Sabtu, 19 Juli 2014

Kolom Riau Pos dan Inopos



Imaji, Mabuk, Allah

Oleh Marhalim Zaini

            Walau penyair besar
            Takkan sampai sebatas Allah...”
                        (Walau, Sutardji Calzoum Bachri)

            Dalam tulisan saya sebelumnya, berjudul “Tangga Naik”, cinta kepada Tuhan yang meluap-luap, memberi gambaran bahwa demikianlah misi etis yang utama dalam puisi-puisi sufisme-Arab. Puisi-puisi cinta platonik, yang tanpa “birahi”, cinta yang tak bisa tidak sepenuhnya hanya untuk Allah—yang di Turki disebut kesusastraan ‘asyiq (pencinta). Maka, mau tidak mau, unsur ekstrinsik-ideologisnya—sebagai misi etis itu—tampak lebih mengemuka dibanding unsur intrinsik-wadaknya. Meskipun tentu di lain pihak, kita pun kemudian, dapat mendiskusikan lebih jauh ihwal apakah “bahasa” yang membentuk sebuah ideologi, atau sebaliknya.
             Hal ini menjadi menarik, misalnya jika kita sepakat dengan bagaimana dunia spiritualitas Islam membagi tingkat pemikiran manusia menjadi tiga: rasional-logis, spiritual-rohaniah, dan imajinasi. Bahasa, adalah kategori rasional dengan segala perangkat tata-bahasanya (grammar). Sementara, ada yang bilang—termasuk Al-Ghazali—segala yang bersifat spiritual tak bisa diungkapkan secara rasional (oleh bahasa). Padahal, kita tahu, di dalam tubuh puisi, keduanya-lah (bahasa/bentuk sebagai yang rasional dan makna/isi sebagai yang spiritual) yang menjadi penyangga hidupnya.
            Maka imajinasi, di sini, bisa berperan strategis. Imajinasi, yang berada di antara keduanya (rasionalitas dan spiritualitas) seolah bertugas mempertautkannya. Jika dalam khazanah filsafat Islam—seturut Baqir (2003)—daya imajinasi adalah bagian dari indra manusia yang memiliki akses kepada alam imajinal (imajiner), maka ia menjadi “perangkat” yang paling penting bagi penyair/seniman dalam proses mencipta. Namun, karena sifatnya yang cenderung “liar”, tak berbatas pada ruang dan waktu, maka imajinasi harus dikontrol. Pengontrolnya adalah—kembali kepada dua unsur yang dipertautkannya—rasionalitas dan spiritualitas.
            Inilah yang kemudian—sekali lagi, dalam konteks spiritualitas Islam—yang membedakan antara “ilham” dengan “waham.” Ilham, adalah sumber yang benar datang dari malaikat. Sementara waham, sumber khayalan yang tak otentik yang terbentuk oleh penyelewengan berpikir. Saya kira, pembedaan ini, akan segera mengonfirmasi pada kita bahwa tidak semua proses transendensi ketika seorang penyair menulis puisi adalah “benar” sebuah ilham. Boleh jadi, racauan si penyair itu, ketika tanpa kendali rasional dan spiritualitas, ia kehilangan akses terhadap realitas otentik pengalaman-pengalaman keagamaannya sendiri.
            Salah satu situasi transedental itu, dapat kita rujuk misalnya pada kata “mabuk”—terutama sebagai simbolisme. Saya jadi teringat sebuah buku puisi yang ditulis oleh seorang sahabat, penyair di Yogyakarta, Kuswaidi Syafi’i, bertajuk Tarian Mabuk Allah. Atau seorang lagi, Mathori A Elwa, berjudul Yang Maha Syahwat. Kedua penyair ini, jelas, sedang meliarkan imajinasi kita (termasuk si penyairnya sendiri) untuk keluar dari batasan-batasan simbolik yang rasional-empirik, dan berusaha “naik” (fly) ke tangga-tangga langit spiritualitas-rohani.
Maka, diksi “mabuk” atau juga yang sering kita baca dalam banyak puisi sufistik adalah kata “anggur” (piala), menjadi ungkapan puitik yang tidak sederhana. Artinya, kata “anggur” dan “mabuk” seolah telah menjadi dua kata dalam makna yang integral. Anggurlah yang membuat orang mabuk. Anggur, pun seolah telah jadi “minuman rohani” bagi para penyair sufi, untuk mencapai “mabuk” pada Allah. Tentu, soalnya kemudian, tak mudah memilah antara “mabuk simbolik” dengan “mabuk realistik.” Sama tidak mudahnya, membedakan mana yang ilham, mana yang waham. Pun, sama tidak mudahnya membedakan antara “yang liar” dan “yang sesat.”***


                      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar