastra Riau 2007,” dan “Catatan Sastra Riau 2008.” Ketiga esai cukup panjang tersebut, berisi bagaimana dinamika perkembangan sastra Riau selama setahun. Terutama dengan mencermati kemunculan karya-karya sastra yang ditulis oleh penulis Riau di media massa, lokal maupun nasional. Selain dapat menjadi data dokumentasi sastra Riau, kerja-kerja sunyi dan intensif semacam ini, dapat turut mengisi ruang-ruang kosong kerja kesusastraan kita; yang tak semata kerja mencipta, tapi juga membaca, mendokumentasikannya, mendistribusikannya, serta mengkajinya.
                   Riau Pos, saya kira, tanpa disadari (dan harus diakui), sampai hari ini, adalah media yang tidak kecil jasanya bagi perkembangan kesusastraan (di) Riau. Menjadi bertambah penting perannya, karena tak banyak (untuk tidak mengatakan tidak ada) media lain yang sebesar perhatian Riau Pos dalam memberi ruang pada sastra. Pun, menjadi penting dan fenomenal kemudian, ketika di banyak media cetak (koran) di Indonesia cenderung tak memberi tempat leluasa bagi puisi, tapi Riau Pos justru menyediakan satu halaman penuh untuk puisi. Dan, hemat saya, tak pula dapat diabaikan bagaimana kemudian ruang “puisi” ini, turut melahirkan generasi baru penyair Riau.
                   Dalam pengamatan saya, generasi baru itu, adalah para penulis (berusia) muda, yang masih tengah berada dalam gairah penciptaan. Puisi-puisi yang mereka ciptakan, meski dengan “kekuatan” yang beragam, dengan intensitas produktivitas yang naik-turun, bolehlah kita menaruh harapan bahwa masa depan kepenyairan (Riau) berwajah gemilang. Nama-nama seperti May Moon Nasution, Cikie Wahab, Riki Utomi, Ahmad Ijazi H, Anju Zasdar, Muhammad Asqalani Eneste, Jumadi Zanu Rois, Fatih El Mumtaz, Cahaya Buah Hati, Jasman Bandul, Alvi Puspita, dan Boy Riza Utama (yang puisinya saya muat minggu ini), adalah para penyair yang kerap mengisi halaman puisi di Riau Pos, adalah juga para penyair masa depan kita.
                   Tentu, terus akan diuji oleh waktu, apakah mereka tetap konsisten berkarya, dan terus-menerus menggapai capaian-capaian estetika dalam puisi-puisi mereka. Terus-menerus gelisah, sampai mereka menemukan “diri” mereka sendiri, menemukan bahasa “soliloqui” mereka sendiri dalam puisi. Atau, mereka akan berhenti di tengah jalan. Berhenti mencari, dan stagnan, oleh godaan-godaan lain di dalam diri mereka. Berhenti, karena mengira bahwa sekali-dua muncul namanya di media massa, adalah legitimasi yang tak mudah terhapus dalam memori publik. Berhenti, karena merasa telah menjadi “penyair.” Berhenti, karena memang tujuannya menulis puisi, hanya iseng, tidak hendak menjadi “penyair.” Atau, berhenti karena memang (sejak lama), puisi “tak mampu” memberi “makan” bagi para penyairnya.
                    Bagi Riau, yang memiliki sejarah tradisi kepenulisan (puisi) yang panjang, tentu menjadi penting bicara ihwal regenerasi. Tak berhenti, dan putus, pada nama-nama lama saja, pada priode waktu tertentu saja. Tak bernostalgia semata pada kehebatan masa lampau. Sebab, zaman ke zaman, yang terus berevolusi ini, menghendaki “puisi-puisi yang baru.” Puisi-puisi yang lahir dari rahim zamannya sendiri. Puisi-puisi yang tak kalah hebat dengan puisi-puisi para pendahulunya.***
     
                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar